Mobil Leon terus meluncur cepat di tol. Sementara Baharudin mulai menuturkan misi rahasia yang ia sengaja tidak mau mengatakan pada Leon. Mendengar semua yang Baharudin ucapkan, kelegaan menguasai dada Leon. Berhasil! Misi berhasil. Bahkan lebih dari yang Leon kira. Baharudin mengatur begitu rupa, sehingga saat mereka keluar dari rumah Mami Mirina, ada laporan masuk ke kepolisian. Data akurat, bukti jelas. Polisi tinggal menindaklanjuti laporan. Dan yang paling penting, siapa yang melapor tidak harus berurusan dengan polisi lebih jauh. "Lu tahu, gue pingin cium lu banyak-banyak, Udin!! Kalau ini sayembara, lu udah pasti juaranya!" Leon bicara dengan wajah sumringah. "Ihh, jijayyy!! Jauh-jauh sana!" seru Baharudin sambil mengibas-ibas lengannya. "Haa haa!!" Leon tertawa lepas. Ketegangan yang sejak awal perjalanan mendominasi hati dan pikirannya dengan cepat lenyap dan berganti kegembiraan. Leon kembali melihat ke layar spion. Tampak Mentari duduk bersandar pada kaca jendela. Masih
Mentari tidak bergerak. Wajahnya campur aduk. Leon yang berdiri dan berjalan ke arah Mentari. Dia menggandeng Mentari dan mengajak gadis itu mendekati Lusia. "Lusia, ini Mentari Jelita, pacarku. Aku sangat cinta dan cuma cinta sama dia." Leon memperkenalkan Mentari. Wajah ketus dan tidak suka masih terpampang tanpa ditutup-tutupi di roman Lusia. "Tari, ini Lusia. Adikku satu-satunya." Leon merangkul bahu Mentari dan memperkenalkan Lusia. Mendengar kata 'adikku' Mentari sangat lega. Berarti Leon tidak punya kekasih lain. Dia memang cinta sama Mentari saja. PR selanjutnya Leon harus menjelaskan deretan panjang kisah Mentari. "Lu dari mana? Kenal kakak gue di club?" Sinis Lusia berkata. "Eh, bukan. Bukan seperti itu." Mentari berkata dengan cepat. Dia harus berani bicara dan membela dirinya termasuk juga membela Leon. Lusia menaikkan kedua alisnya. Suara Mentari manis, tapi medok. Lusia sudah bisa menduga Mentari berasal dari mana. "Biar gue ceritakan cepat. Kalau mau detil ga bis
Lukisan itu menunjukkan wajah sendu seorang wanita muda. Cantik dengan rambut berponi. Rambut belakang tampak diikat ke atas sedikit asal. Matanya lebar dan satu, tetapi ada senyum manis di bibirnya. "Lukisan siapa? Apakah mantan Mas Leon?" bisik Mentari. Mata Mentari mulai beredar mengelilingi seluruh ruangan. Bahkan dia mencermati baik-baik benda-benda di ruangan itu. Dia ingin mencari foto wanita yang mungkin saja mirip dengan lukisan itu. Tidak ada. Bahkan foto diri Leon juga tidak ada. Apa mungkin itu hanya sekedar imajinasi pelukis saja? Tapi seolah-olah begitu nyata. "Hmm, siapa yang menyangka, aku ada di apartemen semewah ini. Semua barang di ruang ini, pasti juga seluruh isi apartemen bukan asal. Bermerk dan mahal. Bisa ya, ada orang kayak ga akan pernah habis uang." Mentari bicara sendiri. Mentari memandang ke atas. Dalam hati doa tulus pun mengalir. "Tuhan, makasih buat semuanya. Sampai di sini pertolongan-Mu. Aku bebas, aku tidak akan dikejar-kejar lagi sama orang-ora
Baharudin tidak menjawab kata-kata Lila. Dia melirik sekilas dan terus saja fokus dengan setir mobilnya. Lila langsung menanyakan tujuan Baharudin mengajak sia pergi, apa untuk kencan? Kalau boleh jujur, antara iya dan tidak. Lila secara status adalah kekasih Baharudin, meskipun pura-pura dan hanya di depan orang tuanya. Tetapi, Baharudin makin nyaman bersama Lila. Dia bisa bebas jadi dirinya, leluasa minta bantuan apapun dan Lila tulus menolong. Apalagi jika berurusan dengan keperluan mama Baharudin. "Aku terlalu pede. Sorry," kata Lila akhirnya karena Baharudin tidak juga menjelaskan. Lila sendiri, hatinya perlahan menyukai Baharudin. Pria ceria dan asal bunyi itu, mulai sering menghantui pikiran Lila. Dia rada selengekan, bicara seperti tidak dipikir tetapi sangat sayang ibunya. Dan jika mengerjakan sesuatu pasti sepenuhnya, total. "Ya, anggap saja ini kencan. Kita akan happy-happy malam ini!" Baharudin menyahut juga. Mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Baharudin merasa ada deb
"Ngapain telpon aku? Aku lagi sibuk!" Lusia bicara dengan keras. Lila makin heran. Kenapa gadis yang Baharudin telpon marah-marah tidak jelas?"Mentari mana? Ada yang mau bicara sama dia. Pakai VC ya?" Baharudin tetap tenang, tidak terpancing gadis itu. "Ahh, oke. Bentar." Gadis itu menyahut. Tidak lama Baharudin menunjukkan layar ke depan Lila. Berdua mereka muncul. di layar dan tampak Mentari do sana. "Mbak Lila!" Mentari tersenyum lebar dengan wajah ceria. "Senang sekali bisa lihat Mbak Lila.""Mentari, kamu benar-benar bikin orang panik. Aku ga bisa tidur berhari-hari mikir kamu. Om Al, kamu belum kontak dia?" Lila memandang Mentari. Dia lega mantan teman kerjanya di mal itu tampak baik-baik. "Belum, Mbak. HP aku disita. Aku ga bisa kontak ke mana-mana. Tapi HP lama aku ketemu. Lengkap dengan tas dan barang penting lainnya." Mentari menjelaskan. Baharudin membiarkan Lila puas bicara dengan Mentari. Dia hanya mendengar saja. Tidak menyela dan tidak menimpali. Baharudin terus m
Horacio dan Asterita bertatapan. Mereka masih mencerna segala yang masuk ke telinga mereka. Leon, sepenuh hati bercerita, berusaha meyakinkan kedua orang tuanya, dia tidak salah memperjuangkan Mentari. Sekalipun Mentari bukan gadis kelas atas, dia pantas mendapat cinta Leon. Dan cinta Mentari yang memang Leon butuhkan di hidupnya. "Sayang, kenapa aku takut?" Jujur, ucapan itu keluar dari hati Asterita. Dia pegang tangan Horacio dan menggenggamnya kuat. Horacio mengusap lembut baju Asterita. Sungguh tak disangka, demi gadis yang dia cintai, Leon membahayakan dirinya berhadapan dengan orang-orang jahat. Leon sampai masuk tempat maksiat yang jelas seumur hidup Horacio dan Asterita melarang putranya ada di sana. "Gracias por Dios ... kamu baik-baik. Dan tidak harus berhadapan dengan polisi karena ini." Asterita melanjutkan. "Kamu yakin dia masih murni?" Horacio menatap Leon. "Apa maksud Papa?" Leon kaget dengan pertanyaan itu. "Leon, ini bukan soal dia virgin atau tidak. Aku tidak te
Pertanyaan Mentari membuat Leon terpaksa menarik napas dalam. Dia tidak mungkin langsung mengatakan orang tuanya keberatan dia menjalin hubungan dengan Mentari. Tapi kalau katakan mereka tidak masalah, tentu tidak akan menjadi baik buat Mentari. "Sayang, nanti waktu bertemu kamu akan tahu. Kamu tenang saja. Lusia akan membantu kamu bersiap. Oke?" Leon mengusap lembut pipi Mentari. Perlahan dia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Mentari. Mentari tidak mengelak. Dia menunjukkan seolah rela dengan sikap manis Leon. Hasrat Leon mulai naik. Wajah cantik dan sayu kekasihnya membuat dia ingin lebih. Apalagi malam makin merebak, suasana mendukung sekali untuk Leon menyentuh manis kekasihnya. Leon kembali mendaratkan kecupan. Lambat dia menggeser bibirnya dan mulai mengarah pada bibir mungil Mentari. Mentari yang awalnya diam, tiba-tiba mundur. Dia menunduk dan mendorong Leon agar melepas pelukannya. "Sayang ..." Leon kaget Mentari menolaknya. "Mas pulang ya ... maksud aku, ke rumah o
Suasana tegang tak terhindarkan. Sekalipun Lusia dengan saya santai berusaha membuat cair, tetap saja masih terasa kaku. Mentari hampir tak berani bergerak. Bicara pun harus hati-hati agar tidak menimbulkan sesuatu yang lebih tidak menyenangkan, "Leon, mencari pasangan itu sekali untuk seumur hidup. Sekali kamu mendapat pasangan yang salah, neraka sepanjang hidup yang kamu jalani. Sebaliknya, sekali kamu mendapat orang yang tepat, sesulit apapun yang kamu akan hadapi bahagia tidak akan jauh dari kamu," tutur Horacio. Bicaranya lebih lembut tapi tetap terasa tegas. Mentari sangat paham yang Horacio maksudkan. Bukan soal siapa Mentari semata, tetapi bagaimana nanti Mentari siap menjadi pendamping Leon. Mentari masih sangat muda. Apa mungkin dia bisa paham dengan kehidupan Leon yang sangat kompleks? Leon mendesah, lalu menghela napas berat. Dia tahu pasti dan mengerti sekali yang Horacio sedang uraikan kepadanya dan juga pada Mentari. Dunia Mentari dan Leon memang sangat jauh berbeda.