Baharudin tidak menjawab kata-kata Lila. Dia melirik sekilas dan terus saja fokus dengan setir mobilnya. Lila langsung menanyakan tujuan Baharudin mengajak sia pergi, apa untuk kencan? Kalau boleh jujur, antara iya dan tidak. Lila secara status adalah kekasih Baharudin, meskipun pura-pura dan hanya di depan orang tuanya. Tetapi, Baharudin makin nyaman bersama Lila. Dia bisa bebas jadi dirinya, leluasa minta bantuan apapun dan Lila tulus menolong. Apalagi jika berurusan dengan keperluan mama Baharudin. "Aku terlalu pede. Sorry," kata Lila akhirnya karena Baharudin tidak juga menjelaskan. Lila sendiri, hatinya perlahan menyukai Baharudin. Pria ceria dan asal bunyi itu, mulai sering menghantui pikiran Lila. Dia rada selengekan, bicara seperti tidak dipikir tetapi sangat sayang ibunya. Dan jika mengerjakan sesuatu pasti sepenuhnya, total. "Ya, anggap saja ini kencan. Kita akan happy-happy malam ini!" Baharudin menyahut juga. Mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Baharudin merasa ada deb
"Ngapain telpon aku? Aku lagi sibuk!" Lusia bicara dengan keras. Lila makin heran. Kenapa gadis yang Baharudin telpon marah-marah tidak jelas?"Mentari mana? Ada yang mau bicara sama dia. Pakai VC ya?" Baharudin tetap tenang, tidak terpancing gadis itu. "Ahh, oke. Bentar." Gadis itu menyahut. Tidak lama Baharudin menunjukkan layar ke depan Lila. Berdua mereka muncul. di layar dan tampak Mentari do sana. "Mbak Lila!" Mentari tersenyum lebar dengan wajah ceria. "Senang sekali bisa lihat Mbak Lila.""Mentari, kamu benar-benar bikin orang panik. Aku ga bisa tidur berhari-hari mikir kamu. Om Al, kamu belum kontak dia?" Lila memandang Mentari. Dia lega mantan teman kerjanya di mal itu tampak baik-baik. "Belum, Mbak. HP aku disita. Aku ga bisa kontak ke mana-mana. Tapi HP lama aku ketemu. Lengkap dengan tas dan barang penting lainnya." Mentari menjelaskan. Baharudin membiarkan Lila puas bicara dengan Mentari. Dia hanya mendengar saja. Tidak menyela dan tidak menimpali. Baharudin terus m
Horacio dan Asterita bertatapan. Mereka masih mencerna segala yang masuk ke telinga mereka. Leon, sepenuh hati bercerita, berusaha meyakinkan kedua orang tuanya, dia tidak salah memperjuangkan Mentari. Sekalipun Mentari bukan gadis kelas atas, dia pantas mendapat cinta Leon. Dan cinta Mentari yang memang Leon butuhkan di hidupnya. "Sayang, kenapa aku takut?" Jujur, ucapan itu keluar dari hati Asterita. Dia pegang tangan Horacio dan menggenggamnya kuat. Horacio mengusap lembut baju Asterita. Sungguh tak disangka, demi gadis yang dia cintai, Leon membahayakan dirinya berhadapan dengan orang-orang jahat. Leon sampai masuk tempat maksiat yang jelas seumur hidup Horacio dan Asterita melarang putranya ada di sana. "Gracias por Dios ... kamu baik-baik. Dan tidak harus berhadapan dengan polisi karena ini." Asterita melanjutkan. "Kamu yakin dia masih murni?" Horacio menatap Leon. "Apa maksud Papa?" Leon kaget dengan pertanyaan itu. "Leon, ini bukan soal dia virgin atau tidak. Aku tidak te
Pertanyaan Mentari membuat Leon terpaksa menarik napas dalam. Dia tidak mungkin langsung mengatakan orang tuanya keberatan dia menjalin hubungan dengan Mentari. Tapi kalau katakan mereka tidak masalah, tentu tidak akan menjadi baik buat Mentari. "Sayang, nanti waktu bertemu kamu akan tahu. Kamu tenang saja. Lusia akan membantu kamu bersiap. Oke?" Leon mengusap lembut pipi Mentari. Perlahan dia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Mentari. Mentari tidak mengelak. Dia menunjukkan seolah rela dengan sikap manis Leon. Hasrat Leon mulai naik. Wajah cantik dan sayu kekasihnya membuat dia ingin lebih. Apalagi malam makin merebak, suasana mendukung sekali untuk Leon menyentuh manis kekasihnya. Leon kembali mendaratkan kecupan. Lambat dia menggeser bibirnya dan mulai mengarah pada bibir mungil Mentari. Mentari yang awalnya diam, tiba-tiba mundur. Dia menunduk dan mendorong Leon agar melepas pelukannya. "Sayang ..." Leon kaget Mentari menolaknya. "Mas pulang ya ... maksud aku, ke rumah o
Suasana tegang tak terhindarkan. Sekalipun Lusia dengan saya santai berusaha membuat cair, tetap saja masih terasa kaku. Mentari hampir tak berani bergerak. Bicara pun harus hati-hati agar tidak menimbulkan sesuatu yang lebih tidak menyenangkan, "Leon, mencari pasangan itu sekali untuk seumur hidup. Sekali kamu mendapat pasangan yang salah, neraka sepanjang hidup yang kamu jalani. Sebaliknya, sekali kamu mendapat orang yang tepat, sesulit apapun yang kamu akan hadapi bahagia tidak akan jauh dari kamu," tutur Horacio. Bicaranya lebih lembut tapi tetap terasa tegas. Mentari sangat paham yang Horacio maksudkan. Bukan soal siapa Mentari semata, tetapi bagaimana nanti Mentari siap menjadi pendamping Leon. Mentari masih sangat muda. Apa mungkin dia bisa paham dengan kehidupan Leon yang sangat kompleks? Leon mendesah, lalu menghela napas berat. Dia tahu pasti dan mengerti sekali yang Horacio sedang uraikan kepadanya dan juga pada Mentari. Dunia Mentari dan Leon memang sangat jauh berbeda.
Dengan cepat Asterita dan Horacio menoleh pada putri bungsu mereka. Ada apa dengan Lusia tiba-tiba ngambek? Padahal sejak dia datang, dia tampak ceria dan baik-baik saja. "Kami tidak memperhatikan kamu?" Horacio merasa ada tuduhan tidak pada tempatnya. Kening pria itu berkerut sambil mencermati wajah Lusia. Bagaimana bisa Lusia protes begitu pada mama dan papanya? "Leon, Leon, Leon terus yang diurusi. Mama Papa ga tahu kan, aku lagi galau kelas berat? Dan karena apa? Ga nyadar, kan?" Bibir bagus dan seksi Lusia manyun. Dia sengaja membuat perhatian orang tuanya beralih padanya. Satu sisi, memang, akhir-akhir ini, Leon terus yang dibicarakan di rumah, seolah-olah Lusia tidak penting bagi keluarga Alvarez. "Sayang, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Mana mungkin Mama ga perhatian sama kamu. Kamu anak cantik Mama satu-satunya." Asterita dengan segera melebarkan tangan dan merangkul Lusia erat. "Mama ga lupa kan, aku sempat bilang ada yang deketin aku. Dan ga satu!" Lusia tegas bicara
"Maaf, Mas. Apa Mentari masih lama?" Irma ternyata yang menghubungi Leon. "Irma ... Ini baru selesai. Sebentar aku akan antar dia pulang." Leon menjawab sambil memandang Mentari. Wajah gadis itu memerah. Dia tersipu malu, karena hampir terjadi lagi adegan romantis di antara dia dan Leon. "Oke, Mas. Makasih." Irma menyahut, lalu panggilan berakhir. Mentari tidak berani melihat pada Leon. Dia malu juga bisa seperti itu di depan Leon. Apa yang ada di pikirannya? Tidak sepatutnya dia membayangkan melakukan sentuhan intim sebelum hubungannya resmi sebagai pasangan suami istri. Sejauh ini, sekalipun hampir dia jadi korban keganasan bisnis gelap perdagangan wanita, Mentari mampu bertahan. Jangan sampai dengan Leon justru dia membuka diri sebelum saatnya. "Kita balik, ya? Tapi mampir dulu beli nomor dan pulsa buat HP kamu," ajak Leon. "Aku yang bayar." Mentari bicara cepat. Leon mengerutkan kening mendengar itu. Lalu senyum Leon lebar menghiasi bibirnya. Leon paham, kenapa Mentari mau m
"Tuhan terlalu baik sama aku, Om. Mbak Irma yang menolong aku. Dia menghubungi Mas Leon, sampai akhirnya Mas Leon bisa jemput aku dari rumah tempat aku diculik." Mentari menoleh pada Irma. "Ah, terima kasih banyak. Kamu mau menolong keponakan aku," ujar Alman. Dia memandang pada Irma dengan tatapan haru."Sama-sama, Om. Karena Mentari dan Mas Leon aku akhirnya juga bisa bebas." Irma tersenyum. "Dan ... Mbak Irma butuh kerja, Om. Apa bisa ya, kerja di sini? " Mentari melihat Alman. Tentu saja hampir yakin, Alman bisa menghadap Bu Safira dan meminta pekerjaan buat Irma. "Hhhmm, sejarah terulang lagi, ya?" Alman tersenyum tipis. "Hehehe," Mentari nyengir. "Kamu bilang sama Tuan Muda sana. Biar lebih gampang," tandas Alman. "Ga mau. Ntar dikira memanfaatkan dia gara-gara dia pacarku. Aku ga suka kayak gitu, Om," tolak Mentari. Irma dan Alman menatap Mentari. Apa yang dia pikir! Itu pertolongan paling tepat, bukan? Leon juga tidak akan menolak menolong Irma. "Lebih baik tetap ikut p
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de