Bab 1: Pengantinku, Ismi
Aku tidak bisa menutupi senyum kala melihat gadis pujaan yang secantik bidadari itu muncul di depan kami semua. Dia memakai gamis panjang dengan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya.
Dia tersenyum, cantik sekali. Jemari lentiknya sibuk menata gelas demi gelas yang berisikan jus pomegranate untuk keluarga kami berdua. Lalu, dari arah belakang ibu mertuaku muncul dengan membawa makan malam.
“Wah ... cantiknya mantuku, Pak!” Ibuku berseru saat Ismi mundur selangkah untuk menyimpan nampan.
Sontak saja aku melirik beliau, hatiku menghangat dengan cepat, ibuku sendiri begitu menyukai Ismi hingga pernikahan kami pasti akan mudah ke depannya. Apa lagi Bapak sudah berteman baik dengan keluarga Ismi.
“Iya, dong ... anak siapa dulu?” Ibu mertuaku sekaligus Ibunya Ismi menyahut.
Dia mengeluarkan semangkuk sayur sop dan tulang sapi serta sepiring ayam goreng bumbu kunyit. Setelahnya, Ismi menyusul lagi dengan sepiring perkedel berukuran besar dan tumis bayam. Kami akan merayakan pernikahanku dan Ismi yang berlangsung siang tadi.
Kami memutuskan untuk menikah sederhana terlebih dahulu, dan akan merayakan resepsi dua atau tiga bulan lagi setelah semuanya dipersiapkan dengan baik. Tentu saja, pernikahan kami sah secara agama dan negara, aku tidak ingin membuat Ismi gelisah karena namanya belum tercatat di kartu keluarga sebagai istri dari Reza Suryansyah.
“Mbak, seneng sekali aku ini ... bisa besanan juga kita!”
“Ya, Mbak. Waduh, enggak nyangka Allah berikan hadiah seindah ini. Anakmu sat set sekali, suka langsung bawa ke penghulu,” balas ibu mertuaku lagi.
Aku terus memandangi mereka bergantian, meski sesekali tidak bisa memindahkan pandangan pada Ismi. Gadis itu sudah berusia dua puluh enam tahun di Agustus 2022 kemarin, namun parasnya masih seperti gadis belia berusia belasan.
Tubuhnya mungil, padat berisi. Jemarinya lentik dan sangat putih. Wajahnya ayu, bibir tipis merekah merah, hidung mancung kecil dan mata yang berkelopak ganda seperti artis-artis Korea.
Ismi Diana baru saja pindah dari kota dengan keluarganya karena orang tuanya sudah pensiun. Mereka mengaku ingin menghabiskan sisa usia di kampung halaman bersama sahabat baiknya, yaitu bapak dan ibuku.
Saat itu, masih awal Oktober 2022. Aku pulang ke desa Ledok Sambi, tempat di mana tubuh ini dilahirkan oleh wanita hebat itu di tahun 1995 lalu. Kuputuskan untuk mengambil cuti karena tidak sempat libur di lebaran Idul Fitri.
Tanpa sengaja, aku beradu tatap dengan Ismi. Gadis itu sedang menyapu halaman rumahnya saat aku keluar hanya untuk merenggangkan tubuh dan menghirup udara pagi.
Ternyata, rumah peninggalan Pak Suryo dan almarhumah istrinya itu dibeli oleh keluarga Ismi. Jadilah, mereka tinggal berhadapan dengan ibu dan bapak.
Setiap sore, ibu akan mampir ke rumah mereka, entah sekadar berbagi makanan atau mengobrol hingga petang. Bapak akan bergantian setelah salat magrib, lalu pulang sebelum jam sepuluh malam karena Bapak masih bekerja sebagai kepala sekuriti untuk desa wisata Ledok Sambi.
Kurasakan hatiku berdenyut setiap kali melihat Ismi. Meski gadis itu tidak memberi respon setiap kali beradu tatap denganku, tetap saja aku tidak ingin menyerah sampai di situ.
Puncaknya di makan malam keluarga yang dirayakan oleh keluargaku. Mereka mengundang keluarga Ismi ke rumah, dan saat itulah di depan semua orang kuutarakan maksud untuk meminang Ismi.
Orang tuaku terkejut, mereka hampir serangan jantung. Orang tua Ismi terdiam cukup lama, mereka saling berpandangan, sedangkan pujaan hatiku hanya menunduk.
Setelah meyakinkan keluarga Ismi berulang kali melalui bapak dan ibu, akhirnya kami dinikahkan di awal November 2022. Kurang dari satu bulan pertemuan dan aku resmi memiliki Ismi.
“Sudah, ngayal mulu kamu!” Ibu menegurku.
Rupanya, bukan hanya ibu saja, ada banyak mata yang memandang ke arah diriku. Entah sudah berapa lama aku tertegun begini sampai tidak sadar dengan kondisi di sekitar.
“Ah, maaf, Bu?” balasku malu-malu.
Aku menundukkan wajah, memandangi jemari yang dihiasi henna di ujungnya. Lalu, sempat aku melirik Ismi di samping, dia sibuk meremas jemari seperti gugup.
Ingin rasanya kugenggam kedua tangan yang putih itu, tapi di sini masih ada banyak orang dan Ismi pasti akan tidak nyaman. Ada baiknya aku menahan sampai kami diberikan waktu berdua saja di kamar nantinya.
“Makan ... makan, Mbak ... yuk, makan? Kayanya ada yang buru-buru mau masuk kamar!” ledek ibu mertuaku.
Segera aku menengadahkan kepala. Rasa malunya menjalar dengan hebat sampai aku tidak mampu mengelaknya sedikit pun. Mereka rupanya memandangi kami berdua yang hanya diam sejak tadi.
Maklum saja, kami tidak saling kenal, dan baru satu bulan langsung menikah. Jangankan berpacaran seperti orang kebanyakan, mengobrol saja ditemani orang tua. Aku benar-benar menghargai Ismi yang merupakan wanita solihah, Insya Allah. Karena itulah, tidak ingin aku berlama-lama mendambanya, apa lagi aku sudah siap secara mental dan batin untuk menikah.
Begitulah makan malam berakhir. Ibu dan bapak hendak berpamitan karena jam sudah menunjuk angka sepuluh malam.
Beliau tersenyum padaku dan Ismi yang berdiri bersebelahan. Dia juga menunjuk koper yang sudah dikemas oleh ibu untuk persediaan selama di rumah Ismi.
“Hm, Bapak mau ngobrol sebentar, Reza?” ucapnya saat ibu dan ibu mertuaku berjalan keluar dari rumah.
Tinggallah aku sendiri dan bapak. Ismi sudah lebih dulu masuk ke dalam untuk mempersiapkan kamar pengantin kami berdua. Sedangkan bapak Ismi menyusul istri dan besannya.
“Kenapa, Pak?” balasku.
Kutemukan raut wajah bapak berubah. Beliau seperti sedang memikirkan sesuatu hingga langsung menarik lenganku ke arahnya.
Aku diajaknya ke satu sudut ruangan yang jauh dari kamar Ismi. Dia memintaku tetap diam di sana, lalu berbicara dengan suara setengah berbisik.
“Nak ... kamu sudah menikahi Ismi, anak teman Bapak.”
“Iya, Pak!” sahutku. Sudah aku ketahui hal itu, namun kenapa Bapak masih membahasnya lagi?
“Dengar Bapak, ya? Apa pun yang terjadi di masa depan nanti, kamu harus mempertahankan pernikahanmu dengan Ismi.”
“Astagfirullah, Bapak?” Aku hampir memekik. Baru saja menikah tapi sudah diingatkan untuk tidak bercerai. Ini saja seperti baru makan tapi sudah diperintahkan berhenti.
“Ingat ini, sebelum kamu masuk ke kamar Ismi, ingat baik-baik kalau kamu sendiri yang mendesak Bapak dan ibu untuk menikahkan kalian. Jadi, bertanggungjawablah dengan keinginanmu sendiri,” pesan bapak terakhir kalinya seraya meremas pundakku.
Hal itu meninggalkan gejolak di dalam relung dada. Aku bingung, namun enggan bertanya sebab bapak langsung pergi begitu saja. Mereka berdua masih mengobrol di teras saat kuintip dari depan pintu kamar pengantinku.
“Baiklah, nanti kita pikirkan lagi ucapan Bapak, sekarang ... mari bertemu Ismi dulu,” lirihku seraya beranjak dengan perasaan berdebar.
Bab 2: Tangisan IsmiAku menekan knop pintu kamar kayu berwarna coklat kemerahan itu saat suasana rumah masih begitu meriah. Terdengar dari arah luar orang tua kami mengobrol senang hingga mereka tidak akan punya waktu menggodaku yang akan masuk ke kamar pengantin.Jujur saja, jantungku berkejaran hebat mengingat di dalam kamar ini ada Ismi yang mungkin saja menunggu diriku. Atau kabar terburuknya dia sudah tertidur di ranjang pengantin kami.Ah ... padahal aku laki-laki, tapi tetap saja tidak mampu meredam bahagiaku sendiri. Bahkan, ingin sekali kuumbar ke dunia soal Ismi yang sangat jelita dan salihah itu. Berhasil menikahinya bak memenangkan pertandingan terbesar sejagat raya.Aku yakin benar, sebelum pulang ke desa, Ismi pastilah sudah menerima banyak pinangan di usianya yang sudah dua puluh enam. Mungkin, lamaran-lamaran itu tidak ada yang bersambut karena aku belum bertemu dengannya.Wah, memikirkannya saja sudah membuatku terlalu bersemangat sampai lupa mengucapkan salam pada g
Bab 3: Mencoba MendekatAku berpikir keras sejak semalam, bahkan setelah salat subuh tenang tidak ada bersamaku. Ismi bahkan belum membalas pesan yang kukirimkan sejak semalam untuknya. Terpaksa, aku mencoba mengintip dari balik jendela, berharap ada siluet Ismi yang tercetak dari kamarnya.Nihil! Kamar Ismi gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala dan sepertinya gorden pun tertutup rapat.Aku gelisah berat, khawatir dengan kondisi Ismi- istri cantikku. Bagaimana jika kutanyakan saja pada ibu soal Ismi, sekaligus izin padanya untuk kembali ke rumah mertuaku?Tidak ingin mengulur waktu, aku turun dari ranjang. Gawai baru yang bisa dilipat itu kusembunyikan di dalam saku, harap-harap mungkin Ismi mengabari sebentar lagi.Begitu aku membuka pintu, tercium aroma pekat dari nasi goreng yang dimasak ibu. Rupanya, ibu masih melakukan hal ini meski aku sudah menikah sekalipun.“Bu?” panggilku seraya beranjak meninggalkan kamar.T-shirt baru serta celana longgar menjadi temanku hari ini. Aku
Bab 4: Upaya KeduakuSesuai dengan keinginan dari orang tua kami, aku dan Ismi kembali ke Jogja dengan mobil. Ah ya, aku belum menyebutkan soal mobil baruku, ya? Tahun lalu, aku meminang sebuah Civic putih karena saat itu belum punya keinginan untuk menikah dan seluruh uang yang kuhasilkan hanya untuk diri sendiri. Bahkan ibu dan bapak menolak menerima pemberianku dengan berbagai alasan.Akhirnya, aku memilih memboyong mobil impian itu usai cicilan rumah lunas dan surat kepemilikan berpindah tangan. Sekarang, aku sudah punya fasilitas sempurna untuk menanggung Ismi dan calon anak-anak kami nanti.Sepanjang perjalanan dari Desa Ledok Sambi menuju Kota Jogja, aku hanya berdiam diri di balik setir kemudi. Ismi juga melakukan hal yang sama, malah lebih sering melihat ke luar jendela.Beberapa kali aku melirik ke arah Ismi. Gadis itu hanya sibuk menarik jilbabnya yang terbuat dari kain halus berwarna pink hingga membalut tubuh. Dia juga tidak membiarkan embusan angin menyapu kulitnya selai
Bab 5: Keanehan pada Ismi“Weh, pengantin baru wajahnya masam !” Salah satu rekan kerjaku berteriak begitu tiba di kantor.Dia menyeret tas besarnya dengan susah payah dan meletakkannya di dekat kubikel. Setelah itu, dia menempati kursi putar yang terletak di depan mejaku. Pria gempal ini adalah salah satu karyawan yang aku bawahi langsung dalam urusan pekerjaan, namun secara usia dia jauh lebih tua.“Jadi, bagaimana malam pertamanya?” usiknya lagi meski ada karyawan perempuan di antara kami.Dia memutar kursi hingga terdengar bunyi berderit, lalu membenarkan sweeter motif kotak-kotaknya yang naik hingga ke perut. Terdengar helaan napasnya yang berat, dan dia menyeringai ke arah salah satu karyawan perempuan di kantor.“Apa kamu penasaran juga?” ucapnya tanpa mengedipkan mata.Aku memerhatikan kelakuan tidak senonohnya itu, hingga gadis yang duduk di depannya menjadi risih dan sibuk mencari cara untuk pergi. Meski demikian, pria gempal itu masih berceramah seolah dirinyalah yang pali
Bab 6: Pendapat Dokter FarahWajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya sa
Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk
Bab 8: Air Mata di Kamar KamiNuansa yang aku bangun untuk Ismi ternyata berhasil. Gadis itu seakan paham jika yang aku inginkan pagi ini adalah mengulik habis semua jarak yang masih ada di antara kami berdua, membuka tirai yang memisahkan kami dan menyelami sisa hidup dengan baik setelahnya.Kami berciuman cukup lama hingga terasa bibir istriku basah. Dia juga terengah, mungkin gagal mengatur napas atau terkejut karena serangan dari suaminya.Meski aku dan Ismi bukan orang yang ahli dalam hal ini, tetap saja dorongan perasaan kami menuntun semuanya. Perlahan-lahan, kami jadi sangat lihai, semakin romantis dan erotis.“Mari masuk, Sayang?” ajakku di antara kecupan yang tidak berhenti kulabuhkan untuk Ismi.Istriku terdiam sesaat, lagi-lagi dia ragu dengan permintaanku itu. Karena tidak ingin kehilangan momentum yang sudah sejauh ini, aku kembali mencumbu Ismi di pipi, kening bahkan kedua matanya.Ti
Bab 9: Petaka Malam Tahun BaruDesember 2021.Suara dentuman musik memekakkan telinga. Seorang gadis sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan ditemani teman perempuan dan lima laki-laki. Sebagian dari mereka memejamkan kedua mata, sibuk menikmati kesenangan dunia yang dirasa sempurna.Para perempuannya berpakaian mini, dengan hot pants dan tank top. Mereka mewarnai rambut menggunakan pewarna keras yang tidak akan luntur meski setahun berlalu. Tidak lupa, kuku dicat dengan kuteks tebal dan tidak pernah dibersihkan meski saat haid sekalipun.Para pria memakai pakaian tipis, celana jeans dan sepatu mahal. Mereka ikut menirukan gerakan dari dua perempuan di depannya tanpa jarak.Kulit mereka saling bersentuhan, tubuh mereka saling berangkulan, kadang memeluk seolah tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Salah satu perempuan dengan pakaian paling terbuka tiba-tiba menggelayut pada teman laki-lakinya. Dia tersenyum, seraya meliuk-liukkan tubuh mencoba mengundang.Hasrat
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia