"Tuhan terlalu baik sama aku, Om. Mbak Irma yang menolong aku. Dia menghubungi Mas Leon, sampai akhirnya Mas Leon bisa jemput aku dari rumah tempat aku diculik." Mentari menoleh pada Irma. "Ah, terima kasih banyak. Kamu mau menolong keponakan aku," ujar Alman. Dia memandang pada Irma dengan tatapan haru."Sama-sama, Om. Karena Mentari dan Mas Leon aku akhirnya juga bisa bebas." Irma tersenyum. "Dan ... Mbak Irma butuh kerja, Om. Apa bisa ya, kerja di sini? " Mentari melihat Alman. Tentu saja hampir yakin, Alman bisa menghadap Bu Safira dan meminta pekerjaan buat Irma. "Hhhmm, sejarah terulang lagi, ya?" Alman tersenyum tipis. "Hehehe," Mentari nyengir. "Kamu bilang sama Tuan Muda sana. Biar lebih gampang," tandas Alman. "Ga mau. Ntar dikira memanfaatkan dia gara-gara dia pacarku. Aku ga suka kayak gitu, Om," tolak Mentari. Irma dan Alman menatap Mentari. Apa yang dia pikir! Itu pertolongan paling tepat, bukan? Leon juga tidak akan menolak menolong Irma. "Lebih baik tetap ikut p
Irma menatap lekat-lekat pada Mentari. Sendu dan sayu muncul jelas di wajah Mentari. Irma mencoba menebak apa yang sedang berkecamuk di hati Mentari mendapati kenyataan kekasihnya sedang dikejar lagi oleh wanita-wanita yang memang tampaknya lebih berkelas dan lebih tepat berada di sisi Leon. "Tari ..." panggil Irma dengan nada suara berat. Mentari memandang Irma. Maish sama, sendu dan sayu. "Kamu sayang Leon ga?" tanya irma. "Iya, Mbak. Mas Leon itu pria pertama yang membuat aku ngerti cinta. Aku bukan ga pernah naksir cowok, tapi ... dia beda. Beda banget. Pacar pertama aku. Aku maunya ya sekali ini langsung jadi," kata Mentari. "Kamu yakin Leon cinta kamu ga?" Pertanyaan kedua dari Irma. "Ya, iya, Mbak. Kalau nggak, dia ga akan cari aku. Ga mungkin sampai dia bayar aku jutaan ke Mami Mirina." Mengingat semua yang Leon lakukan, hati Mentari berdesir. "Jadi ... kenapa kamu ga semangat?" tanya Irma lagi, ketiga kalinya. "Cewek-cewek itu ..." Mentari mendesah. "Kenapa mereka?" t
"Sampai bertemu lagi. Aku doakan kalian akan selalu bahagia. Jika ada waktu mampirlah kemari. Pintu rumah ini dan juga gereja selalu terbuka." Angel menyalami Leon dan Mentari saat keduanya berpamitan. Wanita lembut dan baik hati itu memeluk erat Mentari sekali lagi sebelum dia lepaskan pergi dengan Leon. Mentari sangat bersyukur, bisa dipertemukan dengan Angel. Meskipun pertemuan yang singkat, pelajaran berharga yang Mentari temui dari Angel adalah selalu tersenyum dan yakin, Tuhan pasti selalu membuka jalan. Satu lagi, pujian yang Mentari dengar ketika dia berada di rumah Angel, seringkali berkumandang lagi di hati Mentari. Tuhan tidak pernah meninggalkan orang yang berharap kepada-Nya. Kembali berdua di dalam mobil, Leon menjalankan roda empat miliknya menuju ke apartemen. Leon hanya menaruh tas Mentari, lalu dia mengajak Mentari ke apartemen di ujung lantai apartemen Leon. Seperti janjinya, Leon menyewa apartemen itu yang sedikit lebih kecil dari tempat Leon untuk Mentari dan Irm
Mentari tidak bergerak. Dia pejamkan matanya dan merasakan dekapan kuat penuh sayang dari Leon. Desiran makin kuat melanda dada Mentari. Ucapan Leon makin membuat Mentari melayang. Satu lagi yang membuat Mentari merasa aneh dengan dirinya. Tidak ada lagi rasa takut dipeluk dengan kuat seperti itu. Pelukan ini pelukan romantis. Beda dengan saat Leon memeluk ketika Mentari sedang sedih. Mungkin cinta yang dalam dari Leon membuat Mentari nyaman di dalam dekapan pria itu. "Seandainya Tuhan ga mengantarkan kamu ke atap gedung, kita ga akan pernah bertemu. Aku sangat yakin aku belum ngerasain cinta lagi. Aku cinta kamu, sayang kamu, cuma kamu, Tari." Leon bicara lembut di telinga Mentari. Kata-kata Leon itu, meyakinkan Mentari dia aman dalam cinta Leon. Tidak ada yang perlu dia takutkan bersama seorang pria. Leon terlalu baik, kata Irma. Dia benar. Leon serius, tidak akan main-main dengannya, kata Alman. Itu pun benar. Leon jangan dikecewakan menurut Lila. Dia juga tidak salah. Mentari m
Kendaraan Baharudin meluncur di jalanan yang hampir tidak pernah longgar. Selalu penuh dengan bermacam-macam kendaraan lain yang ingin segera tiba di tujuan. Sore itu, Baharudin menjemput Lila untuk bertemu dengan ibunya untuk yang kesekian kali. Seolah-olah pertemuan Lila dan ibu Baharudin punya jadwal tetap. Lila pun sudah hapal, hari apa dan jak berapa dia akan dijemput dan diajak ke rumah mewah keluarga Baharudin. Sayangnya, Lila mulai lelah. Dia senang bersama ibu Baharudin yang baik dan ceria. Ramah dan suka bercerita. Sekalipun kondisi kesehatannya tidak selalu baik, hati wanita itu selalu gembira. "Anakku yang cantik sudah datang! Sini! Hari ini aku coba masak ini! Lihat!" Sambutan ramah dengan senyum lebar, seperti biasa tertuju pada Lila begitu dia bertemu dengan ibu Baharudin. "Ya, Tante Meta." Lila membalas, senyum manis dia lepaskan. Tetapi sebenarnya, Lila ingin menangis. Wanita yang baik dan penyayang. Dia tahu latar belakang Lila dan sama sekali tidak pernah menila
Dada Lila berdegup kencang. Lila sangat sadar, dia telah memiliki rasa sayang pada Baharudin meskipun bukan jatuh cinta yang meletup-letup. Kebaikan hati dan sikap penyayang pria itu yang membuat Lila tahu dia spesial. Tetapi Lila pun sadar diri, yang dia dan Baharudin mainkan hanya untuk sementara. Lila tak berani berharap terlalu jauh. Lalu Baharudin? Semakin hari dia semakin mengagumi Lila. Gadis yang cerdas, periang, pekerja keras, dan yang utama, menghargai orang tua. Bagaimana Lila sabar di sisi Meta, itu nilai plus yang Baharudin berikan. Lila tak pernah mengeluh meski Meta minta dia lakukan ini dan itu. Lila dengan senyum lebar meladeni Meta. Dan Lila mau selesai dengan hubungan mereka? Tidak semudah itu! "Kamu ga bisa rasa kalau aku peduli sama kamu itu bukan drama?" ucap Baharudin dengan pandangan makin dalam ke dasar mata Lila. Lila mengerjap beberapa kali. Dia mencoba memahami apa yang Baharudin mau katakan. "Aku sayang kamu, Lila. Serius kamu ga merasakan itu?" tanya
"Wahh, keren!! Bisa gitu, ya?" Mata Mentari melebar tak percaya setelah mendengar cerita Lila. "Aku juga ga percaya rasanya." Senyum manis Lila terurai. Matanya bersinar penuh cinta terpancar. "Aku berterima kasih banget sama kamu, Tari. Kalau bukan karena kamu mana bisa aku sampai jadian sama Bang Udin.""Hah?" Mentari lebih kaget lagi mendengar ini. "Kenapa jadi aku?" Mentari dan Lila sengaja bertemu sambil belanja bareng sore itu, seusai Lila bekerja. Sambil berjalan di antara rak-rak di swalayan, meluncur curhat Lila. "Aku dan Bang Udin kenal pas di hari kamu kabur dari mal. Dan pertemuan kami berikutnya masih juga urusan mencari kamu," jawab Lila. "Yang bener, Mbak?" Mentari tidak mengira itu yang terjadi. "Ada bagusnya kamu kabur. Kamu mendatangkan jodohku, hahaha!" Lila tergelak lebar. Mentari ikut gembira dengan kisah cinta Lila yang unik. Lila akhirnya yakin dengan hatinya. Padahal dia pernah kecewa hampir menikah tapi gagal. Lila jadi sangat pemilih. Tetapi Baharudin te
"Kesal aku, Om. Bikin malu banget, kelakuannya kayak gitu. Penampilan sama tingkahnya ga ketemu. Ihh, aku pingin cakar mukanya!" Mentari meluapkan kesal pada Alman. Alman mendengar saja semua celotehan Mentari sementara gadis itu sedang memasak. Alman duduk sambil sesekali menyeruput kopi pahit kesukaannya. Aroma wangi dari teflon di atas kompor menambah selera. Alman tidak sabar ingin mencicipi masakan Mentari. "Resiko, Tari. Punya pacar ganteng, pintar, baik, kaya pula. Yang kuat mental." Dengan tenang Alman menyahut. "Om bener. Harus kuat mental menghadapi orang kayak Retha itu. Moga-moga aja dia ga balik lagi." Mentari mematikan kompor. Dia mengambil mangkuk agak besar lalu menuangkan masakannya ke dalam mangkuk itu. "Hmm, ini menggoda banget. Mana, aku mau coba." Alman berdiri, mendekati Mentari. "Silakan, Om. Aku mau siapin meja. Bentar lagi mestinya Leon datang." Mentari berbalik, menuju ke meja dan mulai menyiapkan peralatan makan. "Hmm, lezat banget masakan kamu. Coba ak