"Lapor, Dok. Ada pasien post SC dengan riwayat pre-eklampsia yang membutuhkan penanganan segera."
Kuhentikan kegiatan menulis status pasien yang sedari tadi tengah kutekuni.
"Siapkan tindakan operasi. Lima menit lagi, saya kesana," ucapku sambil menutup dan merapikan segala berkas.
"Oya, Aini sedang tidak sehat. Hari ini dia tidak bisa masuk. Tolong sampaikan ke ruangan."
Bidan di hadapanku mengangguk, namun tak lekas pergi, justru kembali melempar suara.
"Ehm ... Ehm ... Sebulan ditinggal, saat kembali malah kelelahan ya, Dok?"
Mataku seketika menyorot tajam ke arah Bidan yang terkenal suka berguyon itu.
"Permisi, Dok." Entah kenapa, melihatku menatapnya tegas, dia segera pamitan meninggalkan ruangan.
Aku kembali merebahkan punggung pada sandaran kursi. Lalu menggerakkan kursi putar itu ke samping kiri. Tak jauh di depan, pada dinding yang bercat putih gading, sebuah cermin besar terpasang di atas wastafel.
Aku bangkit dan melirik wajah dari kejauhan.
"Apa maksud perkataan Kak Yu, apa dia berpikir Aini ...?" Kuhentak kakiku mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Kuussap wajah dengan kedua tangan. Dalam angan, sesuatu kembali bertanya. 'Kapan terakhir kali tanganku dikecup oleh seorang wanita, sepertinya sudah sangat lama. Ya, saat Hanna di dorong ke ruang operasi. Saat itu, dia mengecup tanganku sambil meminta maaf.
Melihatnya kesakitan, jiwaku antara ingin menangis dan tersenyum. Tersenyum karena sesaat lagi, sosok yang sangat kami rindukan akan hadir di dunia. Namun ingin menangis, karena khawatir akan keselamatan Hanna nanti di atas meja operasi. Terlebih, dengan diagnosa yang di derita, persalinan SC atas indikasi placenta previa.
Hampir sembilan bulan aku tak mendekatinya, karena plasenta yang menutupi hampir seluruh jalan lahir. Tapi demi Hanna dan janin yang sudah lima tahun kami nanti, aku sanggup menahan diri.
Setelah kepergian Hanna, nyatanya aku memang memiliki tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Tapi, tempat itu seolah tak ada. Aku tak menemukan keinginan untuk menyentuhnya.
Hufht!
Jemari tangan kini menekan kedua bola mata. Jika mengingat semua itu, terlebih detik-detik kepergian Hanna, jantungnya selalu berdegup kencang.
Aku meneguk air di atas meja. Tiba-tiba, saat-saat itu kembali terlintas.
"Uterusnya tak berkontraksi, Dok."
"Tambahkan oksitosin. Drip dua ampul. Suntikan metergin. Siapkan transfusi darah!"
Tanganku tak henti bekerja, terus mencari cara agar rahim Hanna mau berkontraksi, sehingga darah yang mengucur deras bak keran itu bisa segera berhenti.
"Jangan menyerah, Dek. Fikri menunggu ASI dari Mamanya . Sekarang Adek harus berjuang, ya."
Kusemangati dia kala itu, yang tampak lemah dan tak mampu lagi membuka mata.
"Buka mata Adek ...."
Dadaku begitu sesak, bayangan di ruang operasi kembali serasa ada di depan mata. Perawat yang lalu lalang, selang infus berisi darah, monitor denyut jantung yang terus melemah.
"Jangan tidur, Dek. Buka mata Adek. Buka, Dek ... Buka mata Dek ...!"
Deg!
Deg!
Deg!
Degup jantungku begitu kencang. Kutarik napas dalam, sambil mencoba mengatur pola pikir. Tak terasa air mataku berderai membasahi pipi.
"Kenapa secepat ini kamu pergi, Dek ...."
***
Setelah tenang, kugerakkan kaki kembali, ingin segera sampai di ruang operasi, dimana kedatanganku sudah dinanti sedari tadi. Tapi, entah mengapa, sesuatu yang kini berada di bawah lengan, menuntunku untuk kembali duduk sejenak.
Rasa penasaran menuntunku untuk membuka lembaran pertama dari diary Aini, aku mulai membacanya.
--------
Aceh Besar, 05 Mei 1990
_Aku mengenalnya seperti angin, ia hadir tak pernah kuminta. Datang memberi kesejukan sekalipun saat tubuh sedang terbakar amarah. Mengkinkah ini yang disebut para pujangga sebagai kata cinta?_
Diary pertamaku bersamanya. Akan kutuliskan seperti sebuah cerita. Ya, cerita kami. Ah, semoga berakhir dipelaminan.
-----
Deg!
Sesuatu menghentak jantungku dengan kiat. Kuabaikan, tanganku kembali fokus untuk membuka halaman kedua. Kata demi kata tertuang indah dalam lembaran itu.
'Tulisannya bagus," batinku memuji tanpa sadar. Tiga tahun menikah, aku bahkan tak tahu bagaimana tulisan Aini. Kata demi kata, aku kembali meneruskan membaca goresan itu.
------
"Seorang santriwati menginjak tanah haram!" teriakan salah satu santri putra membelah pagi di asrama Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Jibran yang baru saja selesai berseragam, melongok keluar kamar.
"Siapa?" tanyanya lantang.
"Sepertinya santri kelas 10!" jawab Fatah dengan terengah-engah.
"Ana kesana sekarang!"
"Ana ikut, Bran!"
Keduanya mempercepat langkah menuju ponpes putra. Sampai di halaman, netra Jibran langsung tertuju pada ruangan Ustadz dan Ustadzah yang sudah dipenuhi beberapa santri putra.
"Ada apa ini?"
Suara Jibran membuat santriwati juga beberapa santri-santri yang berkerumun itu menoleh. Semua terdiam. Jibran tak berani melangkah, bukankah larangan keras seorang santriwati berada di tanah haram. Jika kedapatan, sanksi keras akan dikeluarkan dari pondok.
"Ana akan sampaikan berita ini pada Kiai."
"Jangan!"
Santriwati itu akhirnya bersuara.
"Tolong, jangan sampaikan hal ini pada beliau. Ana kemari hanya untuk mengambilkan obat asma Ustadz Jamil di dalam laci kerja beliau."
Jibran mengernyitkan dahi.
"Obat asma? Apa yang terjadi dengan Ustadz Jamil?"
"Beliau saat ini ada di ruangan Ustadz di ponpes santriwati. Beliau mendadak sesak napas, dan saat itu, kebetulan Ana yang melihat beliau. Beliau meminta Ana untuk mengambilkan obat di dalam laci kerjanya."
"Tapi anti tahu 'kan, sanksinya jika kedapatan menginjak tanah haram?" Jibran selaku ketua OSIM kembali melempar pertanyaan.
"Lalu Ana harus membiarkan Ustadz Jamil meninggal karena nggak bisa bernapas?"
Semua terdiam.
Jibran memberanikan diri memasuki ruangan pengajaran, lalu mendekati meja kerja Ustadz Jamil. Pemuda itu cekatan membuka laci meja. Ia ingin membuktikan kebenaran perkataan gadis di hadapannya.
Ketika laci terbuka, benar, ada obat semprotan serupa obat asma di laci itu.
"Ana percaya. Berikan obat ini pada Ustadz Jamil. Kasihan beliau."
Jibran menyerahkan obat di tangannya ke arah santriwati itu.
"Terima kasih anta sudah percaya pada Ana," ucap santriwati itu sambil melirik name tag yang tertempel di dada atas pemuda di hadapannya.
'Ayatullah Jibran Siddiq.'
"Astaghfirullah, sedang apa kalian berdua-duaan di ruangan ini!"
Jibran dan gadis itu terhenyak. Suara itu, suara pemilik Ponpes. Keduanya menoleh ke pintu masuk.
"Kiai Rahman?"
-------
"Dok, persiapan operasinya sudah beres. Dokter ditunggu di ruangan."
Salah satu bidan kembali datang mengingatkanku jadwal operasi. Seketika aku terhenyak, karena membaca surat Aini, aku jadi terlupa ada pasien yang sedang menunggu.
"Baik, saya kesana."
Kututup diary biru Aini dengan rasa penasaran yang tinggi. Siapa santriwati yang kedapatan berduaan dengan Jibran, apakah Aini?
'Aku akan membacanya kembali Setelah operasi selesai.'
***
Aku dan beberapa perawat bedah lelaki masih duduk di ruang dokter di samping kamar operasi. Pembedahan pada pasien pre-eklampsia cukup melelahkan. Duduk istirahat sambil menikmati kopi, adalah cara untuk menyegarkan seluruh otot. Bukankah setelah ini masih ada pasien lain yang sudah menanti?
"Ini jadwal operasi lainnya hari ini ya, Dok."
Seorang perawat menyerahkan status beberapa pasien yang harus kutangani lagi.
"Saya visit ruangan dulu, ya," jawabku singkat sambil meraih pemberian dari perawat itu.
"Siap, Dok."
Kenyataan, sebagai dokter, aku memang tidak pernah berhenti dari melayani pasien. Bagaimanapun lelahnya, bahkan Sekalipun baru saja menginjakkan kaki di rumah, setelah bepergian cukup lama. Tak pernah sedikitpun jiwa ini merasa terbebani, kecuali jika suatu waktu, Aini mendapat giliran menyambut bayi di ruang operasi. Nah, saat itulah, jika bisa, aku ingin berhenti menjadi dokter.
Saat melihat Aini di ruang operasi, yang selalu terbayangkan di benakku adalah sosok Hanna. Jika bisa berkata jujur, aku lelah. Lelah memendam rasa bersalah ini seorang diri.
Aku selalu meminta, agar waktu bisa kembali. Aku ingin melarang Hanna hamil. Ah, sebuah keinginan yang salah, masih berharap bisa melawan takdir. Seakan aku ingin menolak hakikat takdir Allah, bahwa Jodoh, rejeki, maut itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudh.
***
Tepat pukul lima sore, aku keluar dari ruang operasi. Ini menjadi jadwal operasi terakhir untuk hari ini. Saat berjalan di koridor, aku berpas-pasan dengan dokter Muntahar, Direktur utama rumah sakit.
"Assalamualaikum, Dok."
"Waalaikum salam."
"Bagaimana perjalanan kemarin, Dok?"
"Alhamdulillah, sukses."
"Bagaimana dengan perkembangan surat kerja sama untuk pengadaan alat-alat medis terbaru dengan rumah sakit Medical Tokyo, Dok? apa sudah selesai?"
"Sudah, Dok. Saya berencana membuat presentasinya akhir pekan ini. Bagaimana menurut dokter?" Kucoba mengajukan sebuah pertanyaan.
"Silahkan saja Dokter atur. Koordinasikan dengan pihak yang lain, agar pelaksanaan presentasinya bisa berjalan lancar."
"Siap, Dok."
"Oya, Dokter Sattar, mungkin sesaat lagi, dokter tidak akan selelah ini. Akan ada seorang dokter OBGIN yang dikirim ke rumah sakit ini. Beliau lulusan terbaik Universitas Indonesia. Mungkin beliau akan menjadi dokter termuda di rumah sakit ini. Namanya, Ayatullah ...."
Kring ... Kring...
"Sebentar Dok, saya angkat telponnya dulu," pamit Dokter Muntahar sambil berjalan sedikit menjauh.
Tubuhku sejenak mematung sambil kembali mengeja nama yang disebutkan dokter Muntahar.
'Ayatullah, seperti pernah mendengar nama itu.'
Jiwaku langsung telempar pada diary Aini. 'Ayatullah Jibran Siddiq.'
"Benarkah sambungannya itu ...?"
"Maaf Dok, saya harus keluar sebentar. Ada panggilan darurat yang harus saya penuhi."
Dokter Muntahar kembali berpamitan sambil membalikkan langkahnya.
"Tunggu, Dok. Nama lengkap dokter itu siapa?"
Dokter Muntahar menghentikan langkahnya.
"Ayatullah Jibran Siddiq. Besok kita menerima kedatangan beliau. Tolong hadir ya, Dok, di aula. Seperti biasa," jawabnya sambil berlalu pergi.
Aku cukup terhenyak mendengar nama yang disebutkan rekanku itu. Sejenak kaki ini kembali mematung dengan perasaan yang tak terbaca. Tak percaya sekaligus tak menyangka.
"Jika benar dokter itu adalah lelaki yang dimaksud dalam buku diary Aini, mengkinkah ini petanda bahwa aku harus melepaskannya?" lirihku pelan.
Netraku diajak memandang jauh, nanar, entah kemana. Pikiran kini justru seperti tali putri malu yang merambat-rambat. Kuhela napas panjang.
"Haruskah aku membiarkannya pergi?"
***
Jangan lupa, Utamakan membaca Al-Quran.
Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini."Sattar. ***Aku sampai di rumah tepat pukul sebelas malam. Rasa gerah yang menghujam tubuh menuntunku untuk segera mensucikan diri di bawah air pancuran. Harusnya tidak selarut ini aku pulang. Namun, kejutan dari teman-teman dalam rangka menyambut ulang tahunku, mengubah segala rencana. Ditambah lagi keharusan menangani pasien SC yang masuk secara dadakan. 'Huh benar-benar melelahkan.'Perlahan, kulangkahkan kaki menapaki teras rumah. Dengan pelan kubuka pintu masuk. Suasana tampak hening, pasti semua sudah tertidur. Tapi saat pintu rumah terbuka lebar, m
Pov Aini***"Makasih, ya."Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?"Makasih buat apa, Bang?""Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan.""Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat."Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.Huh!Aku persembahkan hidupku untukmuTelah ku relakan hatiku padamu.Namun kau-Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.Ciumlah, bibirku ini,Karena esok aku tak disini,Kulihat dari-Tut!Belum habis lagu istimew
Pov JibranNamaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam."Aini, semoga kamu masih menungguku."***Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku."Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan ke
Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."Fathy Abdus Sattar.Pov Sattar***Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang munta
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .
Pov jibran...Kau bilang, suatu saat kita pasti bisaBisa saling mencintai dengan halal.Bersama sampai tua.Bersatu hingga terpisahkan maut.Kau bilang, aku hanya harus perkuat doa dan harapan.Suatu saat Allah pasti akan mengabulkan.Tapi kenyataannya, kini, kau bersamanya...Apa yang tertinggal untukku, rindu yang kusam? Cinta yang terbuang? Air mata, lara?Jika masih ada ruang di hatimu untukku, sedikit saja.Bicaralah, katakan mengapa semua bisa begini?***Kugenggam erat hijab warna pink muda yang ada di tangan. Lalu membekap kuat ke dada. Seolah ini menjadi penawar sekian resah yang timbul karenanya. Hijab ini, hijab kepunyaan Aini. Sengaja puluhan tahun yang lalu tak kukembalikan pada pemiliknya. Ia marah saat aku malah memberikan jilbab yang baru, serupa namun tak sama sebagai ganti jilbab ini."Ini bukan jilbab ana. Akhy kemanakan jilbab ana?"Suaranya menderu di telpon, sesaat ketika aku baru saja sampai di rumah setelah mengembalikan jilbabnya di pintu pagar."Maaf, ko
Aku mulai mencemburui awan, karena mendapati kau terus memandangnya.'Sattar.***Siang ini, aku sempatkan diri singgah ke rumah diantara jam-jam istirahat. Entah kenapa seharian ini, perasaanku serba aneh. Parahnya lagi, entah sejak kapan aku mulai mengurusi jadwal Aini menyambut bayi sesar. Rasanya kalau tiap hari aku meributkan soal kecil begini, bisa-bisa aku dikira mencemburui dokter Jibran. Ah, memang iya aku mencemburuinya?Ck!Beberapa meter lagi sampai rumah, aku melihat seorang lelaki turun dari sebuah ojek tepat di depan pagar rumahku.Kupelankan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu menurunkan kaca mobil sembari bertanya."Bapak cari siapa?"Lelaki itu segera menoleh dan berjalan mendekati mobilku."Saya mencari seseorang di rumah ini," jawabnya pelan, "benarkah ini rumahnya Hurun Aini?" Aku mendelik. "Benar. Ada perlu apa Bapak sama istri saya?""Oh, maaf. Jadi anda suaminya saudari Aini?"Kuanggukkan kepala. Masih menanti penjelasan siapa dan apa perlunya dengan Ain
Diam-diam ikhlas, bukan diam-diam sesak.Diam-diam berkorban, bukan diam-diam terluka.Begitulah caraku mencintainya.Tapi itu dulu, kini aku harus membuka kedua tangan dan mempersiapkan diri untuk menjadi janda. Ya, janda tak tersentuh.'Hurun Aini.'***Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Kok bisa Bang Sattar membuka belanjaanku? Mana tadi itu belanja khusus dalaman. Huh, bisa-bisanya Bang Sattar memegang baju yang, oh ... pasti dia berpikir yang nggak-nggak. Hiks ... Hiks ...Kurebut bajuku dari tangannya. Ia gelagapan. "Maaf, Abang salah buka plastik. Tadi Abang cuma mau lihat baju yang kamu beli untuk Fikri."Benarkah katanya? Tapi aku terlanjur kesal juga malu. Nggak tahu harus kubawa kemana wajah ini. Jika baju ini itu sudah ada di tangan Bang Sattar, apalagi yang seperti kaca mata itu. Pasti dia sudah melihat benda terlarang milikku!Padahal itu hanya untuk koleksi, mana mungkin aku tega memakai yang begitu modelnya. Kugagalkan niat memasuki mobil. Dengan cekatan aku