- Mi amor, te amo muchas. Sedikit lagi kita akan sama-sama lagi. Hati Mentari berdegup sangat kencang membaca pesan itu. Leon menyatakan cintanya lagi. Di tengah situasi yang masih menegangkan Leon memberikan keteduhan buat hati Mentari. Irma memandang Mentari yang roman mukanya berubah seketika. Merah merebak di sana. Mentari hampir menangis. "Tari, aku harus cek kamar yang kamu akan tempati. Nanti aku balik lagi." Irma menyela keharuan yang sedang melanda Mentari. "Iya, Mbak. Makasih buat semuanya." Mentari mengusap kedua matanya. Dalam hati Mentari bertekad akan melakukan sesuatu untuk Irma. Entah bagaimana tapi Mentari akan berbuat sesuatu. Irma meninggalkan Mentari dengan pintu gudang kembali terkunci. Mentari masih memandang ke arah pintu. Beberapa saat baru Mentari bergerak. Dia akan meninggalkan gudang itu dan barang yang dia gunakan sebaiknya dia rapikan sebelum dia keluar dari situ. Mentari melipat kasur dan berniat menyimpannya di rak besar. Saat memastikan ruang buat
"Sesuai kesepakatan, uang muka, Tuan Tampan!" Mami Mirina berkacak pinggang, dengan sebelah tangan mengusap dadanya. Leon tersenyum. Dia menoleh pada Baharudin. "Berikan yang Nyonya Cantik ini mau." "Baik, Tuan." Baharudin sangat kesal. Dia memang yang membawa tas berisi uang milik Leon. Tapi tetap dia tidak rela uang sebanyak itu diberikan pada wanita jahat ini. Leon kurang pintar bernego, menurut Baharudin. Baharudin meletakkan tas di atas meja. Lalu dia mengeluarkan sejumah uang dan menaruh di atas meja. Wajah Mami Mirina makin sumringah. "Tidak terlalu sering aku menerima cash. Tapi boleh juga. Tuan sengaja ingin menunjukkan level Anda bisa bersaing dengan Tuan Rico?" Mami Mirina langsung mengambil uang itu di kedua tangannya. "Anggap saja begitu." Leon menjawab cepat. "Di mana kamarnya?" "Haa hhaa!! Tuan sungguh tidak sabar?" Mami Mirina tertawa lebar dengan reaksi Leon. Leon dan Baharudin tetap di tempatnya. Keduanya tidak mengatakan apa-apa."Baiklah, Tuan, aku tidak akan
Tatapan Irma sulit digambarkan. Dia berdiri memandang Leon dan Mentari dengan mata berkedip, lebih tepatnya mengerjap beberapa kali. Mentari membalas pandangan mata Irma. Wanita muda dan baik hati itu pun rindu kebebasan. Dia terus berharap pintu terbuka dan dia bisa keluar dari rumah itu. "Mas ..." Mentari mengeratkan genggaman tangannya dan melihat Leon. Leon menoleh dan tahu apa yang Mentari inginkan. "Irma, lu siap berpetualang?" Leon menoleh kembali melihat pada Irma. "Aku?" Irma gugup dan bingung dengan pertanyaan itu. "Ikut kami. Jangan pikir yang lain. Kalau lu mau, sekarang waktunya meninggalkan rumah ini dan ga akan balik lagi." Leon bicara tegas. Irma menatap Leon dengan mata melebar. "Ini beneran?* "Lu uda dengar jelas. Pilihan, lu yang pegang kendali. Gue bawa Mentari." Leon bersiap meneruskan langkahnya. "Aku ikut." Irma tidak berpikir yang lain lagi. Ini kesempatan yang tidak mungkin datang kedua kali. "Sekarang atau kita terjebak di sini." Baharudin ikut buka s
Mobil Leon terus meluncur cepat di tol. Sementara Baharudin mulai menuturkan misi rahasia yang ia sengaja tidak mau mengatakan pada Leon. Mendengar semua yang Baharudin ucapkan, kelegaan menguasai dada Leon. Berhasil! Misi berhasil. Bahkan lebih dari yang Leon kira. Baharudin mengatur begitu rupa, sehingga saat mereka keluar dari rumah Mami Mirina, ada laporan masuk ke kepolisian. Data akurat, bukti jelas. Polisi tinggal menindaklanjuti laporan. Dan yang paling penting, siapa yang melapor tidak harus berurusan dengan polisi lebih jauh. "Lu tahu, gue pingin cium lu banyak-banyak, Udin!! Kalau ini sayembara, lu udah pasti juaranya!" Leon bicara dengan wajah sumringah. "Ihh, jijayyy!! Jauh-jauh sana!" seru Baharudin sambil mengibas-ibas lengannya. "Haa haa!!" Leon tertawa lepas. Ketegangan yang sejak awal perjalanan mendominasi hati dan pikirannya dengan cepat lenyap dan berganti kegembiraan. Leon kembali melihat ke layar spion. Tampak Mentari duduk bersandar pada kaca jendela. Masih
Mentari tidak bergerak. Wajahnya campur aduk. Leon yang berdiri dan berjalan ke arah Mentari. Dia menggandeng Mentari dan mengajak gadis itu mendekati Lusia. "Lusia, ini Mentari Jelita, pacarku. Aku sangat cinta dan cuma cinta sama dia." Leon memperkenalkan Mentari. Wajah ketus dan tidak suka masih terpampang tanpa ditutup-tutupi di roman Lusia. "Tari, ini Lusia. Adikku satu-satunya." Leon merangkul bahu Mentari dan memperkenalkan Lusia. Mendengar kata 'adikku' Mentari sangat lega. Berarti Leon tidak punya kekasih lain. Dia memang cinta sama Mentari saja. PR selanjutnya Leon harus menjelaskan deretan panjang kisah Mentari. "Lu dari mana? Kenal kakak gue di club?" Sinis Lusia berkata. "Eh, bukan. Bukan seperti itu." Mentari berkata dengan cepat. Dia harus berani bicara dan membela dirinya termasuk juga membela Leon. Lusia menaikkan kedua alisnya. Suara Mentari manis, tapi medok. Lusia sudah bisa menduga Mentari berasal dari mana. "Biar gue ceritakan cepat. Kalau mau detil ga bis
Lukisan itu menunjukkan wajah sendu seorang wanita muda. Cantik dengan rambut berponi. Rambut belakang tampak diikat ke atas sedikit asal. Matanya lebar dan satu, tetapi ada senyum manis di bibirnya. "Lukisan siapa? Apakah mantan Mas Leon?" bisik Mentari. Mata Mentari mulai beredar mengelilingi seluruh ruangan. Bahkan dia mencermati baik-baik benda-benda di ruangan itu. Dia ingin mencari foto wanita yang mungkin saja mirip dengan lukisan itu. Tidak ada. Bahkan foto diri Leon juga tidak ada. Apa mungkin itu hanya sekedar imajinasi pelukis saja? Tapi seolah-olah begitu nyata. "Hmm, siapa yang menyangka, aku ada di apartemen semewah ini. Semua barang di ruang ini, pasti juga seluruh isi apartemen bukan asal. Bermerk dan mahal. Bisa ya, ada orang kayak ga akan pernah habis uang." Mentari bicara sendiri. Mentari memandang ke atas. Dalam hati doa tulus pun mengalir. "Tuhan, makasih buat semuanya. Sampai di sini pertolongan-Mu. Aku bebas, aku tidak akan dikejar-kejar lagi sama orang-ora
Baharudin tidak menjawab kata-kata Lila. Dia melirik sekilas dan terus saja fokus dengan setir mobilnya. Lila langsung menanyakan tujuan Baharudin mengajak sia pergi, apa untuk kencan? Kalau boleh jujur, antara iya dan tidak. Lila secara status adalah kekasih Baharudin, meskipun pura-pura dan hanya di depan orang tuanya. Tetapi, Baharudin makin nyaman bersama Lila. Dia bisa bebas jadi dirinya, leluasa minta bantuan apapun dan Lila tulus menolong. Apalagi jika berurusan dengan keperluan mama Baharudin. "Aku terlalu pede. Sorry," kata Lila akhirnya karena Baharudin tidak juga menjelaskan. Lila sendiri, hatinya perlahan menyukai Baharudin. Pria ceria dan asal bunyi itu, mulai sering menghantui pikiran Lila. Dia rada selengekan, bicara seperti tidak dipikir tetapi sangat sayang ibunya. Dan jika mengerjakan sesuatu pasti sepenuhnya, total. "Ya, anggap saja ini kencan. Kita akan happy-happy malam ini!" Baharudin menyahut juga. Mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Baharudin merasa ada deb
"Ngapain telpon aku? Aku lagi sibuk!" Lusia bicara dengan keras. Lila makin heran. Kenapa gadis yang Baharudin telpon marah-marah tidak jelas?"Mentari mana? Ada yang mau bicara sama dia. Pakai VC ya?" Baharudin tetap tenang, tidak terpancing gadis itu. "Ahh, oke. Bentar." Gadis itu menyahut. Tidak lama Baharudin menunjukkan layar ke depan Lila. Berdua mereka muncul. di layar dan tampak Mentari do sana. "Mbak Lila!" Mentari tersenyum lebar dengan wajah ceria. "Senang sekali bisa lihat Mbak Lila.""Mentari, kamu benar-benar bikin orang panik. Aku ga bisa tidur berhari-hari mikir kamu. Om Al, kamu belum kontak dia?" Lila memandang Mentari. Dia lega mantan teman kerjanya di mal itu tampak baik-baik. "Belum, Mbak. HP aku disita. Aku ga bisa kontak ke mana-mana. Tapi HP lama aku ketemu. Lengkap dengan tas dan barang penting lainnya." Mentari menjelaskan. Baharudin membiarkan Lila puas bicara dengan Mentari. Dia hanya mendengar saja. Tidak menyela dan tidak menimpali. Baharudin terus m
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de