Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini."
Sattar.
***
Aku sampai di rumah tepat pukul sebelas malam. Rasa gerah yang menghujam tubuh menuntunku untuk segera mensucikan diri di bawah air pancuran. Harusnya tidak selarut ini aku pulang. Namun, kejutan dari teman-teman dalam rangka menyambut ulang tahunku, mengubah segala rencana. Ditambah lagi keharusan menangani pasien SC yang masuk secara dadakan.
'Huh benar-benar melelahkan.'
Perlahan, kulangkahkan kaki menapaki teras rumah. Dengan pelan kubuka pintu masuk. Suasana tampak hening, pasti semua sudah tertidur. Tapi saat pintu rumah terbuka lebar, mataku justru terbelalak. Kue ulang tahun berbentuk boneka lelaki berjas dokter, tampak duduk indah di atas meja kursi tamu.
Sesuatu terasa mengguncang tubuhku, dengan gemetar kulangkahkan kaki ini hingga tepat berada di depan kue itu.
'Aini ....'
Degup jantungku berpacu kencang, ketika namanya berhasil kusebut dengan lirih. Ah, kenapa akhir-akhir ini aku merasa aneh tiap kali mengingatnya?
Dengan cepat kubuka dompet, hanya Hanna yang bisa membuatku kembali tenang.
'Hanna! Mana fotonya, kenapa justru foto Aini yang ada disini? Siapa yang sudah menukarnya?'
Kupercepat langkah menuju kamar. Kamarku bersama Fikri. Pasti ini kerjaan jagoanku itu.
Sambil berjalan, kuusahakan mengatur napas dan menyingkirkan segenap rasa aneh yang mulai mengaduk hati. Pelan, Kubuka pintu kamar. Seberapapun galau pikiran ini, tapi Fikri tak boleh terganggu tidurnya.
Pintu terbuka.
"Aini? Gadis itu, Kenapa dia tidur di kamar ini?"
Ada amarah yang menghinggapi dada, bukankah aku sudah pernah mengatakan padanya, bahwa dia boleh tidur di kamar manapun di rumah ini, kecuali kamar Fikri. Bahkan kamar pengantinku bersama Hanna saja, sudah sah menjadi kamarnya. Sekarang, kenapa dia berani melanggar?
Kubalikkan tubuh dan menutup pintu kamar. Jika dia tidur di kamar Fikri, maka aku akan tidur di kamarnya. Hanya itu yang terlintas di benak. Tapi, sebelum melangkah menuju kamar, kusempatkan diri ke dapur untuk mengambil segelas air mineral.
Sampai di dapur, aku seperti mencium aroma kuah kesukaanku di bawah tudung saji. Ah, biarkan aku mengecek, barangkali Bik Ina sedang berbaik hati memasakkannya untukku.
"Barakallahu fii Umrik, suamiku."
'Aini ... semua ini? Kenapa?'
Aku merasa semua gelap.
'Hanna ... Ah, Maaf.'
***
Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Genap tiga tahun aku tak pernah lagi merasakan nikmatnya tidur di atas ranjang ini. Sejujurnya, kalau kupikir-pikir, kasihan sekali nasib Aini. Entah apa dosanya, hingga harus bersuamikan aku. Lelaki jahat dan tak punya hati. Tapi, pernikahan ini, semua ini, bukan aku yang menghendakinya. Andai Hanna tak pernah memintaku untuk menikahi Aini, mungkin sekarang kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami masing-masing. Aku tetap menjaga cinta untuk Hanna, dan Aini hidup bahagia bersama kekasih impiannya.
'Hah, kekasih?'
Tiba-tiba, rasa penasaran akan diary biru itu kembali mendera. Kubangkitkan tubuh mengambil benda itu di dalam tas kerja. Detik berikutnya, aku kembali membuka halaman kedua dari diary tersebut.
***
Flash back.
Entah kenapa Allah mempertemukan kami dengan cara yang begitu istimewa...
"Anti sudah melanggar tata tertib pondok pesantren ini!" Suara Kiai Rahman membuatku merinding. Ah, bukan merinding, tapi takut. Ya aku tak pernah setakut ini selama hidupku.
"Kenapa anti diam, apa anti sudah siap dikeluarkan dari pondok?"
"Afwan ya Kiai, Ana tidak bermaksud melanggar tata tertib pesantren. Ana hanya ingin menolong Ustadz Jamil. Beliau yang meminta Ana untuk mengambilkan obat sesaknya di laci kerja beliau."
Semua terdiam mendengar jawabanku. Kiai Rahman menatapku penuh selidik. Semoga beliau bisa mempercayai kebenaran ini.
"Assalamualaikum ...." Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari luar ruangan. Pandangan yang semula tertuju padaku serempak beralih.
'Astagfirullah, Ustadz Yusuf!'
"Waalaikum salam. Min fadzlik udkhil ya Ustadz."
Ustadz Yusuf masuk ke ruangan dan berjalan mendekati tempat berdirinya Kiai Rahman. Kuangkat sedikit kepala yang tadinya tertunduk. Kiai Rahman membisikkan sesuatu ke telinga Ustadz Yusuf. Saat pandanganku tertangkap oleh beliau, segera aku menunduk kembali.
"Semoga apa yang anti katakan tadi benar adanya. Boleh kemarikan obat yang ada di tangan anti itu?"
Dengan segenap keberanian, kuberikan obat sesak itu pada lelaki berkopiah hitam yang ada di hadapanku.
Kuhela napas sedalam-dalamnya. Sementara hati terus berdoa agar Allah menyelamatkan diri ini atas kesalahan yang sama sekali tidak ingin hamba lakukan.
Sepuluh menit ruangan terasa seperti berada di penjara. Tapi kedatangan Ustad Jamil menjadi alasan terbebasnya segala tuduhan yang mengarah padaku saat itu.
"Terima kasih Aini, Ustadz juga minta maaf atas segala kejadian ini."
Aku hanya mengangguk dalam menunduk, tak dapat berkata apapun. Hari itu, aku bebas dari hukuman yang memang tak seharusnya aku tanggung. Namun ada satu yang justru memenjara hatiku, dia, Jibran.
Flash back off.
***
Aku menutup buku Aini yang ada di tangan. Entah kenapa tiap kali membaca buku itu, perasaanku menjadi tidak enak. Kurebahkan tubuh dengan sempurna di atas bantal.
'Harum.'
Ini pasti aroma rambutnya. Kutarik selimut menutupi tubuhku. Ah, justru aku merasa dia sedang mendekapku. Kusibak selimut itu dengan cepat.
Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini.
'Maaf ....'
Hanya itu yang bisa kukatakan padamu, Aini.
Maaf.
***
Mataku terbuka perlahan. Sesosok perempuan nampak di hadapanku. Jauh, beberapa langkah di depan sana. Dia sedang mengenakan pakaiannya. Kubuka mata dengan sempurna.
"Aini?"
Kututup kembali mata, namun menyisakan sedikit celah agar bisa tetap memperhatikan gerakannya.
Tanpa sadar, bola pekat ini tertunduk dengan sendirinya. Gadis itu ... Ah, dadaku, kenapa begini?
"Bang Sattar?"
Aini terhenyak dan segera mengambil handuk menutupi rambutnya yang basah.
"Abang ngintip Aini?"
"Eng ... Iy-iya, maaf."
Aini tampak begitu geram dan seketika keluar dari kamar.
"Ahgrgg, kenapa bisa begini?"
Aku mengejarnya. Dia berlari menuju kamar Fikri.
"Tunggu! Maaf. Abang, nggak sengaja."
Dia terus berlari, tepat di depan pintu kamar Fikri, aku berhasil menangkap lengannya.
"Maaf. Kamu yang salah, kamu tidur di kamar Fikri."
"Lalu, kalau Aini tidur di kamar Fikri, Abang harus mengungsi ke kamar lain?"
Aku terdiam. Harus kujawab apa, bukankah sudah tiga tahun begini terus, dan tidak ada masalah apapun.
"Dasar lelaki nggak punya perasaan!"
Aini mendorong tubuhku dan kembali berlari menuju kamarnya. Sementara disini, aku berdiri kaku. Ingin mengejarnya, tapi?
***
Tidak seperti biasa, suasana sarapan kali ini terasa begitu hening. Aini yang biasanya begitu bersemangat tampak tak bergairah. Gadis itu terus terdiam selama kami duduk di meja makan. Hanya menjawab singkat pertanyaan Fikri. Parahnya lagi, tak satu kalipun ia menatap ke arahku.
Ah, mungkin aku harus mengajukan satu pertanyaan untuk mencairkan suasana.
"Pagi ini, kamu istirahat saja di rumah. Kemarin Abang minta ijin buat kamu istirahat selama dua hari."
'Astaghfirullah, kebohongan ini, apa alasannya coba?'
"Tapi Aini udah sehat, Bang."
"Itu perasaan kamu aja."
"Aini bosan, Bang. Aini mau tetap kerja!"
'Gadis ini?Ah,keras kepala!'
"Tapi, tidak boleh nyetir. Harus pergi sama Abang!'
'Astaghfirullah! Kenapa menyulitkan diri sendiri begini.'
Aini menatapku tajam, sesaat suasana terasa tegang.
"Soe yang antar long, Ayah?"
Ketegangan seketika buyar, tata bahasa Fikri yang campur aduk antara Indonesia-Aceh, membuat gadis itu tersenyum.
"Fikri pergi sekolahnya sama Mama sama Ayah, ya?"
Aini kembali melempar pandang ke arahku. Sedikit tenang, kuhela napas sambil mengatur sesuatu yang mulai kembali terasa aneh di dada. Kutatap Aini sekilas, gadis itu kini berhasil membuat pandanganku kembali tertunduk.
'Hanna, bolehkah hari ini aku memberi sedikit waktuku untuknya?'
***
*Soe yang antar lon= siapa yang antar saya.
Udah mulai seru ya, bakalan lebih seru saat nanti saat mereka bertemu di rumah sakit.
Ada yang penasaran.
Pov Aini***"Makasih, ya."Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?"Makasih buat apa, Bang?""Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan.""Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat."Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.Huh!Aku persembahkan hidupku untukmuTelah ku relakan hatiku padamu.Namun kau-Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.Ciumlah, bibirku ini,Karena esok aku tak disini,Kulihat dari-Tut!Belum habis lagu istimew
Pov JibranNamaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam."Aini, semoga kamu masih menungguku."***Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku."Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan ke
Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."Fathy Abdus Sattar.Pov Sattar***Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang munta
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .
Pov jibran...Kau bilang, suatu saat kita pasti bisaBisa saling mencintai dengan halal.Bersama sampai tua.Bersatu hingga terpisahkan maut.Kau bilang, aku hanya harus perkuat doa dan harapan.Suatu saat Allah pasti akan mengabulkan.Tapi kenyataannya, kini, kau bersamanya...Apa yang tertinggal untukku, rindu yang kusam? Cinta yang terbuang? Air mata, lara?Jika masih ada ruang di hatimu untukku, sedikit saja.Bicaralah, katakan mengapa semua bisa begini?***Kugenggam erat hijab warna pink muda yang ada di tangan. Lalu membekap kuat ke dada. Seolah ini menjadi penawar sekian resah yang timbul karenanya. Hijab ini, hijab kepunyaan Aini. Sengaja puluhan tahun yang lalu tak kukembalikan pada pemiliknya. Ia marah saat aku malah memberikan jilbab yang baru, serupa namun tak sama sebagai ganti jilbab ini."Ini bukan jilbab ana. Akhy kemanakan jilbab ana?"Suaranya menderu di telpon, sesaat ketika aku baru saja sampai di rumah setelah mengembalikan jilbabnya di pintu pagar."Maaf, ko
Aku mulai mencemburui awan, karena mendapati kau terus memandangnya.'Sattar.***Siang ini, aku sempatkan diri singgah ke rumah diantara jam-jam istirahat. Entah kenapa seharian ini, perasaanku serba aneh. Parahnya lagi, entah sejak kapan aku mulai mengurusi jadwal Aini menyambut bayi sesar. Rasanya kalau tiap hari aku meributkan soal kecil begini, bisa-bisa aku dikira mencemburui dokter Jibran. Ah, memang iya aku mencemburuinya?Ck!Beberapa meter lagi sampai rumah, aku melihat seorang lelaki turun dari sebuah ojek tepat di depan pagar rumahku.Kupelankan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu menurunkan kaca mobil sembari bertanya."Bapak cari siapa?"Lelaki itu segera menoleh dan berjalan mendekati mobilku."Saya mencari seseorang di rumah ini," jawabnya pelan, "benarkah ini rumahnya Hurun Aini?" Aku mendelik. "Benar. Ada perlu apa Bapak sama istri saya?""Oh, maaf. Jadi anda suaminya saudari Aini?"Kuanggukkan kepala. Masih menanti penjelasan siapa dan apa perlunya dengan Ain
Diam-diam ikhlas, bukan diam-diam sesak.Diam-diam berkorban, bukan diam-diam terluka.Begitulah caraku mencintainya.Tapi itu dulu, kini aku harus membuka kedua tangan dan mempersiapkan diri untuk menjadi janda. Ya, janda tak tersentuh.'Hurun Aini.'***Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Kok bisa Bang Sattar membuka belanjaanku? Mana tadi itu belanja khusus dalaman. Huh, bisa-bisanya Bang Sattar memegang baju yang, oh ... pasti dia berpikir yang nggak-nggak. Hiks ... Hiks ...Kurebut bajuku dari tangannya. Ia gelagapan. "Maaf, Abang salah buka plastik. Tadi Abang cuma mau lihat baju yang kamu beli untuk Fikri."Benarkah katanya? Tapi aku terlanjur kesal juga malu. Nggak tahu harus kubawa kemana wajah ini. Jika baju ini itu sudah ada di tangan Bang Sattar, apalagi yang seperti kaca mata itu. Pasti dia sudah melihat benda terlarang milikku!Padahal itu hanya untuk koleksi, mana mungkin aku tega memakai yang begitu modelnya. Kugagalkan niat memasuki mobil. Dengan cekatan aku
Pov Aini"Katakan satu hal pada Ana, ukhty Aini. Apakah ukhty pernah mencintai Ana walau sebesar debu?"Ayatullah Jibran Siddiq.***Pagi ini aku bangun lebih cepat, bukan. Bukan bangun, karena memang semalaman aku tak tidur. Tepatnya keluar kamar lebih cepat.Sepanjang malam aku menghabiskan waktu di atas sajadah. Segalanya, tentang kemelut batin yang tak sederhana, bagaimana aku terus berkarib dengan kesabaran, juga tentang luka yang sepanjang hati berceceran. Semua kuadukan pada-Nya, pemilik suka dan duka. Meski tak sempurna menenangkan, tapi cukup membuat mata ini berhenti menumpahkan isinya.Kata pisah yang diucapkan Bang Sattar semalam, aku harus mendapatkan penjelasan.Apakah benar dia bermaksud ingin menceraikanku. Jika memang ia serius dengan ucapannya, maka aku akan pergi. Aku tak ingin menjadikan talak satu yang memungkinkan pasangan kembali dalam masa iddah, terjadi pada kasus kami ini. Aku akan menganggap peristiwa ini sebagai salah satu alasan untuk memilih jalan berpisa