"Kesal aku, Om. Bikin malu banget, kelakuannya kayak gitu. Penampilan sama tingkahnya ga ketemu. Ihh, aku pingin cakar mukanya!" Mentari meluapkan kesal pada Alman. Alman mendengar saja semua celotehan Mentari sementara gadis itu sedang memasak. Alman duduk sambil sesekali menyeruput kopi pahit kesukaannya. Aroma wangi dari teflon di atas kompor menambah selera. Alman tidak sabar ingin mencicipi masakan Mentari. "Resiko, Tari. Punya pacar ganteng, pintar, baik, kaya pula. Yang kuat mental." Dengan tenang Alman menyahut. "Om bener. Harus kuat mental menghadapi orang kayak Retha itu. Moga-moga aja dia ga balik lagi." Mentari mematikan kompor. Dia mengambil mangkuk agak besar lalu menuangkan masakannya ke dalam mangkuk itu. "Hmm, ini menggoda banget. Mana, aku mau coba." Alman berdiri, mendekati Mentari. "Silakan, Om. Aku mau siapin meja. Bentar lagi mestinya Leon datang." Mentari berbalik, menuju ke meja dan mulai menyiapkan peralatan makan. "Hmm, lezat banget masakan kamu. Coba ak
Mentari tidak percaya apa yang dia dengar. Hera terang-terangan meminta Mentari melepaskan Leon. Hera mengatakan masih cinta Leon dan yang terjadi di masa lalu mereka bukan maunya Hera. Itu semua kesalahan. Hera ingin menebus dan memperbaiki semuanya. Dada Mentari berdegup kencang. Gangguan dalam hubungannya dengan Leon makin mengguncang. Sama sekali tak terbayangkan ini yang terjadi. "Mengembalikan Mas Leon?" Mentari memandang tajam pada Hera. "Ya, aku mohon. Lihat anakku. Dia masih kecil dan ga ngerti apa-apa. Dia butuh orang tua lengkap dan baik yang cinta padanya. Ga mungkin aku biarkan dia tumbuh tanpa ayah. Aku tahu, Leon bisa jadi ayah yang baik buat anakku." Hera menoleh lagi pada bocah kecil itu. "Ma, ini gimana?! Aku ga bisa!!" Tiba-tiba saja anak lelaki itu berteriak dengan rasa kesal yang sudah hampir meledak. "Sabar, coba Mama lihat." Hera buru-buru membantu anaknya main game. Mentari dan Alman berpandangan. Ibu dan anak di depan mereka asyik bermain game. Anak lelak
Leon, Mentari, dan Alman hanya memandang saja pada Hera yang kebingungan menghadapi anaknya. Anak dua tahun itu seperti tak terkendali karena ponsel yang dia pakai bermain mati tiba-tiba. Hera menggendong anaknya dengan paksa. Sambil anak itu menangis menjerit-jerit dia keluar dari apartemen Leon. Setelah pintu tertutup suasana kembali tenang. "Kasihan, Mas," ucap Mentari. Leon memegang kedua tangan Mentari dan memandang kekasih hatinya yang berhati lembut itu. "Kasihan? Kamu ga kasihan aku?" tanya Leon. "Mas Leon kenapa?" tanya Mentari lagi. "Baiklah, aku kasihan sama Hera dan anaknya. Aku putus sama kamu aja. Lalu aku nikah sama dia. Terus, aku ga bahagia, hanya ribut sama Hera. Hera ga bahagia. Anaknya juga ga mungkin bahagia. Mau?" Dengan cepat Leon mengungkapkan apa yang dia pikir bisa menjawab kegelisahan Mentari karena rasa iba di hatinya. Mentari tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Tentu saja Mentari tidak berpikir Leon akan meninggalkan dirinya. "Jadi?" Leon me
Detak jantung Mentari makin jadi ketika semakin dekat dengan kediaman mewah keluarga Alvarez. Apa yang diinginkan Asterita? Kenapa dia tidak minta Leon saja yang mengajak Mentari bertemu dengannya? Jika dengan Leon, Mentari tidak akan terlalu gugup. Mentari takut bertindak bodoh di depan calon mertuanya. "Lusia, apa ada sesuatu di rumah? Aku, aku serius, aku gugup sekali." Mentari tidak bisa menyembunyikan kekuatiran yang menguasai hatinya. Lusia menoleh pada Mentari. Wajahnya terlihat merah muda. Tidak bisa dipungkiri pasti Mentari grogi harus datang tanpa Leon ke rumah besar. "Ga tahu juga. Mama tiba-tiba aja minta aku jemput kamu." Lusia berkata lalu balik melihat jalanan. Mendengar jawaban Lusia makin tidak tenang hati Mentari. Tapi dia harus siap apapun yang akan dia hadapi. Jangan sampai dia bertingkah yang akak menimbulkan kesal Asterita. "Tari, minggu depan aku wisuda. Leon akan datang. Kamu ikut, ya?" Lusia berbicara tanpa menoleh lagi. "Aku?" Mentari cukup kaget dengan
"Well, kalian akhirnya ada di sini. Thank you sudah mau datang!" Asterita menyambut kedua wanita yang sedang bersitegang saling menatap dengan kesal. Sapaan Asterita membuat mereka mengalihkan pandangan pada ibu pria yang sama-sama mereka kejar. "Jadi, Tante Aster juga mengundang wanita tua ini ke sini?" Retha bicara dengan nada ketus, sementara tangannya menunjuk pada Hera. "Apa? Wanita tua? Sembarangan! Jaga mulut kamu!" Hera tersinggung dengan ucapan Retha. Lusia dan Mentari saling memandang. Dua pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka juga saling memandang. Asterita melebarkan mata karena kaget dengan tingkah Retha dan Hera. "Kamu yang ga tahu diri. Udah ninggalin Leon sekarang mau sok-sokan balik. Mau bikin dia menderita lagi?" Retha melanjutkan adu mulut mereka. "Hei! Lu kagak tahu apa-apa. Mending lu diem atau gue ..." "Cukup!!" Dengan suara keras sekali Asterita berteriak menghentikan dua wanita itu dari pertengkaran yang tidak perlu terjadi. Retha dan Hera seketika
Tidak kalah kaget, Lusia sampai melotot dengan mulut menganga begitu mendengar kata-kata Asterita. "Mama?!" ucapnya. Asterita tidak bereaksi pada keterkejutan Lusia. Asterita harus maju dan memastikan semua yang dia rencanakan akan berjalan baik. Lusia mulai kuatir. Apa yang Asterita mau lakukan? Apa tujuannya akan tercapai dengan cara begini? Kenapa harus melakukan ujian macam sayembara mencari jodoh bagi seorang pangeran? "Aku tidak mau membuang waktu." Asterita meneruskan. Matanya tajam memandang pada tiga wanita itu bergantian. Retha, Hera, dan Mentari pun menatap pada Asterita dengan tatapan penuh tanya. "Tante, ini ga masuk akal. Mestinya ..." "Jika kamu tidak mau mengikuti, pintu terbuka lebar, silakan tinggalkan rumah ini," kata Asterita. Tangannya menunjuk ke arah pintu. Retha mendengus. Asterita ternyata tidak mudah dibujuk dan dirayu. Retha salah menilai Asterita selama ini. Dia pikir karena Asterita yang mendekat padanya, wanita itu mendukung Leon dengannya, maka
Asterita melirik Lusia. Bagaimana Asterita bisa lupa kalau Lusia juga jatuh cinta pada Mentari? Dia sangat menyukai kekasih Leon yang belum bisa Asterita terima dengan lapang hati. "Tentu saja dia mengganggu." Asterita memajukan wajahnya, menatap tajam pada Lusia. "Berapa juta yang kakakmu habiskan untuknya? Kamu pikir aku tidak tahu, Leon menebus gadis itu. Lalu Leon juga menyewa apartemen buatnya?" Lusia menggigit bibirnya. Lagi-lagi tidak ada gunanya berdebat dengan Asterita. Lebih baik dia tutup mulut saja. Asterita kembali menegakkan punggungnya dan melihat pada tiga wanita yang berjuang merebut hati calon ibu mertua. "Waktu kalian tinggal lima menit lagi!" seru Asterita setelah matanya bertemu dengan arloji di tangannya. Teriakan Asterita cukup mengejutkan dan membuat Retha kaget sampai dia menyenggol tutup penggorengan hingga jatuh dengan suara keras memekakkan telinga. "Aduh! Sial!!" Spontan Retha berkata dengan keras. Nada suaranya jelas menunjukkan dia sangat kesal. Meja
Lusia mendekati mamanya. Dia harus mencegah Asterita bertindak terlalu jauh. Lusia bisa paham tujuan mamanya baik sekalipun aneh yang dia lakukan. Tetapi jika akan membuat masalah lain, buat apa? "Kenapa kamar Leon?" tanya Lusia. Asterita menyeringai. Dia sangat tahu yang Lusia maksudkan. "Aku ini mama kamu, mama Leon. Kamu pikir aku sudah pikun?" Itu yang menjadi jawaban Asterita. Asterita mempercepat langkahnya. Dia memang menuju kamar Leon, tetapi tidak masuk ke dalamnya. Asterita melangkah terus ke sisi sebelah, ruang santai di lantai dua. "Ah, oke ...." Lusia sangat lega. Asterita menjalankan ujian kedua di sana. Di depan Asterita dan Lusia, ada sebuah meja besar dengan tumpukan pakaian. "Apa ini, Ma?" tanya Lusia. Dia mencoba menerka tetapi takut salah paham. "Nanti kamu akan tahu," ujar Asterita tenang. Dia berjalan mendekati meja besar itu, lalu berdiri di depannya, berbalik dan melihat pada Mentari dan Hera yang berdiri bersebelahan. Dua wanita itu tanpa diminta bersi