Mentari tidak bergerak. Dia pejamkan matanya dan merasakan dekapan kuat penuh sayang dari Leon. Desiran makin kuat melanda dada Mentari. Ucapan Leon makin membuat Mentari melayang. Satu lagi yang membuat Mentari merasa aneh dengan dirinya. Tidak ada lagi rasa takut dipeluk dengan kuat seperti itu. Pelukan ini pelukan romantis. Beda dengan saat Leon memeluk ketika Mentari sedang sedih. Mungkin cinta yang dalam dari Leon membuat Mentari nyaman di dalam dekapan pria itu. "Seandainya Tuhan ga mengantarkan kamu ke atap gedung, kita ga akan pernah bertemu. Aku sangat yakin aku belum ngerasain cinta lagi. Aku cinta kamu, sayang kamu, cuma kamu, Tari." Leon bicara lembut di telinga Mentari. Kata-kata Leon itu, meyakinkan Mentari dia aman dalam cinta Leon. Tidak ada yang perlu dia takutkan bersama seorang pria. Leon terlalu baik, kata Irma. Dia benar. Leon serius, tidak akan main-main dengannya, kata Alman. Itu pun benar. Leon jangan dikecewakan menurut Lila. Dia juga tidak salah. Mentari m
Kendaraan Baharudin meluncur di jalanan yang hampir tidak pernah longgar. Selalu penuh dengan bermacam-macam kendaraan lain yang ingin segera tiba di tujuan. Sore itu, Baharudin menjemput Lila untuk bertemu dengan ibunya untuk yang kesekian kali. Seolah-olah pertemuan Lila dan ibu Baharudin punya jadwal tetap. Lila pun sudah hapal, hari apa dan jak berapa dia akan dijemput dan diajak ke rumah mewah keluarga Baharudin. Sayangnya, Lila mulai lelah. Dia senang bersama ibu Baharudin yang baik dan ceria. Ramah dan suka bercerita. Sekalipun kondisi kesehatannya tidak selalu baik, hati wanita itu selalu gembira. "Anakku yang cantik sudah datang! Sini! Hari ini aku coba masak ini! Lihat!" Sambutan ramah dengan senyum lebar, seperti biasa tertuju pada Lila begitu dia bertemu dengan ibu Baharudin. "Ya, Tante Meta." Lila membalas, senyum manis dia lepaskan. Tetapi sebenarnya, Lila ingin menangis. Wanita yang baik dan penyayang. Dia tahu latar belakang Lila dan sama sekali tidak pernah menila
Dada Lila berdegup kencang. Lila sangat sadar, dia telah memiliki rasa sayang pada Baharudin meskipun bukan jatuh cinta yang meletup-letup. Kebaikan hati dan sikap penyayang pria itu yang membuat Lila tahu dia spesial. Tetapi Lila pun sadar diri, yang dia dan Baharudin mainkan hanya untuk sementara. Lila tak berani berharap terlalu jauh. Lalu Baharudin? Semakin hari dia semakin mengagumi Lila. Gadis yang cerdas, periang, pekerja keras, dan yang utama, menghargai orang tua. Bagaimana Lila sabar di sisi Meta, itu nilai plus yang Baharudin berikan. Lila tak pernah mengeluh meski Meta minta dia lakukan ini dan itu. Lila dengan senyum lebar meladeni Meta. Dan Lila mau selesai dengan hubungan mereka? Tidak semudah itu! "Kamu ga bisa rasa kalau aku peduli sama kamu itu bukan drama?" ucap Baharudin dengan pandangan makin dalam ke dasar mata Lila. Lila mengerjap beberapa kali. Dia mencoba memahami apa yang Baharudin mau katakan. "Aku sayang kamu, Lila. Serius kamu ga merasakan itu?" tanya
"Wahh, keren!! Bisa gitu, ya?" Mata Mentari melebar tak percaya setelah mendengar cerita Lila. "Aku juga ga percaya rasanya." Senyum manis Lila terurai. Matanya bersinar penuh cinta terpancar. "Aku berterima kasih banget sama kamu, Tari. Kalau bukan karena kamu mana bisa aku sampai jadian sama Bang Udin.""Hah?" Mentari lebih kaget lagi mendengar ini. "Kenapa jadi aku?" Mentari dan Lila sengaja bertemu sambil belanja bareng sore itu, seusai Lila bekerja. Sambil berjalan di antara rak-rak di swalayan, meluncur curhat Lila. "Aku dan Bang Udin kenal pas di hari kamu kabur dari mal. Dan pertemuan kami berikutnya masih juga urusan mencari kamu," jawab Lila. "Yang bener, Mbak?" Mentari tidak mengira itu yang terjadi. "Ada bagusnya kamu kabur. Kamu mendatangkan jodohku, hahaha!" Lila tergelak lebar. Mentari ikut gembira dengan kisah cinta Lila yang unik. Lila akhirnya yakin dengan hatinya. Padahal dia pernah kecewa hampir menikah tapi gagal. Lila jadi sangat pemilih. Tetapi Baharudin te
"Kesal aku, Om. Bikin malu banget, kelakuannya kayak gitu. Penampilan sama tingkahnya ga ketemu. Ihh, aku pingin cakar mukanya!" Mentari meluapkan kesal pada Alman. Alman mendengar saja semua celotehan Mentari sementara gadis itu sedang memasak. Alman duduk sambil sesekali menyeruput kopi pahit kesukaannya. Aroma wangi dari teflon di atas kompor menambah selera. Alman tidak sabar ingin mencicipi masakan Mentari. "Resiko, Tari. Punya pacar ganteng, pintar, baik, kaya pula. Yang kuat mental." Dengan tenang Alman menyahut. "Om bener. Harus kuat mental menghadapi orang kayak Retha itu. Moga-moga aja dia ga balik lagi." Mentari mematikan kompor. Dia mengambil mangkuk agak besar lalu menuangkan masakannya ke dalam mangkuk itu. "Hmm, ini menggoda banget. Mana, aku mau coba." Alman berdiri, mendekati Mentari. "Silakan, Om. Aku mau siapin meja. Bentar lagi mestinya Leon datang." Mentari berbalik, menuju ke meja dan mulai menyiapkan peralatan makan. "Hmm, lezat banget masakan kamu. Coba ak
Mentari tidak percaya apa yang dia dengar. Hera terang-terangan meminta Mentari melepaskan Leon. Hera mengatakan masih cinta Leon dan yang terjadi di masa lalu mereka bukan maunya Hera. Itu semua kesalahan. Hera ingin menebus dan memperbaiki semuanya. Dada Mentari berdegup kencang. Gangguan dalam hubungannya dengan Leon makin mengguncang. Sama sekali tak terbayangkan ini yang terjadi. "Mengembalikan Mas Leon?" Mentari memandang tajam pada Hera. "Ya, aku mohon. Lihat anakku. Dia masih kecil dan ga ngerti apa-apa. Dia butuh orang tua lengkap dan baik yang cinta padanya. Ga mungkin aku biarkan dia tumbuh tanpa ayah. Aku tahu, Leon bisa jadi ayah yang baik buat anakku." Hera menoleh lagi pada bocah kecil itu. "Ma, ini gimana?! Aku ga bisa!!" Tiba-tiba saja anak lelaki itu berteriak dengan rasa kesal yang sudah hampir meledak. "Sabar, coba Mama lihat." Hera buru-buru membantu anaknya main game. Mentari dan Alman berpandangan. Ibu dan anak di depan mereka asyik bermain game. Anak lelak
Leon, Mentari, dan Alman hanya memandang saja pada Hera yang kebingungan menghadapi anaknya. Anak dua tahun itu seperti tak terkendali karena ponsel yang dia pakai bermain mati tiba-tiba. Hera menggendong anaknya dengan paksa. Sambil anak itu menangis menjerit-jerit dia keluar dari apartemen Leon. Setelah pintu tertutup suasana kembali tenang. "Kasihan, Mas," ucap Mentari. Leon memegang kedua tangan Mentari dan memandang kekasih hatinya yang berhati lembut itu. "Kasihan? Kamu ga kasihan aku?" tanya Leon. "Mas Leon kenapa?" tanya Mentari lagi. "Baiklah, aku kasihan sama Hera dan anaknya. Aku putus sama kamu aja. Lalu aku nikah sama dia. Terus, aku ga bahagia, hanya ribut sama Hera. Hera ga bahagia. Anaknya juga ga mungkin bahagia. Mau?" Dengan cepat Leon mengungkapkan apa yang dia pikir bisa menjawab kegelisahan Mentari karena rasa iba di hatinya. Mentari tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Tentu saja Mentari tidak berpikir Leon akan meninggalkan dirinya. "Jadi?" Leon me
Detak jantung Mentari makin jadi ketika semakin dekat dengan kediaman mewah keluarga Alvarez. Apa yang diinginkan Asterita? Kenapa dia tidak minta Leon saja yang mengajak Mentari bertemu dengannya? Jika dengan Leon, Mentari tidak akan terlalu gugup. Mentari takut bertindak bodoh di depan calon mertuanya. "Lusia, apa ada sesuatu di rumah? Aku, aku serius, aku gugup sekali." Mentari tidak bisa menyembunyikan kekuatiran yang menguasai hatinya. Lusia menoleh pada Mentari. Wajahnya terlihat merah muda. Tidak bisa dipungkiri pasti Mentari grogi harus datang tanpa Leon ke rumah besar. "Ga tahu juga. Mama tiba-tiba aja minta aku jemput kamu." Lusia berkata lalu balik melihat jalanan. Mendengar jawaban Lusia makin tidak tenang hati Mentari. Tapi dia harus siap apapun yang akan dia hadapi. Jangan sampai dia bertingkah yang akak menimbulkan kesal Asterita. "Tari, minggu depan aku wisuda. Leon akan datang. Kamu ikut, ya?" Lusia berbicara tanpa menoleh lagi. "Aku?" Mentari cukup kaget dengan