Share

2. Sangat Merindu

Pov Sattar

***

Namaku Fathy Abdus Sattar, usiaku kini tiga puluh delapan tahun.  Banyak orang menyebutku Macan Asia, mungkin karena kelihaianku dalam menyelesaikan setiap kasus di bawah lampu operasi. Saat ini aku tercatat sebagai dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banda Aceh.

Hampir sepuluh tahun mengabdi, tak pernah ada pasien yang melayang ajalnya di tanganku. Semua berakhir bahagia. Kecuali satu, tiga tahun yang lalu, dia adalah wanita yang sangat kucintai.

Hanna, istriku. Aku telah membunuhnya. Hanna, Dia meninggal di tanganku sendiri.

Mungkin aku adalah lelaki paling bodoh di dunia. Istilah macan Asia itu tidak pantas lagi disematkan untukku. Benar, semua ini nggak adil! Berapa banyak aku telah menolong setiap jiwa yang tengah bertarung nyawa melahirkan bayinya ke dunia. Lalu kenapa? Kenapa Dia tak membiarkan istriku tetap bernapas, kenapa Dia membiarkan wanita yang begitu kucintai meregang nyawa di tanganku? Di tanganku?

Lima tahun ya Allah! Lima tahun kami berjuang, bersabar, berdoa. Jika tak Kau biarkan dia hidup lebih lama, maka bukakanlah matanya beberapa detik. Hanya beberapa detik. Aku ingin dia melihatku, melihat anakku, melihat anak kami. Tapi semua nihil! Jantungnya berhenti berdetak, napasnya berhenti berembus. Dia pergi! Selamanya!

"Dek, maafkan Abang. Abang sangat menyesal. Pulanglah sebentar, Dek, tengok Abang. Abang rindu. Tengok Fikri, Dek. Dia udah besar. Dia pasti juga rindu sama kamu. Pulanglah Dek ... sebentar saja?"

Kuhentikan kegiatan menulis diari untuk pertama kali. Jantungku berpacu kencang. Keringat mengucur di pelipis. Jika mengingat peristiwa itu, detik-detik kepergian Hanna, ingin rasanya aku mengakhiri hidup ini. Tapi Fikri? Aku tak mungkin membiarkan Fikri hidup seorang diri, meski ada Aini. Sebab Aini bukan ibu kandungnya.

Aku harus tetap hidup, meski separuh hatiku sudah pergi, bersama Hanna.

***

Malam semakin naik, suasana diluar terasa amat senyap. Sejenak, pikiranku diajak beralih ke sebuah kamar. Entah sedang apa dia saat ini.

Kupandangi buku yang kini ada di lenganku.  Sebulan yang lalu, saat aku hendak berangkat ke Tokyo mengikuti 'pelatihan Penggunaan Alat-Alat Kedokteran Terbaru', aku dan Aini sempat bersiteru hebat. Aini-Hurun Aini, dia adalah istri keduaku. Adik kandungnya Hanna. Saat itu ...

----

"Abang, mau kemana?" tanya Aini ketika melihatku keluar rumah dengan membawa sebuah koper.

"Mau ikut pelatihan di Tokyo," jawabku singkat sambil meneruskan langkah hingga ke depan pintu keluar.

"Kok nggak kasih tau Aini duluan, Bang?" gadis itu mengejar langkahku dari belakang.

"Abang ingat nggak minggu lalu Aini bilang kalau hari Sabtu ini ada jamuan keluarga di kediaman Dokter Muntahar?"

Kehentikan langkah sejenak sambil menerawang, berpikir. "Kamu pergi aja sama Fikri, ya. Mereka sudah tahu jika Abang yang ikut pelatihan ke Tokyo kali ini."

Dahi gadis itu seketika mengerut. Matanya menyorot tajam. Kelihatan sekali kalau saat itu dia sedang marah. Ah, mungkin juga bukan. Aku tak pernah tau bagaimana ekspresi wajahnya, baik itu saat dia bahagia, ataupun marah. Ya, karena selama ini, aku tak pernah melihat matanya ketika kami berbicara.

"Jadi mereka semua udah tahu, kecuali Aini?" Suara gadis itu kini mulai meninggi.

"Maaf, ya. Abang lupa kasih tahu," jawabku santai.

"Lupa? Harusnya Abang tulis di buku catatan, semua pesan-pesan dari Aini, juga menulis semua pesan yang akan Abang sampaikan ke Aini. Biar Abang nggak lupa!"

Teriak gadis itu sambil mendorong tubuhku yang menutupi pintu keluar. Detik berikutnya, Aini berlalu, menaiki mobilnya seorang diri, lalu melesat secepat kilat meninggalkan halaman rumah.

----

Kuhela napas panjang. Ingatan itu, benar aku sangat tak adil padanya selama ini. Seminggu lebih aku pergi, tak satupun oleh-oleh yang kubawa pulang untuk Aini. Sebenarnya ada, tapi mungkin aku takkan pernah memberikan padanya.

"Ini kalung, mutiaranya langsung dari lautan lepas Jepang, Dok. Namanya mutiara klasik. Kasihkan ini sama ini oe o, biar dia senang dan makin cinta."

Dokte Chu memberikan kalung bermata mutiara padaku. Indah dan kilauannya membuat mata terkagum sesaat, warnyanya pun sangat menawan, biru-perak.

Entah kenapa saat malam itu, saat aku menerima pemberian Dokter Chu, aku mulai berimajinasi, membayangkan bagaimana jika kalung ini tersemat di leher Aini. Cantikkah dia?

Ah, tiga tahun menikah, aku masih saja tak bisa menggantikan posisi Hanna dengannya. Jujur, aku masih belum punya rasa untuk gadis itu yang kini telah menjadi istriku. Tapi kenapa malam ini sesuatu yang berbeda mulai kurasakan untuknya?

Kugeleng-gelengkan kepala. Aku tak boleg menggantikan posisi Hanna dengan siapapun. Kulirik kembali buku yang ada di atas meja.

"Dek, Aini menyuruh Abang menulis diari tentang kami. Tapi Abang malah menulis diari tentang kamu. Aini menyuruh Abang mengingatnya, tapi Abang nggak bisa berhenti mengingat kamu, Dek. Maafkan Abang, sampai kapanpun, Abang nggak akan bisa melupakan Adek. Sekalipun untuk Aini."

***

Entah pukul berapa semalam aku tertidur. Setelah tanpa sadar aku dengan mudah diperdaya Aini untuk menulis diary.

"Huh! Dia hampir berhasil merubahku menjadi seorang perempuan!"

Kugerakkan badan perlahan, masih jam lima subuh. Tapi perut sudah mules luar biasa. Mungkin karena pop mie pedas yang semalam kuhabiskan seorang diri di kamar ini.

Langkahku kini menuruni ranjang, dan bergegas ke kamar mandi.

Sial! Bak mandi kosong, kenapa tidak diisi air. Perutlu semakin dililit. Sedikit berlari aku keluar kamar. Rasanya jika memilih turun ke lantai bawah, bisa beseran dalam celana. Tak tahu lagi mengelak, akhirnya aku membuka kamar itu. Kamar Aini!

Kubuka pintu kamar Aini perlahan, biasa jam segini dia sedang sibuk di dapur. Mudah-mudahan pagi ini juga begitu.

Setelah pintu terbuka, ada yang aneh. Aini masih di ranjang, dengan seluruh tubuh berbalut selimut.

"Ada apa dengannya?"

"Bang," panggil Aini pelan.

Kuhentikan langkahku lalu melirik kearahnya sejenak sambil menahan rasa mulas luar biasa.

"Tolong ambilkan minyak kayu putih di atas meja rias sebentar," pinta Aini dengan suara meringis khas pasien-pasien di rumah sakit.

Kupegang perut dengan kuat lalu berbalik ke meja rias dan mengambil apa yang diminta Aini. Setelahnya aku kembali mendekatinya di ranjang.

"Kamu sakit?" tanyaku enggan, sebab saat ini tak ada lain yang kuinginkan selain meluncur ke kamar mandi.

"Iya. Perut Aini sakit."

'Sama. Ah.'

Tapi sepertinya, rasa mulas yang kurasakan tak sama dengan yang dia rasakan. Dengan membentengi perut agar sabar sejenak, kugerakkan tubuh berjalan menuju kotak P3K. Mengambil sebutir antasida lalu kembali ke ranjang untuk menyerahkan obat itu pada Aini.

"Minum ini."  Kusodorkan obat berwarna hijau di tangan dan segelas air ke arah gadis itu, "kalau sakit perut minum obat lambung, jangan cuma ngolesin minyak kayu putih," ucapku setelah Aini mengambil obat , mengunyah dan meneguknya.

"Kalau nggak sanggup kerja, pagi ini libur aja. Biar Abang yang kasih tau pegawainya nanti."

Aini terdiam sambil terus menatapku. Entah kenapa, manik mataku pun seperti tertarik untuk menatapnya. Sesaat mata kami saling beradu. Aneh, ada yabg menyentak jantungku. Buru-buru kualihkan pandangan ke arah lain.

'Lama-lama, hilang juga ini mules.'

Aini tampak kembali menyelimuti diri dengan selimut tebal. Wajahnya benar-benar pucat, sebenarnya dia kenapa? Apa benar karena lambungnya bermasalah?

'Ah, kenapa jadi memikirkan Aini. Padahal tadi tujuanku kemari mau menuntaskan hajat. Mendadak keinginan itu seperti hilang.

***

Aku dan Fikri baru saja selesai menikmati sarapan pagi, tentu saja tanpa Aini. Beberapa kali Fikri bersikeras ingin ke kamar wanita yang kini ia sebut mama itu, tapi aku terus melarangnya.

"Fikri tunggu di mobil bentar ya, Nak. Ayah mau ambil berkas penting di kamar."

Tanpa banyak bicara, bocah kecil yang hampir genap tiga tahun itu bergegas mengikuti permintaanku. Setiap pagi jika bukan aku, maka Aini yang bertugas mengantar Fikri ke rumah PAUD. Tapi pagi ini, meski buru-buru, kusempatkan diri untuk mengantarnya. Menghara Aini juga tidak mungkin, sebab nyata ia sakit dan tak mampu beranjak dari tempat tidur.

Setelag Fikri berlalu keluar, aku segera bergerak. Langkahku kini kembali menuju kamar Aini.

Pintu kamar kubuka begitu perlahan, tak ingin membuat Aini terbangun. Seumur perkawinan kami, gadis itu hampir tak pernah sakit. Ah, mungkin juga pernah. Bukankah selama ini aku tak pernah tahu tentangnya? Lalu ada apa denganku kini? Dari semalam dia terus menganggu pikiranku?

Huh!

Sesampai di kamar,  kulirik sekilas ke ranjang. Aini masih berbalut selimut. Tak ingin berlama-lama, langsung saja kubongkar laci meja kerja. Tadinya sebelum berangkat ke Tokyo, aku meletakkan berkas penting sehubungan dengan akreditasi rumah sakit di laci meja ini. Kubolak balikkan berkali-kali lembaran yang tergeletak rapi di tempat itu. Hampir sepuluh menit membongkar, tak juga kutemukan berkas yang kumaksud.

Tanpa sadar netraku kini tertuju pada sebuah almari besar, kepunyaan Aini.

"Mungkinkah berpindah ke situ?" Sesuatu berbisik pelan di telinga.

Kusempatkan diri melirik Aini yang masih berbalut selimut. Rasa deg-degan tiba-tiba mendera, tapi entah kenapa hatiku semakin terdorong untuk menjelajah tempat privasi gadis itu. Dengan pelan kubuka kunci lemari, lalu menelisik satu-persatu buku-buku tebal juga novel yang jumlahnya lebih dari lima puluhan.

Rak pertama hingga kedua isinya novel dan buku-buku inspirasi. Rak kedua kita-kitab. Dan rak ketiga paling bawah, aku berhasil menemukan tumpukan map-map besar berwarna coklat.

'Nggak ada salahnya di cek, barangkali saat bersih-bersih kamar, Aini salah meletakkan berkas,' batinku kembali berbisik.

Aku mulai membuka satu persatu map sambil membaca kop surat dibagian depan. Hampir semua kutelusuri, dan kesemua itu adalah berkas kerja Aini di rumah sakit. Tiba di map paling bawah, bagian depannya kosong. Aku yakin itu juga kepunyaan Aini, karena berkas perlengkapan akreditasi yang kucari pada bagian depannya diberi judul.

Awalnya ingin kuabaikan, namun tulisan Ayatullah Jibran Siddiq membuat jemariku berhenti bergerak.

'Nama lelaki.'

Kutarik map coklat itu. Lalu membuka perlahan sambil melirik Aini. Tangan ini berhasil meraih sebuah buku. Kukeluarkan dengan seksama. Lalu berjatuhanlah surat demi surat yang dikirim atas nama Hurun Aini.

Aku meneliti satu persatu surat itu, semua pengirimnya bernama sama. 'Ayatullah Jibran Siddiq.'

Deg!

Tiba-tiba jantungku kembali terhentak!

"Ehm!"

Aku buka buku diari yang ada di dalam map itu, dibagian depannya bertuliskan 'Diary Biru Hurun Aini.'

Sambil menarik napas dalam, kubaca kalimat pertama pada halaman pertama.

'Aceh Besar, 05 Mei 1990'

Tiba-tiba Aini menggeliat. Aku spontan terkejut, hingga diary yang ada di tangan terjatuh ke lantai.

Sesaat, jantungku berdentum cepat, terbayang bagaimana jika Aini memergokiku tengah membaca sesuatu yang pasti tak boleh dibaca oleh siapapun. Tapi untungnya, Aini tertidur kembali.

Setelah kondisi aman, aku memasukkan semua isi map tadi ke dalam tempatnya. Sedikit bimbang antara meletakkan kembali benda itu ke tempat semula atau membawa bersama.

'Sebaiknya aku pinjam sebentar. Penasaran! Semoga Aini nggak sedang mencarinya beberapa saat ini.'

Kuapit map coklat di dalam lengan. Sambil berjalan keluar, kulempar pandang kembali ke atas ranjang. Pemandangan di depan mata, menuntunku untuk berhenti sejenak.

Wajah bercahaya meski tanpa polesan make up, bibir ranum tanpa dilapisi lipstick, bulu mata yang lentik, hidung bangir, gadis ini ... cantik!

'Astagfirullah!'

Buru-buru aku mengalihkan pandangan, saat untuk kedua kalinya kurasa ada sesuatu yang tiba-tiba mengalir ketika mataku menatap gadis itu.

Aini menggeliat kembali. Kini lebih parah! Kedua kakinya bergerak seolah sedang bertanding bola di lapangan. Gerakan Aini membuat selimut yang menutupi tubuhnya  jatuh ke lantai.

'Baru kali ini aku melihat wanita tidur sambil nendang bola!' Kugeleng-gelengkan kepala. Aneh!

Tapi, hati tak tega membiarkan dia tertidur tanpa berselimut begitu. Sedikit ragu, aku berjalan mendekati ranjang. Lalu mengangkat selimut di atas lantai.

Ketika hendak menyelimuti tubuh Aini, sesuatu kembali menghujam dadaku. Tanpa bisa kucegah, ada yang mulai mengambang di pelupuk mata ini saat mendengar ia merintih memegang perut sambil memanggil namaku.

"Bang ... Bang Sattar ...."

Dua rasa bersalah menghujani tubuhku bersamaan. Rasa bersalah karena teringat kembali akan kepergian Hanna, juga perasaan berdosa karena telah menelantarkan Aini. Sejenak kupandangi tubuh Aini yang bahkan tak pernah kusentuh.

'Hurun Aini, bidadari bermata bening. Kamu gadis yang sempurna. Sayangnya, aku membuatmu tak sempurna sebagai seorang istri. '

Kubentangkan selimut menutupi tubuh gadis itu. Lalu bergerak menjauh. Ada rasa perih yang menyesaki dada. Tapi aku tak mampu melawan, hanya membiarkan rasa itu perlahan menghilang. Mungkin, menemui Hanna nanti di pemakaman akan menjadi penawar.

'Dek, Abang rindu ....'

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status