Lusia mendekati mamanya. Dia harus mencegah Asterita bertindak terlalu jauh. Lusia bisa paham tujuan mamanya baik sekalipun aneh yang dia lakukan. Tetapi jika akan membuat masalah lain, buat apa? "Kenapa kamar Leon?" tanya Lusia. Asterita menyeringai. Dia sangat tahu yang Lusia maksudkan. "Aku ini mama kamu, mama Leon. Kamu pikir aku sudah pikun?" Itu yang menjadi jawaban Asterita. Asterita mempercepat langkahnya. Dia memang menuju kamar Leon, tetapi tidak masuk ke dalamnya. Asterita melangkah terus ke sisi sebelah, ruang santai di lantai dua. "Ah, oke ...." Lusia sangat lega. Asterita menjalankan ujian kedua di sana. Di depan Asterita dan Lusia, ada sebuah meja besar dengan tumpukan pakaian. "Apa ini, Ma?" tanya Lusia. Dia mencoba menerka tetapi takut salah paham. "Nanti kamu akan tahu," ujar Asterita tenang. Dia berjalan mendekati meja besar itu, lalu berdiri di depannya, berbalik dan melihat pada Mentari dan Hera yang berdiri bersebelahan. Dua wanita itu tanpa diminta bersi
Asterita memegang kertas di tangan. Penilaian sudah dia beri dan siap memberikan pengumuman. Hera dan Mentari berdiri di tempat mereka menunggu dengan wajah tegang. Jelas Mentari tampak sangat tidak tenang. Sesekali di hatinya masih berharap semua ini hanya mimpi. Mama Leon tidak benar-benar sedang melakukan ujian ketulusan cinta pada dirinya dan Hera. "Aku tidak meragukan kamu soal penampilan, Hera." Mengatakan itu, Asterita menatap tajam pada Hera. Hera tersenyum lega. Aura kemenangan semakin jelas mendekat padanya. Mentari sedikit menunduk, menarik napas panjang agar bisa lebih tenang. "Dan kamu belum berubah. Pemilihan warna kamu berani. Merah menyala. Hijau terang, biru tajam. Tapi modelnya oke." Asterita melihat lagi pada kertas yang dia pegang. "Aku bisa membayangkan gagah dan tampannya Leon dengan semua outfit yang kamu pilihkan." Makin melambung rasanya Hera dengan apa yang Asterita katakan. Lalu Asterita beralih pada Mentari. "Mentari!" Saat Asterita menyebut namanya, d
Rumah bagian depan sepi. Ada mobil merah terparkir di halaman. Leon dan Horacio tahu jika memang ada tamu karena kendaraan itu. Tetapi mereka bisa belum membayangkan dengan jelas sayembara apa yang Lusia katakan di pesan kepada Leon. Apa pula tujuan Asterita melakukan itu? Keduanya terus melangkah masuk ke dalam rumah, mencari di mana orang-orang. Rumah tampak lengang-lengang saja. Bahkan pelayan yang biasanya ada entah di ruang tengah, ruang makan, atau di dapur, juga tak terlihat. Leon mengeluarkan ponsel dan mencoba lagi menelpon Lusia. Beberapa kali akhirnya diterima. "Kamu di mana? Sayembara apa itu yang kamu bilang? Aku sudah di rumah," kata Leon dengan nada tegang. "Ah, kami di lantai atas. Di ruang keluarga," jawab Lusia, lalu panggilan terputus. "Pa, di atas!" Leon berseru pada Horacio yang berdiri agak jauh darinya. Leon cepat-cepat naik ke lantai atas, Horacio ada di belakangnya. Dengan langkah dan gestur sama kedua pria itu, anak dan ayah, berjalan menuju ruang keluar
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang