"Ngapain telpon aku? Aku lagi sibuk!" Lusia bicara dengan keras. Lila makin heran. Kenapa gadis yang Baharudin telpon marah-marah tidak jelas?"Mentari mana? Ada yang mau bicara sama dia. Pakai VC ya?" Baharudin tetap tenang, tidak terpancing gadis itu. "Ahh, oke. Bentar." Gadis itu menyahut. Tidak lama Baharudin menunjukkan layar ke depan Lila. Berdua mereka muncul. di layar dan tampak Mentari do sana. "Mbak Lila!" Mentari tersenyum lebar dengan wajah ceria. "Senang sekali bisa lihat Mbak Lila.""Mentari, kamu benar-benar bikin orang panik. Aku ga bisa tidur berhari-hari mikir kamu. Om Al, kamu belum kontak dia?" Lila memandang Mentari. Dia lega mantan teman kerjanya di mal itu tampak baik-baik. "Belum, Mbak. HP aku disita. Aku ga bisa kontak ke mana-mana. Tapi HP lama aku ketemu. Lengkap dengan tas dan barang penting lainnya." Mentari menjelaskan. Baharudin membiarkan Lila puas bicara dengan Mentari. Dia hanya mendengar saja. Tidak menyela dan tidak menimpali. Baharudin terus m
Horacio dan Asterita bertatapan. Mereka masih mencerna segala yang masuk ke telinga mereka. Leon, sepenuh hati bercerita, berusaha meyakinkan kedua orang tuanya, dia tidak salah memperjuangkan Mentari. Sekalipun Mentari bukan gadis kelas atas, dia pantas mendapat cinta Leon. Dan cinta Mentari yang memang Leon butuhkan di hidupnya. "Sayang, kenapa aku takut?" Jujur, ucapan itu keluar dari hati Asterita. Dia pegang tangan Horacio dan menggenggamnya kuat. Horacio mengusap lembut baju Asterita. Sungguh tak disangka, demi gadis yang dia cintai, Leon membahayakan dirinya berhadapan dengan orang-orang jahat. Leon sampai masuk tempat maksiat yang jelas seumur hidup Horacio dan Asterita melarang putranya ada di sana. "Gracias por Dios ... kamu baik-baik. Dan tidak harus berhadapan dengan polisi karena ini." Asterita melanjutkan. "Kamu yakin dia masih murni?" Horacio menatap Leon. "Apa maksud Papa?" Leon kaget dengan pertanyaan itu. "Leon, ini bukan soal dia virgin atau tidak. Aku tidak te
Pertanyaan Mentari membuat Leon terpaksa menarik napas dalam. Dia tidak mungkin langsung mengatakan orang tuanya keberatan dia menjalin hubungan dengan Mentari. Tapi kalau katakan mereka tidak masalah, tentu tidak akan menjadi baik buat Mentari. "Sayang, nanti waktu bertemu kamu akan tahu. Kamu tenang saja. Lusia akan membantu kamu bersiap. Oke?" Leon mengusap lembut pipi Mentari. Perlahan dia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Mentari. Mentari tidak mengelak. Dia menunjukkan seolah rela dengan sikap manis Leon. Hasrat Leon mulai naik. Wajah cantik dan sayu kekasihnya membuat dia ingin lebih. Apalagi malam makin merebak, suasana mendukung sekali untuk Leon menyentuh manis kekasihnya. Leon kembali mendaratkan kecupan. Lambat dia menggeser bibirnya dan mulai mengarah pada bibir mungil Mentari. Mentari yang awalnya diam, tiba-tiba mundur. Dia menunduk dan mendorong Leon agar melepas pelukannya. "Sayang ..." Leon kaget Mentari menolaknya. "Mas pulang ya ... maksud aku, ke rumah o
Suasana tegang tak terhindarkan. Sekalipun Lusia dengan saya santai berusaha membuat cair, tetap saja masih terasa kaku. Mentari hampir tak berani bergerak. Bicara pun harus hati-hati agar tidak menimbulkan sesuatu yang lebih tidak menyenangkan, "Leon, mencari pasangan itu sekali untuk seumur hidup. Sekali kamu mendapat pasangan yang salah, neraka sepanjang hidup yang kamu jalani. Sebaliknya, sekali kamu mendapat orang yang tepat, sesulit apapun yang kamu akan hadapi bahagia tidak akan jauh dari kamu," tutur Horacio. Bicaranya lebih lembut tapi tetap terasa tegas. Mentari sangat paham yang Horacio maksudkan. Bukan soal siapa Mentari semata, tetapi bagaimana nanti Mentari siap menjadi pendamping Leon. Mentari masih sangat muda. Apa mungkin dia bisa paham dengan kehidupan Leon yang sangat kompleks? Leon mendesah, lalu menghela napas berat. Dia tahu pasti dan mengerti sekali yang Horacio sedang uraikan kepadanya dan juga pada Mentari. Dunia Mentari dan Leon memang sangat jauh berbeda.
Dengan cepat Asterita dan Horacio menoleh pada putri bungsu mereka. Ada apa dengan Lusia tiba-tiba ngambek? Padahal sejak dia datang, dia tampak ceria dan baik-baik saja. "Kami tidak memperhatikan kamu?" Horacio merasa ada tuduhan tidak pada tempatnya. Kening pria itu berkerut sambil mencermati wajah Lusia. Bagaimana bisa Lusia protes begitu pada mama dan papanya? "Leon, Leon, Leon terus yang diurusi. Mama Papa ga tahu kan, aku lagi galau kelas berat? Dan karena apa? Ga nyadar, kan?" Bibir bagus dan seksi Lusia manyun. Dia sengaja membuat perhatian orang tuanya beralih padanya. Satu sisi, memang, akhir-akhir ini, Leon terus yang dibicarakan di rumah, seolah-olah Lusia tidak penting bagi keluarga Alvarez. "Sayang, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Mana mungkin Mama ga perhatian sama kamu. Kamu anak cantik Mama satu-satunya." Asterita dengan segera melebarkan tangan dan merangkul Lusia erat. "Mama ga lupa kan, aku sempat bilang ada yang deketin aku. Dan ga satu!" Lusia tegas bicara
"Maaf, Mas. Apa Mentari masih lama?" Irma ternyata yang menghubungi Leon. "Irma ... Ini baru selesai. Sebentar aku akan antar dia pulang." Leon menjawab sambil memandang Mentari. Wajah gadis itu memerah. Dia tersipu malu, karena hampir terjadi lagi adegan romantis di antara dia dan Leon. "Oke, Mas. Makasih." Irma menyahut, lalu panggilan berakhir. Mentari tidak berani melihat pada Leon. Dia malu juga bisa seperti itu di depan Leon. Apa yang ada di pikirannya? Tidak sepatutnya dia membayangkan melakukan sentuhan intim sebelum hubungannya resmi sebagai pasangan suami istri. Sejauh ini, sekalipun hampir dia jadi korban keganasan bisnis gelap perdagangan wanita, Mentari mampu bertahan. Jangan sampai dengan Leon justru dia membuka diri sebelum saatnya. "Kita balik, ya? Tapi mampir dulu beli nomor dan pulsa buat HP kamu," ajak Leon. "Aku yang bayar." Mentari bicara cepat. Leon mengerutkan kening mendengar itu. Lalu senyum Leon lebar menghiasi bibirnya. Leon paham, kenapa Mentari mau m
"Tuhan terlalu baik sama aku, Om. Mbak Irma yang menolong aku. Dia menghubungi Mas Leon, sampai akhirnya Mas Leon bisa jemput aku dari rumah tempat aku diculik." Mentari menoleh pada Irma. "Ah, terima kasih banyak. Kamu mau menolong keponakan aku," ujar Alman. Dia memandang pada Irma dengan tatapan haru."Sama-sama, Om. Karena Mentari dan Mas Leon aku akhirnya juga bisa bebas." Irma tersenyum. "Dan ... Mbak Irma butuh kerja, Om. Apa bisa ya, kerja di sini? " Mentari melihat Alman. Tentu saja hampir yakin, Alman bisa menghadap Bu Safira dan meminta pekerjaan buat Irma. "Hhhmm, sejarah terulang lagi, ya?" Alman tersenyum tipis. "Hehehe," Mentari nyengir. "Kamu bilang sama Tuan Muda sana. Biar lebih gampang," tandas Alman. "Ga mau. Ntar dikira memanfaatkan dia gara-gara dia pacarku. Aku ga suka kayak gitu, Om," tolak Mentari. Irma dan Alman menatap Mentari. Apa yang dia pikir! Itu pertolongan paling tepat, bukan? Leon juga tidak akan menolak menolong Irma. "Lebih baik tetap ikut p
Irma menatap lekat-lekat pada Mentari. Sendu dan sayu muncul jelas di wajah Mentari. Irma mencoba menebak apa yang sedang berkecamuk di hati Mentari mendapati kenyataan kekasihnya sedang dikejar lagi oleh wanita-wanita yang memang tampaknya lebih berkelas dan lebih tepat berada di sisi Leon. "Tari ..." panggil Irma dengan nada suara berat. Mentari memandang Irma. Maish sama, sendu dan sayu. "Kamu sayang Leon ga?" tanya irma. "Iya, Mbak. Mas Leon itu pria pertama yang membuat aku ngerti cinta. Aku bukan ga pernah naksir cowok, tapi ... dia beda. Beda banget. Pacar pertama aku. Aku maunya ya sekali ini langsung jadi," kata Mentari. "Kamu yakin Leon cinta kamu ga?" Pertanyaan kedua dari Irma. "Ya, iya, Mbak. Kalau nggak, dia ga akan cari aku. Ga mungkin sampai dia bayar aku jutaan ke Mami Mirina." Mengingat semua yang Leon lakukan, hati Mentari berdesir. "Jadi ... kenapa kamu ga semangat?" tanya Irma lagi, ketiga kalinya. "Cewek-cewek itu ..." Mentari mendesah. "Kenapa mereka?" t