Share

Bab 2: Tangisan Ismi

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 2: Tangisan Ismi

Aku menekan knop pintu kamar kayu berwarna coklat kemerahan itu saat suasana rumah masih begitu meriah. Terdengar dari arah luar orang tua kami mengobrol senang hingga mereka tidak akan punya waktu menggodaku yang akan masuk ke kamar pengantin.

Jujur saja, jantungku berkejaran hebat mengingat di dalam kamar ini ada Ismi yang mungkin saja menunggu diriku. Atau kabar terburuknya dia sudah tertidur di ranjang pengantin kami.

Ah ... padahal aku laki-laki, tapi tetap saja tidak mampu meredam bahagiaku sendiri. Bahkan, ingin sekali kuumbar ke dunia soal Ismi yang sangat jelita dan salihah itu. Berhasil menikahinya bak memenangkan pertandingan terbesar sejagat raya.

Aku yakin benar, sebelum pulang ke desa, Ismi pastilah sudah menerima banyak pinangan di usianya yang sudah dua puluh enam. Mungkin, lamaran-lamaran itu tidak ada yang bersambut karena aku belum bertemu dengannya.

Wah, memikirkannya saja sudah membuatku terlalu bersemangat sampai lupa mengucapkan salam pada gadis jelita itu. Tersadar aku sudah melangkah ke dalam ruangan yang sama dengan Ismi. Disambut angin sejuk dari pendingin udara dan kamar beraroma furniture baru.

Kutemukan wajah kaget Ismi yang sedang duduk di atas sebuah kursi bundar, dia gugup hingga tidak sengaja menyenggol botol pelembab wajahnya di atas meja rias. Bahkan bagi perempuan mana pun hal itu pasti menyakitkan jika melihat skincare tumpah tidak bisa dipakai.

“Oh? Mas ....” Ismi bersuara. Dia buru-buru bangkit dan membereskan kekacauan kecilnya.

Sedangkan aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari Ismi. Bagaimana bisa seorang perempuan secantik ini? Meski seluruh tubuhnya tertutup gamis dan jilbab panjang, aku tetap bisa melihat keindahan darinya.

“Ma-maaf, Ismi? Aku ....”

“Maaf, Mas. Kamarnya sedikit kecil,” balasnya dengan suara yang sangat pelan. Lalu, dia mengalihkan pandangannya dariku.

Saat itulah aku mengedarkan pandangan. Kamar Ismi memang berukuran lebih kecil hingga perabotan yang kuhadiahkan untuknya membuat ruang gerak Ismi jadi terbatas.

Terlalu bersemangat saat membeli perabotan kamar, aku bahkan tidak mempertimbangkan ukuran kamar Ismi. Apa lagi, ibu dan bapak langsung setuju saat kutunjuk satu set perabotan minimalis berwarna putih.

“Tidak masalah, Ismi.”

Lalu, kami berdua kembali hening. Gadisku memalingkan muka setelah melirik sejenak. Dia memilin jemarinya, dan tidak berhenti menoleh ke segala arah.

Aku ikut melakukan hal yang sama. Melirik jendela yang ditutupi gorden abu-abu, atau rak gawang yang berisi jilbab dan beberapa tas Ismi. Tidak lupa ke arah meja riasnya yang dipenuhi oleh berbagai jenis skincare. Ya, wajar saja jika kulitnya sebening kristal. Orang tuanya pasti memberikan yang terbaik untuk anak tunggal mereka itu.

Jadi, aku tidak boleh kalah sama sekali. Jangan sampai keindahan Ismi memudar setelah menikah denganku.

“A-apa makanannya enak?” tanya Ismi yang mengusir keheningan di antara kami berdua.

Gadisku beranjak menuju ranjang. Dia duduk di tepinya seraya menekuk wajah ke arah lemari. Melihatnya begitu, aku tersenyum hingga dua lesung pipiku menyala terang. Ismi pasti begitu malu karena harus berbagi ruangan dengan seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu.

“Iya, Ismi yang masak?” sahutku seraya beranjak menuju ranjang.

Aku mencoba mengikis jarak dengan Ismi demi mencairkan suasana. Perlahan, aku menempati sisi ranjang bersama Ismi, dan langsung menatap lemari agar kecanggungan tidak merajalela di antara kami berdua.

Tidak pernah pacaran, tidak terlalu dekat dengan perempuan dan selalu sibuk belajar lalu bekerja, aku hampir tidak punya pengalaman soal makhluk Allah yang ini. Tapi, bukankah ini adalah hadiah dari semua kesabaran itu? Aku menikahi gadis yang salihah dan cantik seperti Ismi.

“Berdua dengan ibu.”

“Ismi pandai masak, ya? Cantik juga!” pujiku seraya menyembunyikan senyum.

Ismi tersipu di sebelahku. Dia langsung memalingkan muka hingga tidak ada lagi obrolan selanjutnya di antara kami. Sepertinya, peluruku terlalu tajam sampai target tidak lagi mampu berkutik.

“A-apa sebaiknya ....”

“Mas, maaf, apa bisa tolong ambilkan guling di lemari paling atas, hanya ada satu di sini,” ujarnya tiba-tiba.

Ismi menunjuk ke arah lemari. Wajahnya yang cantik itu tersiram lampu hingga terlihat berkilauan. Sejenak aku terpaku, gagal mengontrol diri hingga hanya duduk memandangi Ismi. Berulang kali di dalam hati aku mengucap syukur karena berhasil mempersunting bidadari di dunia ini.

“Mas?” panggilnya lagi.

Kurasakan desir darah menyebar deras, sebagiannya menembus sampai ke otak. Berkat Ismi, aku tersadar meski kini dilingkupi rasa malu yang teramat dalam. Istriku pasti melihat bagaimana konyolnya diriku.

“Iya, sebentar.” Sembari mengusap wajah, aku beranjak dari ranjang demi memenuhi permintaan kecil dari sang gadis pujaan.

Meski susah payah karena tingginya lemari atas, aku berhasil menurunkan satu buah guling yang ternyata disusul bed cover. Aku berbalik demi menghindari benda besar itu, namun tubuhku yang terkejut tidak cukup kuat menahan bebannya hingga akhirnya terjatuh dan menabrak Ismi.

Tidak kusangka, malam pertama kami akan sekacau ini. Aku menindih Ismi dan mungkin juga menyakitinya.

“Aaarrgghh!” Kudengar Ismi memekik.

Tiba-tiba saja dia mendorong diriku dan langsung beringsut naik ke ranjang. Ismi menangis, menjerit, bahkan meminta pertolongan dari orang tuanya sendiri.

Saat aku hendak menanyai kondisinya, Ismi mengamuk. Dia melempariku dengan bantal lalu mendekap dirinya di sudut ranjang sendirian seperti ketakutan. Tangannya bergetar, Ismi tidak bisa berhenti menangis, dia juga memohon pengampunan dan meminta agar waktu diulur lebih dulu.

Semua itu terjadi dengan begitu cepat hingga aku terperangah dibuatnya. Ismi tiba-tiba saja berubah panik seperti kerasukan. Dia juga menolak untuk dibantu olehku dan terus menangis sembari meminta maaf padaku.

“Ismi?” Aku memanggil namanya.

Setiap kali hendak mendekat, Ismi mengangkat tangannya seolah sedang menghalangi hadirku. Dia meringis, menangis, dan memelas agar aku tetap berada di jarak yang aman dengannya.

Diambang kebingungan itulah, orang tua kami berdua melesak masuk. Mungkin mereka mendengar teriakan Ismi dan tangisnya di malam yang harusnya romantis ini.

“Astagfirullah!” Ibuku menjerit. Sedang ibu mertuaku langsung berlari dengan selembar selimut yang diambilnya dari ranjang kami.

Ismi dibalut olehnya. Dia segera memeluk Ismi dan terus menenangkan sang putri.

Aku terdiam menyaksikan itu semua. Malam pertama yang kukira akan berjalan manis ini, tiba-tiba saja berubah menjadi petaka yang dahsyat.

Hatiku bak disayat-sayat kala menemukan Ismi menolak hadirku. Dia meminta pada orang tuanya agar aku keluar untuk sementara waktu. Dia butuh sendiri dan menenangkan diri.

“Reza, mari keluar dulu, biar ....”

“Tidak, Bu! Aku akan menemani Ismi,” sahutku lantang.

Aku tidak ingin melangkah meski hanya setapak saja. Ismi adalah istriku, tanggung jawab yang sudah kuikrarkan di depan Allah Taala, lantas di mana letak berhaknya mereka memintaku keluar dari sini?

“Jangan keras kepala, Reza!” Ibu meneriakiku. Alhasil, aku yang selama ini tidak pernah mendengar suaranya melengking itu terkejut.

Kepalaku berpikir dengan cepat, jika ini berarti bukan hal sederhana. Ada sesuatu yang mungkin mereka rahasiakan dariku.

“Keluar sebentar, Reza ... Ismi hanya terkejut denganmu.” Begitulah Ibu Mertuaku membujuk.

Terpaksa aku menurut, terlebih ibu menarik perlahan dengan tangan lemahnya. Akhirnya, aku berada di luar kamar Ismi setelah bersamanya kurang dari satu jam.

Pintu kamar Ismi kembali ditutup rapat oleh Bapak Mertuaku, dan hanya terdengar tangisan Ismi yang mulai mereda perlahan. Sedang aku mencoba untuk memahami apa yang terjadi.

“Jangan terburu-buru, Ismi tidak terbiasa, Za!” Ibu menegurku lagi.

Kupandangi beliau, aku yakin benar ada sesuatu yang sebenarnya ditahan olehnya. “Bu ....”

“Malam ini, tidurlah di rumah, ya? Beri Ismi waktu untuk terbiasa dengan status barunya,” bujuknya lagi.

Kedua kalinya ibu menyeretku pulang. Dia membawa paksa meski sebenarnya aku tidak rela berpisah dengan Ismi.

Tapi, demi kebaikan Ismi dan kesehatannya, aku menurut. Kupandangi sekali lagi pintu kamar istriku, sepertinya tidak akan mudah. Pasti ada alasan kenapa Ismi jadi seperti ini.

--

Malam menggelap saat kutemukan hadirmu

Kau berdiri di peraduan, menatap ke arahku

Cantik, namun hanya bisa kugapai dalam angan

Sebab itulah, kuputuskan untuk terus tidur, berharap bangunku ada bersamamu

-@Bemine_3897

Bab terkait

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 3: Mencoba Mendekat  

    Bab 3: Mencoba MendekatAku berpikir keras sejak semalam, bahkan setelah salat subuh tenang tidak ada bersamaku. Ismi bahkan belum membalas pesan yang kukirimkan sejak semalam untuknya. Terpaksa, aku mencoba mengintip dari balik jendela, berharap ada siluet Ismi yang tercetak dari kamarnya.Nihil! Kamar Ismi gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala dan sepertinya gorden pun tertutup rapat.Aku gelisah berat, khawatir dengan kondisi Ismi- istri cantikku. Bagaimana jika kutanyakan saja pada ibu soal Ismi, sekaligus izin padanya untuk kembali ke rumah mertuaku?Tidak ingin mengulur waktu, aku turun dari ranjang. Gawai baru yang bisa dilipat itu kusembunyikan di dalam saku, harap-harap mungkin Ismi mengabari sebentar lagi.Begitu aku membuka pintu, tercium aroma pekat dari nasi goreng yang dimasak ibu. Rupanya, ibu masih melakukan hal ini meski aku sudah menikah sekalipun.“Bu?” panggilku seraya beranjak meninggalkan kamar.T-shirt baru serta celana longgar menjadi temanku hari ini. Aku

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 4: Upaya Keduaku

    Bab 4: Upaya KeduakuSesuai dengan keinginan dari orang tua kami, aku dan Ismi kembali ke Jogja dengan mobil. Ah ya, aku belum menyebutkan soal mobil baruku, ya? Tahun lalu, aku meminang sebuah Civic putih karena saat itu belum punya keinginan untuk menikah dan seluruh uang yang kuhasilkan hanya untuk diri sendiri. Bahkan ibu dan bapak menolak menerima pemberianku dengan berbagai alasan.Akhirnya, aku memilih memboyong mobil impian itu usai cicilan rumah lunas dan surat kepemilikan berpindah tangan. Sekarang, aku sudah punya fasilitas sempurna untuk menanggung Ismi dan calon anak-anak kami nanti.Sepanjang perjalanan dari Desa Ledok Sambi menuju Kota Jogja, aku hanya berdiam diri di balik setir kemudi. Ismi juga melakukan hal yang sama, malah lebih sering melihat ke luar jendela.Beberapa kali aku melirik ke arah Ismi. Gadis itu hanya sibuk menarik jilbabnya yang terbuat dari kain halus berwarna pink hingga membalut tubuh. Dia juga tidak membiarkan embusan angin menyapu kulitnya selai

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 5: Keanehan pada Ismi

    Bab 5: Keanehan pada Ismi“Weh, pengantin baru wajahnya masam !” Salah satu rekan kerjaku berteriak begitu tiba di kantor.Dia menyeret tas besarnya dengan susah payah dan meletakkannya di dekat kubikel. Setelah itu, dia menempati kursi putar yang terletak di depan mejaku. Pria gempal ini adalah salah satu karyawan yang aku bawahi langsung dalam urusan pekerjaan, namun secara usia dia jauh lebih tua.“Jadi, bagaimana malam pertamanya?” usiknya lagi meski ada karyawan perempuan di antara kami.Dia memutar kursi hingga terdengar bunyi berderit, lalu membenarkan sweeter motif kotak-kotaknya yang naik hingga ke perut. Terdengar helaan napasnya yang berat, dan dia menyeringai ke arah salah satu karyawan perempuan di kantor.“Apa kamu penasaran juga?” ucapnya tanpa mengedipkan mata.Aku memerhatikan kelakuan tidak senonohnya itu, hingga gadis yang duduk di depannya menjadi risih dan sibuk mencari cara untuk pergi. Meski demikian, pria gempal itu masih berceramah seolah dirinyalah yang pali

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 6: Pendapat Dokter Farah

    Bab 6: Pendapat Dokter FarahWajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya sa

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 7: Sebuah Pagi Bersama Ismi

    Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 8: Air Mata di Kamar Kami

    Bab 8: Air Mata di Kamar KamiNuansa yang aku bangun untuk Ismi ternyata berhasil. Gadis itu seakan paham jika yang aku inginkan pagi ini adalah mengulik habis semua jarak yang masih ada di antara kami berdua, membuka tirai yang memisahkan kami dan menyelami sisa hidup dengan baik setelahnya.Kami berciuman cukup lama hingga terasa bibir istriku basah. Dia juga terengah, mungkin gagal mengatur napas atau terkejut karena serangan dari suaminya.Meski aku dan Ismi bukan orang yang ahli dalam hal ini, tetap saja dorongan perasaan kami menuntun semuanya. Perlahan-lahan, kami jadi sangat lihai, semakin romantis dan erotis.“Mari masuk, Sayang?” ajakku di antara kecupan yang tidak berhenti kulabuhkan untuk Ismi.Istriku terdiam sesaat, lagi-lagi dia ragu dengan permintaanku itu. Karena tidak ingin kehilangan momentum yang sudah sejauh ini, aku kembali mencumbu Ismi di pipi, kening bahkan kedua matanya.Ti

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 9: Petaka Malam Tahun Baru

    Bab 9: Petaka Malam Tahun BaruDesember 2021.Suara dentuman musik memekakkan telinga. Seorang gadis sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan ditemani teman perempuan dan lima laki-laki. Sebagian dari mereka memejamkan kedua mata, sibuk menikmati kesenangan dunia yang dirasa sempurna.Para perempuannya berpakaian mini, dengan hot pants dan tank top. Mereka mewarnai rambut menggunakan pewarna keras yang tidak akan luntur meski setahun berlalu. Tidak lupa, kuku dicat dengan kuteks tebal dan tidak pernah dibersihkan meski saat haid sekalipun.Para pria memakai pakaian tipis, celana jeans dan sepatu mahal. Mereka ikut menirukan gerakan dari dua perempuan di depannya tanpa jarak.Kulit mereka saling bersentuhan, tubuh mereka saling berangkulan, kadang memeluk seolah tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Salah satu perempuan dengan pakaian paling terbuka tiba-tiba menggelayut pada teman laki-lakinya. Dia tersenyum, seraya meliuk-liukkan tubuh mencoba mengundang.Hasrat

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 10: Di Ambang Hubungan  

    Bab 10: Di Ambang Hubungan“Aku bangun entah berapa lama setelah pingsan karena mabuk berat, dan kudapati lima laki-laki itu duduk mengelilingiku di atas ranjang, Mas. Mereka sudah melucuti pakaianku, kedua tanganku diikat ke ranjang ... dan ....”Ismi berhenti bercerita. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu tangisnya pecah kembali, jauh lebih keras dan pedih dibanding sebelumnya. Seolah kejadian itu baru saja terjadi sesaat lalu, bukannya berbulan-bulan yang lalu.“Mereka menyekapku di sana sampai satu hari. Aku diperlakukan seperti seorang budak, ba-bahkan lebih hina dari itu sampai rasanya ingin mati saja. Orang tuaku berhasil menyelamatkan setelah mereka menelantarkanku di sana, Mas.”Aku menghela napas, lantas memukuli dada hingga terasa sakit. Hancur sudah harapanku pada Ismi, remuk sudah impian rumah tangga bahagia bersamanya.Gadis yang kunikahi telah bernoda,

Bab terbaru

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)

    Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 37: Pengakuan

    “Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 36: Jogja Lagi

    Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami Berdua

    Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 34: Seranjang Lagi

    Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 33: Ho-ney-moon

    Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 32: Momen di Pesawat

    Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 31: Kejutan

    Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair

    Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia

DMCA.com Protection Status