Mentari tidak percaya apa yang dia dengar. Hera terang-terangan meminta Mentari melepaskan Leon. Hera mengatakan masih cinta Leon dan yang terjadi di masa lalu mereka bukan maunya Hera. Itu semua kesalahan. Hera ingin menebus dan memperbaiki semuanya. Dada Mentari berdegup kencang. Gangguan dalam hubungannya dengan Leon makin mengguncang. Sama sekali tak terbayangkan ini yang terjadi. "Mengembalikan Mas Leon?" Mentari memandang tajam pada Hera. "Ya, aku mohon. Lihat anakku. Dia masih kecil dan ga ngerti apa-apa. Dia butuh orang tua lengkap dan baik yang cinta padanya. Ga mungkin aku biarkan dia tumbuh tanpa ayah. Aku tahu, Leon bisa jadi ayah yang baik buat anakku." Hera menoleh lagi pada bocah kecil itu. "Ma, ini gimana?! Aku ga bisa!!" Tiba-tiba saja anak lelaki itu berteriak dengan rasa kesal yang sudah hampir meledak. "Sabar, coba Mama lihat." Hera buru-buru membantu anaknya main game. Mentari dan Alman berpandangan. Ibu dan anak di depan mereka asyik bermain game. Anak lelak
Leon, Mentari, dan Alman hanya memandang saja pada Hera yang kebingungan menghadapi anaknya. Anak dua tahun itu seperti tak terkendali karena ponsel yang dia pakai bermain mati tiba-tiba. Hera menggendong anaknya dengan paksa. Sambil anak itu menangis menjerit-jerit dia keluar dari apartemen Leon. Setelah pintu tertutup suasana kembali tenang. "Kasihan, Mas," ucap Mentari. Leon memegang kedua tangan Mentari dan memandang kekasih hatinya yang berhati lembut itu. "Kasihan? Kamu ga kasihan aku?" tanya Leon. "Mas Leon kenapa?" tanya Mentari lagi. "Baiklah, aku kasihan sama Hera dan anaknya. Aku putus sama kamu aja. Lalu aku nikah sama dia. Terus, aku ga bahagia, hanya ribut sama Hera. Hera ga bahagia. Anaknya juga ga mungkin bahagia. Mau?" Dengan cepat Leon mengungkapkan apa yang dia pikir bisa menjawab kegelisahan Mentari karena rasa iba di hatinya. Mentari tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Tentu saja Mentari tidak berpikir Leon akan meninggalkan dirinya. "Jadi?" Leon me
Detak jantung Mentari makin jadi ketika semakin dekat dengan kediaman mewah keluarga Alvarez. Apa yang diinginkan Asterita? Kenapa dia tidak minta Leon saja yang mengajak Mentari bertemu dengannya? Jika dengan Leon, Mentari tidak akan terlalu gugup. Mentari takut bertindak bodoh di depan calon mertuanya. "Lusia, apa ada sesuatu di rumah? Aku, aku serius, aku gugup sekali." Mentari tidak bisa menyembunyikan kekuatiran yang menguasai hatinya. Lusia menoleh pada Mentari. Wajahnya terlihat merah muda. Tidak bisa dipungkiri pasti Mentari grogi harus datang tanpa Leon ke rumah besar. "Ga tahu juga. Mama tiba-tiba aja minta aku jemput kamu." Lusia berkata lalu balik melihat jalanan. Mendengar jawaban Lusia makin tidak tenang hati Mentari. Tapi dia harus siap apapun yang akan dia hadapi. Jangan sampai dia bertingkah yang akak menimbulkan kesal Asterita. "Tari, minggu depan aku wisuda. Leon akan datang. Kamu ikut, ya?" Lusia berbicara tanpa menoleh lagi. "Aku?" Mentari cukup kaget dengan
"Well, kalian akhirnya ada di sini. Thank you sudah mau datang!" Asterita menyambut kedua wanita yang sedang bersitegang saling menatap dengan kesal. Sapaan Asterita membuat mereka mengalihkan pandangan pada ibu pria yang sama-sama mereka kejar. "Jadi, Tante Aster juga mengundang wanita tua ini ke sini?" Retha bicara dengan nada ketus, sementara tangannya menunjuk pada Hera. "Apa? Wanita tua? Sembarangan! Jaga mulut kamu!" Hera tersinggung dengan ucapan Retha. Lusia dan Mentari saling memandang. Dua pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka juga saling memandang. Asterita melebarkan mata karena kaget dengan tingkah Retha dan Hera. "Kamu yang ga tahu diri. Udah ninggalin Leon sekarang mau sok-sokan balik. Mau bikin dia menderita lagi?" Retha melanjutkan adu mulut mereka. "Hei! Lu kagak tahu apa-apa. Mending lu diem atau gue ..." "Cukup!!" Dengan suara keras sekali Asterita berteriak menghentikan dua wanita itu dari pertengkaran yang tidak perlu terjadi. Retha dan Hera seketika
Tidak kalah kaget, Lusia sampai melotot dengan mulut menganga begitu mendengar kata-kata Asterita. "Mama?!" ucapnya. Asterita tidak bereaksi pada keterkejutan Lusia. Asterita harus maju dan memastikan semua yang dia rencanakan akan berjalan baik. Lusia mulai kuatir. Apa yang Asterita mau lakukan? Apa tujuannya akan tercapai dengan cara begini? Kenapa harus melakukan ujian macam sayembara mencari jodoh bagi seorang pangeran? "Aku tidak mau membuang waktu." Asterita meneruskan. Matanya tajam memandang pada tiga wanita itu bergantian. Retha, Hera, dan Mentari pun menatap pada Asterita dengan tatapan penuh tanya. "Tante, ini ga masuk akal. Mestinya ..." "Jika kamu tidak mau mengikuti, pintu terbuka lebar, silakan tinggalkan rumah ini," kata Asterita. Tangannya menunjuk ke arah pintu. Retha mendengus. Asterita ternyata tidak mudah dibujuk dan dirayu. Retha salah menilai Asterita selama ini. Dia pikir karena Asterita yang mendekat padanya, wanita itu mendukung Leon dengannya, maka
Asterita melirik Lusia. Bagaimana Asterita bisa lupa kalau Lusia juga jatuh cinta pada Mentari? Dia sangat menyukai kekasih Leon yang belum bisa Asterita terima dengan lapang hati. "Tentu saja dia mengganggu." Asterita memajukan wajahnya, menatap tajam pada Lusia. "Berapa juta yang kakakmu habiskan untuknya? Kamu pikir aku tidak tahu, Leon menebus gadis itu. Lalu Leon juga menyewa apartemen buatnya?" Lusia menggigit bibirnya. Lagi-lagi tidak ada gunanya berdebat dengan Asterita. Lebih baik dia tutup mulut saja. Asterita kembali menegakkan punggungnya dan melihat pada tiga wanita yang berjuang merebut hati calon ibu mertua. "Waktu kalian tinggal lima menit lagi!" seru Asterita setelah matanya bertemu dengan arloji di tangannya. Teriakan Asterita cukup mengejutkan dan membuat Retha kaget sampai dia menyenggol tutup penggorengan hingga jatuh dengan suara keras memekakkan telinga. "Aduh! Sial!!" Spontan Retha berkata dengan keras. Nada suaranya jelas menunjukkan dia sangat kesal. Meja
Lusia mendekati mamanya. Dia harus mencegah Asterita bertindak terlalu jauh. Lusia bisa paham tujuan mamanya baik sekalipun aneh yang dia lakukan. Tetapi jika akan membuat masalah lain, buat apa? "Kenapa kamar Leon?" tanya Lusia. Asterita menyeringai. Dia sangat tahu yang Lusia maksudkan. "Aku ini mama kamu, mama Leon. Kamu pikir aku sudah pikun?" Itu yang menjadi jawaban Asterita. Asterita mempercepat langkahnya. Dia memang menuju kamar Leon, tetapi tidak masuk ke dalamnya. Asterita melangkah terus ke sisi sebelah, ruang santai di lantai dua. "Ah, oke ...." Lusia sangat lega. Asterita menjalankan ujian kedua di sana. Di depan Asterita dan Lusia, ada sebuah meja besar dengan tumpukan pakaian. "Apa ini, Ma?" tanya Lusia. Dia mencoba menerka tetapi takut salah paham. "Nanti kamu akan tahu," ujar Asterita tenang. Dia berjalan mendekati meja besar itu, lalu berdiri di depannya, berbalik dan melihat pada Mentari dan Hera yang berdiri bersebelahan. Dua wanita itu tanpa diminta bersi
Asterita memegang kertas di tangan. Penilaian sudah dia beri dan siap memberikan pengumuman. Hera dan Mentari berdiri di tempat mereka menunggu dengan wajah tegang. Jelas Mentari tampak sangat tidak tenang. Sesekali di hatinya masih berharap semua ini hanya mimpi. Mama Leon tidak benar-benar sedang melakukan ujian ketulusan cinta pada dirinya dan Hera. "Aku tidak meragukan kamu soal penampilan, Hera." Mengatakan itu, Asterita menatap tajam pada Hera. Hera tersenyum lega. Aura kemenangan semakin jelas mendekat padanya. Mentari sedikit menunduk, menarik napas panjang agar bisa lebih tenang. "Dan kamu belum berubah. Pemilihan warna kamu berani. Merah menyala. Hijau terang, biru tajam. Tapi modelnya oke." Asterita melihat lagi pada kertas yang dia pegang. "Aku bisa membayangkan gagah dan tampannya Leon dengan semua outfit yang kamu pilihkan." Makin melambung rasanya Hera dengan apa yang Asterita katakan. Lalu Asterita beralih pada Mentari. "Mentari!" Saat Asterita menyebut namanya, d
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de