Dengan cepat Asterita dan Horacio menoleh pada putri bungsu mereka. Ada apa dengan Lusia tiba-tiba ngambek? Padahal sejak dia datang, dia tampak ceria dan baik-baik saja. "Kami tidak memperhatikan kamu?" Horacio merasa ada tuduhan tidak pada tempatnya. Kening pria itu berkerut sambil mencermati wajah Lusia. Bagaimana bisa Lusia protes begitu pada mama dan papanya? "Leon, Leon, Leon terus yang diurusi. Mama Papa ga tahu kan, aku lagi galau kelas berat? Dan karena apa? Ga nyadar, kan?" Bibir bagus dan seksi Lusia manyun. Dia sengaja membuat perhatian orang tuanya beralih padanya. Satu sisi, memang, akhir-akhir ini, Leon terus yang dibicarakan di rumah, seolah-olah Lusia tidak penting bagi keluarga Alvarez. "Sayang, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Mana mungkin Mama ga perhatian sama kamu. Kamu anak cantik Mama satu-satunya." Asterita dengan segera melebarkan tangan dan merangkul Lusia erat. "Mama ga lupa kan, aku sempat bilang ada yang deketin aku. Dan ga satu!" Lusia tegas bicara
"Maaf, Mas. Apa Mentari masih lama?" Irma ternyata yang menghubungi Leon. "Irma ... Ini baru selesai. Sebentar aku akan antar dia pulang." Leon menjawab sambil memandang Mentari. Wajah gadis itu memerah. Dia tersipu malu, karena hampir terjadi lagi adegan romantis di antara dia dan Leon. "Oke, Mas. Makasih." Irma menyahut, lalu panggilan berakhir. Mentari tidak berani melihat pada Leon. Dia malu juga bisa seperti itu di depan Leon. Apa yang ada di pikirannya? Tidak sepatutnya dia membayangkan melakukan sentuhan intim sebelum hubungannya resmi sebagai pasangan suami istri. Sejauh ini, sekalipun hampir dia jadi korban keganasan bisnis gelap perdagangan wanita, Mentari mampu bertahan. Jangan sampai dengan Leon justru dia membuka diri sebelum saatnya. "Kita balik, ya? Tapi mampir dulu beli nomor dan pulsa buat HP kamu," ajak Leon. "Aku yang bayar." Mentari bicara cepat. Leon mengerutkan kening mendengar itu. Lalu senyum Leon lebar menghiasi bibirnya. Leon paham, kenapa Mentari mau m
"Tuhan terlalu baik sama aku, Om. Mbak Irma yang menolong aku. Dia menghubungi Mas Leon, sampai akhirnya Mas Leon bisa jemput aku dari rumah tempat aku diculik." Mentari menoleh pada Irma. "Ah, terima kasih banyak. Kamu mau menolong keponakan aku," ujar Alman. Dia memandang pada Irma dengan tatapan haru."Sama-sama, Om. Karena Mentari dan Mas Leon aku akhirnya juga bisa bebas." Irma tersenyum. "Dan ... Mbak Irma butuh kerja, Om. Apa bisa ya, kerja di sini? " Mentari melihat Alman. Tentu saja hampir yakin, Alman bisa menghadap Bu Safira dan meminta pekerjaan buat Irma. "Hhhmm, sejarah terulang lagi, ya?" Alman tersenyum tipis. "Hehehe," Mentari nyengir. "Kamu bilang sama Tuan Muda sana. Biar lebih gampang," tandas Alman. "Ga mau. Ntar dikira memanfaatkan dia gara-gara dia pacarku. Aku ga suka kayak gitu, Om," tolak Mentari. Irma dan Alman menatap Mentari. Apa yang dia pikir! Itu pertolongan paling tepat, bukan? Leon juga tidak akan menolak menolong Irma. "Lebih baik tetap ikut p
Irma menatap lekat-lekat pada Mentari. Sendu dan sayu muncul jelas di wajah Mentari. Irma mencoba menebak apa yang sedang berkecamuk di hati Mentari mendapati kenyataan kekasihnya sedang dikejar lagi oleh wanita-wanita yang memang tampaknya lebih berkelas dan lebih tepat berada di sisi Leon. "Tari ..." panggil Irma dengan nada suara berat. Mentari memandang Irma. Maish sama, sendu dan sayu. "Kamu sayang Leon ga?" tanya irma. "Iya, Mbak. Mas Leon itu pria pertama yang membuat aku ngerti cinta. Aku bukan ga pernah naksir cowok, tapi ... dia beda. Beda banget. Pacar pertama aku. Aku maunya ya sekali ini langsung jadi," kata Mentari. "Kamu yakin Leon cinta kamu ga?" Pertanyaan kedua dari Irma. "Ya, iya, Mbak. Kalau nggak, dia ga akan cari aku. Ga mungkin sampai dia bayar aku jutaan ke Mami Mirina." Mengingat semua yang Leon lakukan, hati Mentari berdesir. "Jadi ... kenapa kamu ga semangat?" tanya Irma lagi, ketiga kalinya. "Cewek-cewek itu ..." Mentari mendesah. "Kenapa mereka?" t
"Sampai bertemu lagi. Aku doakan kalian akan selalu bahagia. Jika ada waktu mampirlah kemari. Pintu rumah ini dan juga gereja selalu terbuka." Angel menyalami Leon dan Mentari saat keduanya berpamitan. Wanita lembut dan baik hati itu memeluk erat Mentari sekali lagi sebelum dia lepaskan pergi dengan Leon. Mentari sangat bersyukur, bisa dipertemukan dengan Angel. Meskipun pertemuan yang singkat, pelajaran berharga yang Mentari temui dari Angel adalah selalu tersenyum dan yakin, Tuhan pasti selalu membuka jalan. Satu lagi, pujian yang Mentari dengar ketika dia berada di rumah Angel, seringkali berkumandang lagi di hati Mentari. Tuhan tidak pernah meninggalkan orang yang berharap kepada-Nya. Kembali berdua di dalam mobil, Leon menjalankan roda empat miliknya menuju ke apartemen. Leon hanya menaruh tas Mentari, lalu dia mengajak Mentari ke apartemen di ujung lantai apartemen Leon. Seperti janjinya, Leon menyewa apartemen itu yang sedikit lebih kecil dari tempat Leon untuk Mentari dan Irm
Mentari tidak bergerak. Dia pejamkan matanya dan merasakan dekapan kuat penuh sayang dari Leon. Desiran makin kuat melanda dada Mentari. Ucapan Leon makin membuat Mentari melayang. Satu lagi yang membuat Mentari merasa aneh dengan dirinya. Tidak ada lagi rasa takut dipeluk dengan kuat seperti itu. Pelukan ini pelukan romantis. Beda dengan saat Leon memeluk ketika Mentari sedang sedih. Mungkin cinta yang dalam dari Leon membuat Mentari nyaman di dalam dekapan pria itu. "Seandainya Tuhan ga mengantarkan kamu ke atap gedung, kita ga akan pernah bertemu. Aku sangat yakin aku belum ngerasain cinta lagi. Aku cinta kamu, sayang kamu, cuma kamu, Tari." Leon bicara lembut di telinga Mentari. Kata-kata Leon itu, meyakinkan Mentari dia aman dalam cinta Leon. Tidak ada yang perlu dia takutkan bersama seorang pria. Leon terlalu baik, kata Irma. Dia benar. Leon serius, tidak akan main-main dengannya, kata Alman. Itu pun benar. Leon jangan dikecewakan menurut Lila. Dia juga tidak salah. Mentari m
Kendaraan Baharudin meluncur di jalanan yang hampir tidak pernah longgar. Selalu penuh dengan bermacam-macam kendaraan lain yang ingin segera tiba di tujuan. Sore itu, Baharudin menjemput Lila untuk bertemu dengan ibunya untuk yang kesekian kali. Seolah-olah pertemuan Lila dan ibu Baharudin punya jadwal tetap. Lila pun sudah hapal, hari apa dan jak berapa dia akan dijemput dan diajak ke rumah mewah keluarga Baharudin. Sayangnya, Lila mulai lelah. Dia senang bersama ibu Baharudin yang baik dan ceria. Ramah dan suka bercerita. Sekalipun kondisi kesehatannya tidak selalu baik, hati wanita itu selalu gembira. "Anakku yang cantik sudah datang! Sini! Hari ini aku coba masak ini! Lihat!" Sambutan ramah dengan senyum lebar, seperti biasa tertuju pada Lila begitu dia bertemu dengan ibu Baharudin. "Ya, Tante Meta." Lila membalas, senyum manis dia lepaskan. Tetapi sebenarnya, Lila ingin menangis. Wanita yang baik dan penyayang. Dia tahu latar belakang Lila dan sama sekali tidak pernah menila
Dada Lila berdegup kencang. Lila sangat sadar, dia telah memiliki rasa sayang pada Baharudin meskipun bukan jatuh cinta yang meletup-letup. Kebaikan hati dan sikap penyayang pria itu yang membuat Lila tahu dia spesial. Tetapi Lila pun sadar diri, yang dia dan Baharudin mainkan hanya untuk sementara. Lila tak berani berharap terlalu jauh. Lalu Baharudin? Semakin hari dia semakin mengagumi Lila. Gadis yang cerdas, periang, pekerja keras, dan yang utama, menghargai orang tua. Bagaimana Lila sabar di sisi Meta, itu nilai plus yang Baharudin berikan. Lila tak pernah mengeluh meski Meta minta dia lakukan ini dan itu. Lila dengan senyum lebar meladeni Meta. Dan Lila mau selesai dengan hubungan mereka? Tidak semudah itu! "Kamu ga bisa rasa kalau aku peduli sama kamu itu bukan drama?" ucap Baharudin dengan pandangan makin dalam ke dasar mata Lila. Lila mengerjap beberapa kali. Dia mencoba memahami apa yang Baharudin mau katakan. "Aku sayang kamu, Lila. Serius kamu ga merasakan itu?" tanya