"Well, kalian akhirnya ada di sini. Thank you sudah mau datang!" Asterita menyambut kedua wanita yang sedang bersitegang saling menatap dengan kesal. Sapaan Asterita membuat mereka mengalihkan pandangan pada ibu pria yang sama-sama mereka kejar. "Jadi, Tante Aster juga mengundang wanita tua ini ke sini?" Retha bicara dengan nada ketus, sementara tangannya menunjuk pada Hera. "Apa? Wanita tua? Sembarangan! Jaga mulut kamu!" Hera tersinggung dengan ucapan Retha. Lusia dan Mentari saling memandang. Dua pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka juga saling memandang. Asterita melebarkan mata karena kaget dengan tingkah Retha dan Hera. "Kamu yang ga tahu diri. Udah ninggalin Leon sekarang mau sok-sokan balik. Mau bikin dia menderita lagi?" Retha melanjutkan adu mulut mereka. "Hei! Lu kagak tahu apa-apa. Mending lu diem atau gue ..." "Cukup!!" Dengan suara keras sekali Asterita berteriak menghentikan dua wanita itu dari pertengkaran yang tidak perlu terjadi. Retha dan Hera seketika
Tidak kalah kaget, Lusia sampai melotot dengan mulut menganga begitu mendengar kata-kata Asterita. "Mama?!" ucapnya. Asterita tidak bereaksi pada keterkejutan Lusia. Asterita harus maju dan memastikan semua yang dia rencanakan akan berjalan baik. Lusia mulai kuatir. Apa yang Asterita mau lakukan? Apa tujuannya akan tercapai dengan cara begini? Kenapa harus melakukan ujian macam sayembara mencari jodoh bagi seorang pangeran? "Aku tidak mau membuang waktu." Asterita meneruskan. Matanya tajam memandang pada tiga wanita itu bergantian. Retha, Hera, dan Mentari pun menatap pada Asterita dengan tatapan penuh tanya. "Tante, ini ga masuk akal. Mestinya ..." "Jika kamu tidak mau mengikuti, pintu terbuka lebar, silakan tinggalkan rumah ini," kata Asterita. Tangannya menunjuk ke arah pintu. Retha mendengus. Asterita ternyata tidak mudah dibujuk dan dirayu. Retha salah menilai Asterita selama ini. Dia pikir karena Asterita yang mendekat padanya, wanita itu mendukung Leon dengannya, maka
Asterita melirik Lusia. Bagaimana Asterita bisa lupa kalau Lusia juga jatuh cinta pada Mentari? Dia sangat menyukai kekasih Leon yang belum bisa Asterita terima dengan lapang hati. "Tentu saja dia mengganggu." Asterita memajukan wajahnya, menatap tajam pada Lusia. "Berapa juta yang kakakmu habiskan untuknya? Kamu pikir aku tidak tahu, Leon menebus gadis itu. Lalu Leon juga menyewa apartemen buatnya?" Lusia menggigit bibirnya. Lagi-lagi tidak ada gunanya berdebat dengan Asterita. Lebih baik dia tutup mulut saja. Asterita kembali menegakkan punggungnya dan melihat pada tiga wanita yang berjuang merebut hati calon ibu mertua. "Waktu kalian tinggal lima menit lagi!" seru Asterita setelah matanya bertemu dengan arloji di tangannya. Teriakan Asterita cukup mengejutkan dan membuat Retha kaget sampai dia menyenggol tutup penggorengan hingga jatuh dengan suara keras memekakkan telinga. "Aduh! Sial!!" Spontan Retha berkata dengan keras. Nada suaranya jelas menunjukkan dia sangat kesal. Meja
Lusia mendekati mamanya. Dia harus mencegah Asterita bertindak terlalu jauh. Lusia bisa paham tujuan mamanya baik sekalipun aneh yang dia lakukan. Tetapi jika akan membuat masalah lain, buat apa? "Kenapa kamar Leon?" tanya Lusia. Asterita menyeringai. Dia sangat tahu yang Lusia maksudkan. "Aku ini mama kamu, mama Leon. Kamu pikir aku sudah pikun?" Itu yang menjadi jawaban Asterita. Asterita mempercepat langkahnya. Dia memang menuju kamar Leon, tetapi tidak masuk ke dalamnya. Asterita melangkah terus ke sisi sebelah, ruang santai di lantai dua. "Ah, oke ...." Lusia sangat lega. Asterita menjalankan ujian kedua di sana. Di depan Asterita dan Lusia, ada sebuah meja besar dengan tumpukan pakaian. "Apa ini, Ma?" tanya Lusia. Dia mencoba menerka tetapi takut salah paham. "Nanti kamu akan tahu," ujar Asterita tenang. Dia berjalan mendekati meja besar itu, lalu berdiri di depannya, berbalik dan melihat pada Mentari dan Hera yang berdiri bersebelahan. Dua wanita itu tanpa diminta bersi
Asterita memegang kertas di tangan. Penilaian sudah dia beri dan siap memberikan pengumuman. Hera dan Mentari berdiri di tempat mereka menunggu dengan wajah tegang. Jelas Mentari tampak sangat tidak tenang. Sesekali di hatinya masih berharap semua ini hanya mimpi. Mama Leon tidak benar-benar sedang melakukan ujian ketulusan cinta pada dirinya dan Hera. "Aku tidak meragukan kamu soal penampilan, Hera." Mengatakan itu, Asterita menatap tajam pada Hera. Hera tersenyum lega. Aura kemenangan semakin jelas mendekat padanya. Mentari sedikit menunduk, menarik napas panjang agar bisa lebih tenang. "Dan kamu belum berubah. Pemilihan warna kamu berani. Merah menyala. Hijau terang, biru tajam. Tapi modelnya oke." Asterita melihat lagi pada kertas yang dia pegang. "Aku bisa membayangkan gagah dan tampannya Leon dengan semua outfit yang kamu pilihkan." Makin melambung rasanya Hera dengan apa yang Asterita katakan. Lalu Asterita beralih pada Mentari. "Mentari!" Saat Asterita menyebut namanya, d
Rumah bagian depan sepi. Ada mobil merah terparkir di halaman. Leon dan Horacio tahu jika memang ada tamu karena kendaraan itu. Tetapi mereka bisa belum membayangkan dengan jelas sayembara apa yang Lusia katakan di pesan kepada Leon. Apa pula tujuan Asterita melakukan itu? Keduanya terus melangkah masuk ke dalam rumah, mencari di mana orang-orang. Rumah tampak lengang-lengang saja. Bahkan pelayan yang biasanya ada entah di ruang tengah, ruang makan, atau di dapur, juga tak terlihat. Leon mengeluarkan ponsel dan mencoba lagi menelpon Lusia. Beberapa kali akhirnya diterima. "Kamu di mana? Sayembara apa itu yang kamu bilang? Aku sudah di rumah," kata Leon dengan nada tegang. "Ah, kami di lantai atas. Di ruang keluarga," jawab Lusia, lalu panggilan terputus. "Pa, di atas!" Leon berseru pada Horacio yang berdiri agak jauh darinya. Leon cepat-cepat naik ke lantai atas, Horacio ada di belakangnya. Dengan langkah dan gestur sama kedua pria itu, anak dan ayah, berjalan menuju ruang keluar
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup