Baharudin tidak mengatakan apapun lagi. Dia sebenarnya mau Leon sepakat mereka bekerja sama dengan kepolisian agar mereka bukan hanya bisa melepaskan Mentari tapi juga membongkar bisnis gelap di rumah mewah itu. Tetapi Leon ternyata tidak sejalan dengannya. Mobil Leon terus melaju di jalanan yang padat. Hari sudah menjelang sore. Rasa lapar mendera kuat di perut kedua pemuda itu. "Gue kelaparan. Lu ngajak pergi tapi gue kagak lu kasih makan. Tega amat lu!" Baharudin sengaja mengatakan itu untuk mengalihkan ketegangan di antara mereka. "Tenang aja. Depan ada resto bagus buat kampung tengah. Pesen apa aja yang lu demen, serah. Gue traktir." Leon menjawab dengan suara pelan. Mobil belok ke resto yang Leon maksud. Tak banyak bicara mereka menghabiskan makanan yang mereka pesan. Tapi di kepala mereka terus bergerak apa yang mungkin terjadi dan apa yang mungkin mereka bisa lakukan untuk menghadapi Mami Mirina selanjutnya. Setelah puas makan, baru mereka kembali berdiskusi dengan kepala
- Mi amor, te amo muchas. Sedikit lagi kita akan sama-sama lagi. Hati Mentari berdegup sangat kencang membaca pesan itu. Leon menyatakan cintanya lagi. Di tengah situasi yang masih menegangkan Leon memberikan keteduhan buat hati Mentari. Irma memandang Mentari yang roman mukanya berubah seketika. Merah merebak di sana. Mentari hampir menangis. "Tari, aku harus cek kamar yang kamu akan tempati. Nanti aku balik lagi." Irma menyela keharuan yang sedang melanda Mentari. "Iya, Mbak. Makasih buat semuanya." Mentari mengusap kedua matanya. Dalam hati Mentari bertekad akan melakukan sesuatu untuk Irma. Entah bagaimana tapi Mentari akan berbuat sesuatu. Irma meninggalkan Mentari dengan pintu gudang kembali terkunci. Mentari masih memandang ke arah pintu. Beberapa saat baru Mentari bergerak. Dia akan meninggalkan gudang itu dan barang yang dia gunakan sebaiknya dia rapikan sebelum dia keluar dari situ. Mentari melipat kasur dan berniat menyimpannya di rak besar. Saat memastikan ruang buat
"Sesuai kesepakatan, uang muka, Tuan Tampan!" Mami Mirina berkacak pinggang, dengan sebelah tangan mengusap dadanya. Leon tersenyum. Dia menoleh pada Baharudin. "Berikan yang Nyonya Cantik ini mau." "Baik, Tuan." Baharudin sangat kesal. Dia memang yang membawa tas berisi uang milik Leon. Tapi tetap dia tidak rela uang sebanyak itu diberikan pada wanita jahat ini. Leon kurang pintar bernego, menurut Baharudin. Baharudin meletakkan tas di atas meja. Lalu dia mengeluarkan sejumah uang dan menaruh di atas meja. Wajah Mami Mirina makin sumringah. "Tidak terlalu sering aku menerima cash. Tapi boleh juga. Tuan sengaja ingin menunjukkan level Anda bisa bersaing dengan Tuan Rico?" Mami Mirina langsung mengambil uang itu di kedua tangannya. "Anggap saja begitu." Leon menjawab cepat. "Di mana kamarnya?" "Haa hhaa!! Tuan sungguh tidak sabar?" Mami Mirina tertawa lebar dengan reaksi Leon. Leon dan Baharudin tetap di tempatnya. Keduanya tidak mengatakan apa-apa."Baiklah, Tuan, aku tidak akan
Tatapan Irma sulit digambarkan. Dia berdiri memandang Leon dan Mentari dengan mata berkedip, lebih tepatnya mengerjap beberapa kali. Mentari membalas pandangan mata Irma. Wanita muda dan baik hati itu pun rindu kebebasan. Dia terus berharap pintu terbuka dan dia bisa keluar dari rumah itu. "Mas ..." Mentari mengeratkan genggaman tangannya dan melihat Leon. Leon menoleh dan tahu apa yang Mentari inginkan. "Irma, lu siap berpetualang?" Leon menoleh kembali melihat pada Irma. "Aku?" Irma gugup dan bingung dengan pertanyaan itu. "Ikut kami. Jangan pikir yang lain. Kalau lu mau, sekarang waktunya meninggalkan rumah ini dan ga akan balik lagi." Leon bicara tegas. Irma menatap Leon dengan mata melebar. "Ini beneran?* "Lu uda dengar jelas. Pilihan, lu yang pegang kendali. Gue bawa Mentari." Leon bersiap meneruskan langkahnya. "Aku ikut." Irma tidak berpikir yang lain lagi. Ini kesempatan yang tidak mungkin datang kedua kali. "Sekarang atau kita terjebak di sini." Baharudin ikut buka s
Mobil Leon terus meluncur cepat di tol. Sementara Baharudin mulai menuturkan misi rahasia yang ia sengaja tidak mau mengatakan pada Leon. Mendengar semua yang Baharudin ucapkan, kelegaan menguasai dada Leon. Berhasil! Misi berhasil. Bahkan lebih dari yang Leon kira. Baharudin mengatur begitu rupa, sehingga saat mereka keluar dari rumah Mami Mirina, ada laporan masuk ke kepolisian. Data akurat, bukti jelas. Polisi tinggal menindaklanjuti laporan. Dan yang paling penting, siapa yang melapor tidak harus berurusan dengan polisi lebih jauh. "Lu tahu, gue pingin cium lu banyak-banyak, Udin!! Kalau ini sayembara, lu udah pasti juaranya!" Leon bicara dengan wajah sumringah. "Ihh, jijayyy!! Jauh-jauh sana!" seru Baharudin sambil mengibas-ibas lengannya. "Haa haa!!" Leon tertawa lepas. Ketegangan yang sejak awal perjalanan mendominasi hati dan pikirannya dengan cepat lenyap dan berganti kegembiraan. Leon kembali melihat ke layar spion. Tampak Mentari duduk bersandar pada kaca jendela. Masih
Mentari tidak bergerak. Wajahnya campur aduk. Leon yang berdiri dan berjalan ke arah Mentari. Dia menggandeng Mentari dan mengajak gadis itu mendekati Lusia. "Lusia, ini Mentari Jelita, pacarku. Aku sangat cinta dan cuma cinta sama dia." Leon memperkenalkan Mentari. Wajah ketus dan tidak suka masih terpampang tanpa ditutup-tutupi di roman Lusia. "Tari, ini Lusia. Adikku satu-satunya." Leon merangkul bahu Mentari dan memperkenalkan Lusia. Mendengar kata 'adikku' Mentari sangat lega. Berarti Leon tidak punya kekasih lain. Dia memang cinta sama Mentari saja. PR selanjutnya Leon harus menjelaskan deretan panjang kisah Mentari. "Lu dari mana? Kenal kakak gue di club?" Sinis Lusia berkata. "Eh, bukan. Bukan seperti itu." Mentari berkata dengan cepat. Dia harus berani bicara dan membela dirinya termasuk juga membela Leon. Lusia menaikkan kedua alisnya. Suara Mentari manis, tapi medok. Lusia sudah bisa menduga Mentari berasal dari mana. "Biar gue ceritakan cepat. Kalau mau detil ga bis
Lukisan itu menunjukkan wajah sendu seorang wanita muda. Cantik dengan rambut berponi. Rambut belakang tampak diikat ke atas sedikit asal. Matanya lebar dan satu, tetapi ada senyum manis di bibirnya. "Lukisan siapa? Apakah mantan Mas Leon?" bisik Mentari. Mata Mentari mulai beredar mengelilingi seluruh ruangan. Bahkan dia mencermati baik-baik benda-benda di ruangan itu. Dia ingin mencari foto wanita yang mungkin saja mirip dengan lukisan itu. Tidak ada. Bahkan foto diri Leon juga tidak ada. Apa mungkin itu hanya sekedar imajinasi pelukis saja? Tapi seolah-olah begitu nyata. "Hmm, siapa yang menyangka, aku ada di apartemen semewah ini. Semua barang di ruang ini, pasti juga seluruh isi apartemen bukan asal. Bermerk dan mahal. Bisa ya, ada orang kayak ga akan pernah habis uang." Mentari bicara sendiri. Mentari memandang ke atas. Dalam hati doa tulus pun mengalir. "Tuhan, makasih buat semuanya. Sampai di sini pertolongan-Mu. Aku bebas, aku tidak akan dikejar-kejar lagi sama orang-ora
Baharudin tidak menjawab kata-kata Lila. Dia melirik sekilas dan terus saja fokus dengan setir mobilnya. Lila langsung menanyakan tujuan Baharudin mengajak sia pergi, apa untuk kencan? Kalau boleh jujur, antara iya dan tidak. Lila secara status adalah kekasih Baharudin, meskipun pura-pura dan hanya di depan orang tuanya. Tetapi, Baharudin makin nyaman bersama Lila. Dia bisa bebas jadi dirinya, leluasa minta bantuan apapun dan Lila tulus menolong. Apalagi jika berurusan dengan keperluan mama Baharudin. "Aku terlalu pede. Sorry," kata Lila akhirnya karena Baharudin tidak juga menjelaskan. Lila sendiri, hatinya perlahan menyukai Baharudin. Pria ceria dan asal bunyi itu, mulai sering menghantui pikiran Lila. Dia rada selengekan, bicara seperti tidak dipikir tetapi sangat sayang ibunya. Dan jika mengerjakan sesuatu pasti sepenuhnya, total. "Ya, anggap saja ini kencan. Kita akan happy-happy malam ini!" Baharudin menyahut juga. Mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Baharudin merasa ada deb