"Mas, ga bisa lama-lama di sini. Nanti Mami curiga dan aku bisa dihukum. Buruan," kata Irma. Dia menunjuk ke arah toilet dan minta Leon segera merapikan pakaiannya. "Oke, dua menit." Leon bergegas masuk ke dalam toilet. Leon membasahi jasnya di bagian yang terkena tumpahan anggur. Setelah itu dia serap basahan dengan tisu. Seperti yang dia katakan, dua menit cukup dia selesai. "Udah?" tanya Irma. "Udah. Ngapain lama-lama." Leon mengangguk. "Oke," ujar Irma sambil mulai berjalan. "Beritahu aku, bagaimana biar Mami mau menurut yang aku minta. Termasuk kalau aku minta Mentari." Leon mendesak Irma memberitahu kelemahan Mami Mirina. "Mudah, Mas. Duit. Siapa berani bayar paling mahal itu dia yang dapat." Irma menjelaskan. "Ooh, okee ..." Kepala Leon berputar, dia berpikir keras cara apa yang bisa dia lakukan agar Mentari bisa segera bebas. "Aku akan kasih tahu Mentari Mas udah di sini. Hubungi aku kapan saja aku akan bantu apapun itu," kata Irma sungguh-sungguh. Waktunya tidak banya
Leon menggigit giginya. Mendengar yang Mami Mirina katakan langsung dia ingat Irma. Irma benar, asal cuan besar, Mami Mirina akan memberikannya. Lalu, berapa dia bisa bayar untuk menebus Mentari? "Beli nasi di warung pinggir jalan saja sudah ada kenaikan harga, Tuan. Apalagi untuk persoalan kepuasan diri. Paham maksudku?" Mami Mirina memicingkan matanya. "Oke, aku sangat paham." Leon mengangguk-angguk. Mami Mirina memajukan badannya, condong pada Leon dan setengah berbisik berkata,"Baiklah. Aku taruh harga dasar sembilan puluh juta." Leon dan Baharudin seketika menelan ludah bersama. Wajah keduanya memerah. Ini benar-benar di luar nalar mereka. Tetapi Leon tidak akan membiarkan kesempatan membawa Mentari lepas. "Tuan, Anda yakin?" Baharudin kembali bicara. Dia sangat kuatir dengan Leon. Ini bukan sekadar permainan. Ini permainan jahat! "Aku akan bayar lebih, asal aku bisa bertemu dengannya hari ini." Leon membalas tatapan Mami Mirina. "Dari mana aku yakin, Tuan sedang tidak berm
Baharudin tidak mengatakan apapun lagi. Dia sebenarnya mau Leon sepakat mereka bekerja sama dengan kepolisian agar mereka bukan hanya bisa melepaskan Mentari tapi juga membongkar bisnis gelap di rumah mewah itu. Tetapi Leon ternyata tidak sejalan dengannya. Mobil Leon terus melaju di jalanan yang padat. Hari sudah menjelang sore. Rasa lapar mendera kuat di perut kedua pemuda itu. "Gue kelaparan. Lu ngajak pergi tapi gue kagak lu kasih makan. Tega amat lu!" Baharudin sengaja mengatakan itu untuk mengalihkan ketegangan di antara mereka. "Tenang aja. Depan ada resto bagus buat kampung tengah. Pesen apa aja yang lu demen, serah. Gue traktir." Leon menjawab dengan suara pelan. Mobil belok ke resto yang Leon maksud. Tak banyak bicara mereka menghabiskan makanan yang mereka pesan. Tapi di kepala mereka terus bergerak apa yang mungkin terjadi dan apa yang mungkin mereka bisa lakukan untuk menghadapi Mami Mirina selanjutnya. Setelah puas makan, baru mereka kembali berdiskusi dengan kepala
- Mi amor, te amo muchas. Sedikit lagi kita akan sama-sama lagi. Hati Mentari berdegup sangat kencang membaca pesan itu. Leon menyatakan cintanya lagi. Di tengah situasi yang masih menegangkan Leon memberikan keteduhan buat hati Mentari. Irma memandang Mentari yang roman mukanya berubah seketika. Merah merebak di sana. Mentari hampir menangis. "Tari, aku harus cek kamar yang kamu akan tempati. Nanti aku balik lagi." Irma menyela keharuan yang sedang melanda Mentari. "Iya, Mbak. Makasih buat semuanya." Mentari mengusap kedua matanya. Dalam hati Mentari bertekad akan melakukan sesuatu untuk Irma. Entah bagaimana tapi Mentari akan berbuat sesuatu. Irma meninggalkan Mentari dengan pintu gudang kembali terkunci. Mentari masih memandang ke arah pintu. Beberapa saat baru Mentari bergerak. Dia akan meninggalkan gudang itu dan barang yang dia gunakan sebaiknya dia rapikan sebelum dia keluar dari situ. Mentari melipat kasur dan berniat menyimpannya di rak besar. Saat memastikan ruang buat
"Sesuai kesepakatan, uang muka, Tuan Tampan!" Mami Mirina berkacak pinggang, dengan sebelah tangan mengusap dadanya. Leon tersenyum. Dia menoleh pada Baharudin. "Berikan yang Nyonya Cantik ini mau." "Baik, Tuan." Baharudin sangat kesal. Dia memang yang membawa tas berisi uang milik Leon. Tapi tetap dia tidak rela uang sebanyak itu diberikan pada wanita jahat ini. Leon kurang pintar bernego, menurut Baharudin. Baharudin meletakkan tas di atas meja. Lalu dia mengeluarkan sejumah uang dan menaruh di atas meja. Wajah Mami Mirina makin sumringah. "Tidak terlalu sering aku menerima cash. Tapi boleh juga. Tuan sengaja ingin menunjukkan level Anda bisa bersaing dengan Tuan Rico?" Mami Mirina langsung mengambil uang itu di kedua tangannya. "Anggap saja begitu." Leon menjawab cepat. "Di mana kamarnya?" "Haa hhaa!! Tuan sungguh tidak sabar?" Mami Mirina tertawa lebar dengan reaksi Leon. Leon dan Baharudin tetap di tempatnya. Keduanya tidak mengatakan apa-apa."Baiklah, Tuan, aku tidak akan
Tatapan Irma sulit digambarkan. Dia berdiri memandang Leon dan Mentari dengan mata berkedip, lebih tepatnya mengerjap beberapa kali. Mentari membalas pandangan mata Irma. Wanita muda dan baik hati itu pun rindu kebebasan. Dia terus berharap pintu terbuka dan dia bisa keluar dari rumah itu. "Mas ..." Mentari mengeratkan genggaman tangannya dan melihat Leon. Leon menoleh dan tahu apa yang Mentari inginkan. "Irma, lu siap berpetualang?" Leon menoleh kembali melihat pada Irma. "Aku?" Irma gugup dan bingung dengan pertanyaan itu. "Ikut kami. Jangan pikir yang lain. Kalau lu mau, sekarang waktunya meninggalkan rumah ini dan ga akan balik lagi." Leon bicara tegas. Irma menatap Leon dengan mata melebar. "Ini beneran?* "Lu uda dengar jelas. Pilihan, lu yang pegang kendali. Gue bawa Mentari." Leon bersiap meneruskan langkahnya. "Aku ikut." Irma tidak berpikir yang lain lagi. Ini kesempatan yang tidak mungkin datang kedua kali. "Sekarang atau kita terjebak di sini." Baharudin ikut buka s
Mobil Leon terus meluncur cepat di tol. Sementara Baharudin mulai menuturkan misi rahasia yang ia sengaja tidak mau mengatakan pada Leon. Mendengar semua yang Baharudin ucapkan, kelegaan menguasai dada Leon. Berhasil! Misi berhasil. Bahkan lebih dari yang Leon kira. Baharudin mengatur begitu rupa, sehingga saat mereka keluar dari rumah Mami Mirina, ada laporan masuk ke kepolisian. Data akurat, bukti jelas. Polisi tinggal menindaklanjuti laporan. Dan yang paling penting, siapa yang melapor tidak harus berurusan dengan polisi lebih jauh. "Lu tahu, gue pingin cium lu banyak-banyak, Udin!! Kalau ini sayembara, lu udah pasti juaranya!" Leon bicara dengan wajah sumringah. "Ihh, jijayyy!! Jauh-jauh sana!" seru Baharudin sambil mengibas-ibas lengannya. "Haa haa!!" Leon tertawa lepas. Ketegangan yang sejak awal perjalanan mendominasi hati dan pikirannya dengan cepat lenyap dan berganti kegembiraan. Leon kembali melihat ke layar spion. Tampak Mentari duduk bersandar pada kaca jendela. Masih
Mentari tidak bergerak. Wajahnya campur aduk. Leon yang berdiri dan berjalan ke arah Mentari. Dia menggandeng Mentari dan mengajak gadis itu mendekati Lusia. "Lusia, ini Mentari Jelita, pacarku. Aku sangat cinta dan cuma cinta sama dia." Leon memperkenalkan Mentari. Wajah ketus dan tidak suka masih terpampang tanpa ditutup-tutupi di roman Lusia. "Tari, ini Lusia. Adikku satu-satunya." Leon merangkul bahu Mentari dan memperkenalkan Lusia. Mendengar kata 'adikku' Mentari sangat lega. Berarti Leon tidak punya kekasih lain. Dia memang cinta sama Mentari saja. PR selanjutnya Leon harus menjelaskan deretan panjang kisah Mentari. "Lu dari mana? Kenal kakak gue di club?" Sinis Lusia berkata. "Eh, bukan. Bukan seperti itu." Mentari berkata dengan cepat. Dia harus berani bicara dan membela dirinya termasuk juga membela Leon. Lusia menaikkan kedua alisnya. Suara Mentari manis, tapi medok. Lusia sudah bisa menduga Mentari berasal dari mana. "Biar gue ceritakan cepat. Kalau mau detil ga bis