Bab 6: Pendapat Dokter Farah
Wajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.
Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?
“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.
Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.
“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.
Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.
Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya satu atau dua bulan, tapi untuk selamanya. Sebab itulah, aku ingin yang terbaik, ditambah lagi aku ini laki-laki sehat secara fisik dan batin. Tentu saja aku ingin menunaikan ibadah lengkap dalam pernikahan, termasuk melahirkan anak dan merawatnya bersama Ismi.
“Kasihan sekali kamu, Za!” Farah meledek. Dia memutar bola matanya di depanku, kemudian menyembunyikan senyum dengan jemari lentiknya.
Kesal! Tapi aku tidak bisa mengelak dari itu semua. Nyatanya memang sepahit ini.
“Kamu senang melihatku frustrasi?” balasku tidak tahan.
Pertemanan kami selama ini memang sudah sampai ditahap saling meledek begini. Namun, aku selalu membangun dinding dengan Farah agar tidak ada yang akan terluka. Bagaimanapun, di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, tidak ada pertemanan utuh tanpa rasa.
“Oke, maaf. Hanya saja lucu sekali melihatmu begini. Kamu yang dari dulu paling anti dengan perempuan, menjaga jarak dan selalu salat itu tiba-tiba saja terusik karena hal begini!”
“Tidak ada yang mulus di dunia ini, Farah. Kita itu hanya ....”
“Oke, stop sampai di situ dan jangan ceramah. Aku baru saja memesan makan siang untuk dinikmati, rasanya akan hambar kalau mendengarmu mengomel!” sahut Farah.
Aku menghela napas mendengarnya bicara begitu. Ya, ini salah satu alasan kenapa Farah tidak pernah masuk ke dalam daftar wanita idamanku, bahkan mempertimbangkannya saja tidak.
Sejak KKN ke pelosok daerah dulu pun, Farah begini. Dia tidak agamis, suka dengan dunia malam dan sering bersenang-senang.
Berteman dengannya menyenangkan, tapi hanya sebatas itu. Aku tidak akan siap jika lebih dari ini, ada perbedaan sudut pandang yang tajam sebagai seorang muslim dan sebagainya yang tidak ingin aku jabarkan apa lagi Farah perempuan mandiri yang keras kepala. Meski demikian, aku sering diancam beberapa pria agar tidak lagi berteman dengan Farah, tujuan mereka hanya satu, agar Farah berhenti melihatku.
“Jadi, apa pendapatmu?”
Farah terdiam sejenak. Dia mengerutkan bibir, seolah sedang berpikir keras. Entah apa yang ada di dalam kepala gadis pintar ini, tapi aku yakin tidak akan jauh-jauh dari permasalahan yang sedang menimpaku.
“Sejak kapan kalian saling mengenal?” selidiknya.
Aku menghela napas di depan Farah untuk kesekian kalinya. Bukankah ini pertanyaan yang paling umum ditanyakan oleh orang-orang saat pasangan menikah? Lalu, kenapa rasanya seakan Farah menyinggung perkenalan singkat kami sebelum pernikahan?
“Lima tahun? Enam tahun? Atau dua tahun?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala. Kadang kala, hemat bicara bisa menjadi solusinya.
“Oh, hitungan bulan. Sepuluh, sembilan?”
“Satu bulan!” tangkasku secepatnya.
Lama juga Farah menyelidiki. Waktu istirahatku akan segera berakhir, jika solusinya tidak kudapatkan setelah menemui Farah maka semuanya akan sia-sia.
“What the hell, Za!” Dia berseru dan langsung menutup mulutnya.
Untuk saat ini, ingin rasanya aku menghilang saja. Respons Farah bukanlah sesuatu yang bisa kuterima dengan lapang dada, apa lagi saat kami di tempat umum begini.
“Kalau begitu, permasalahannya itu ada di kamu. Lakukan pendekatan dulu dengan istrimu, Za ... tidak bisa asal coblos seperti inginmu. Mau pilih presiden saja kita juga harus tahu detailnya, siapa dia, latar belakang, jejak karier dan ....”
“Dalam Islam, pernikahan itu dianjurkan disegerakan kalau sudah cocok, Farah. Aku menikahi perempuan yang lahir dari keluarga baik-baik. Mereka adalah teman baik dari orang tuaku, mereka sudah berteman sejak sebelum menikah, lalu apa lagi yang harus aku ragukan?” jelasku pada Farah.
“Oke, aku paham dengan konsep ini. Tapi, apa kamu sudah cukup mengenalnya dan dia sudah cukup mengenalmu? Bagaimana kalau ternyata dia terpaksa menerima pinanganmu karena orang tuanya? Saranku, jangan terburu-buru lagi, Za. Satu minggu ini, berikan dia waktu untuk mengenal siapa dirimu!” ucapnya lagi.
Kuanggukkan kepala. Mungkin Farah benar, aku terlalu terburu-buru dan belum melakukan pendekatan dengan Ismi.
“Bayangkan saja, apa kamu bersedia telanjang di depan orang yang baru kamu kenal walaupun itu suamimu sendiri?” ucapnya lagi dengan intonasi yang lumayan tinggi.
Aku segera membelalak, Farah benar-benar tidak sadar jika sedang bicara. Harusnya, aku datang ke kantornya saja untuk konsultasi secara resmi dan bukannya di luar begini.
“Pikirkan saja coba, Za. Kacau sekali kamu ini!”
“Oke, sudah. Jadi ... aku harus mendekat dan ....” Aku menatap Farah sembari menjelaskan hal yang harus aku lakukan dengan kedua tangan.
“Ya, begitulah. Pulang dari sini, mampirlah ke toko kue, belikan dia kue-kue cantik dan hadiahkan dia perhiasan selain mahar yang kamu berikan. Perempuan itu senang diperhatikan, Za!” tambahnya.
Wajahku jadi semringah usai mendengar ucapan dari Farah. Ternyata, perempuan itu hanya bisa dipahami oleh sesama perempuan saja. Pria sepertiku atau siapa pun di luar sana akan kesulitan menerjemahkan isi hati perempuan.
Sepertinya, keputusanku untuk berbicara dengan Farah adalah hal yang tepat meski sempat ragu di awal. Sekarang, aku jadi lega. Mungkin Ismi memang belum percaya denganku sepenuhnya hingga sering ketakutan saat kami bersentuhan.
“Oke, aku yang traktir. Biaya konsulnya aku transfer ke rekeningmu. Nomornya masih sama, kan?” sahutku pada Farah.
Gadis itu malah menyunggingkan bibir. Dia berdecak kesal. “Sombong sekali kamu, Za! Sebentar lagi gajiku juga akan lebih tinggi dari kamu.”
“Loh? Bukannya aku sedang konsul?”
“Kalau untuk kamu, selalu ada diskonnya.”
Aku tersenyum mendengar Farah. Gadis itu bangkit lebih dulu dan menuju kasir. Kami berdua batal makan, Farah memilih membungkus pesanannya dan aku akan jajan di luar sembari balik ke kantor.
Saat tiba di parkiran, aku menawarkannya tumpangan, namun Farah mengaku lebih senang jalan kaki ke rumah sakit. Seharian duduk di kursi putarnya membuat kedua kakinya lemas hingga butuh banyak gerak.
Kuiyakan saja maunya, lagi pula aku tidak ingin berbagi mobil yang sama lagi dengan gadis lain setelah menikahi Ismi. Hanya untuk basa-basi, syukurlah Farah menolak.
Begitu kami akan berpisah, sempat aku berhenti dan melirik ke arah Farah. Sepertinya, ada sesuatu yang belum diungkapkan oleh gadis itu padaku.
“Yakin tidak ada lagi yang ingin kamu katakan?”
“Yap, apa kamu masih punya pertanyaan?” balasnya.
Sebenarnya, iya. Aku punya banyak hal yang masih mengganggu, tapi cukup satu saja sekarang. “Hm, selain belum kenal, lebih spesifik saja, kira-kira apa penyebab lain yang membuat seorang gadis aneh di kamar namun normal saat beraktifitas?”
“Apa?” Farah cukup terkejut.
“Ya, begitulah!” Aku menunggu dengan sabar, meski sebenarnya dadaku mulai bergemuruh gelisah.
“Aku tidak yakin karena tidak memeriksa istrimu secara langsung. Tapi, ada hal lain yang sering kudengar dari teman-temanku di bidang forensik, kekerasan seksual salah satu penyebab perempuan ketakutan berhadapan dengan laki-laki, apa lagi di ruangan yang tertutup. Hal itu akan membuat mereka mengingat kejahatan yang mereka alami. Soal istrimu, aku yakin hanya karena perkenalan kalian yang terlalu singkat, jadi tidak perlu khawatir!” bujuknya meski sekarang aku kesulitan mengontrol degub jantungku sendiri.
Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk
Bab 8: Air Mata di Kamar KamiNuansa yang aku bangun untuk Ismi ternyata berhasil. Gadis itu seakan paham jika yang aku inginkan pagi ini adalah mengulik habis semua jarak yang masih ada di antara kami berdua, membuka tirai yang memisahkan kami dan menyelami sisa hidup dengan baik setelahnya.Kami berciuman cukup lama hingga terasa bibir istriku basah. Dia juga terengah, mungkin gagal mengatur napas atau terkejut karena serangan dari suaminya.Meski aku dan Ismi bukan orang yang ahli dalam hal ini, tetap saja dorongan perasaan kami menuntun semuanya. Perlahan-lahan, kami jadi sangat lihai, semakin romantis dan erotis.“Mari masuk, Sayang?” ajakku di antara kecupan yang tidak berhenti kulabuhkan untuk Ismi.Istriku terdiam sesaat, lagi-lagi dia ragu dengan permintaanku itu. Karena tidak ingin kehilangan momentum yang sudah sejauh ini, aku kembali mencumbu Ismi di pipi, kening bahkan kedua matanya.Ti
Bab 9: Petaka Malam Tahun BaruDesember 2021.Suara dentuman musik memekakkan telinga. Seorang gadis sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan ditemani teman perempuan dan lima laki-laki. Sebagian dari mereka memejamkan kedua mata, sibuk menikmati kesenangan dunia yang dirasa sempurna.Para perempuannya berpakaian mini, dengan hot pants dan tank top. Mereka mewarnai rambut menggunakan pewarna keras yang tidak akan luntur meski setahun berlalu. Tidak lupa, kuku dicat dengan kuteks tebal dan tidak pernah dibersihkan meski saat haid sekalipun.Para pria memakai pakaian tipis, celana jeans dan sepatu mahal. Mereka ikut menirukan gerakan dari dua perempuan di depannya tanpa jarak.Kulit mereka saling bersentuhan, tubuh mereka saling berangkulan, kadang memeluk seolah tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Salah satu perempuan dengan pakaian paling terbuka tiba-tiba menggelayut pada teman laki-lakinya. Dia tersenyum, seraya meliuk-liukkan tubuh mencoba mengundang.Hasrat
Bab 10: Di Ambang Hubungan“Aku bangun entah berapa lama setelah pingsan karena mabuk berat, dan kudapati lima laki-laki itu duduk mengelilingiku di atas ranjang, Mas. Mereka sudah melucuti pakaianku, kedua tanganku diikat ke ranjang ... dan ....”Ismi berhenti bercerita. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu tangisnya pecah kembali, jauh lebih keras dan pedih dibanding sebelumnya. Seolah kejadian itu baru saja terjadi sesaat lalu, bukannya berbulan-bulan yang lalu.“Mereka menyekapku di sana sampai satu hari. Aku diperlakukan seperti seorang budak, ba-bahkan lebih hina dari itu sampai rasanya ingin mati saja. Orang tuaku berhasil menyelamatkan setelah mereka menelantarkanku di sana, Mas.”Aku menghela napas, lantas memukuli dada hingga terasa sakit. Hancur sudah harapanku pada Ismi, remuk sudah impian rumah tangga bahagia bersamanya.Gadis yang kunikahi telah bernoda,
Bab 11: Yang TerlukaAku berpikir sejenak seraya mengemudikan mobil Civic di sepanjang jalan. Tujuanku memburam, dari awal ingin ke kantor, malah beralih ke sebuah rumah sakit yang sering kukunjungi.Tidak sadar, aku memarkir mobil di antara beberapa unit mobil lainnya di rumah sakit itu. Sembari merenung, aku merebahkan dahi di atas setir kemudi. Berat sekali, pikiranku hancur berantakan, perasaanku remuk tidak karuan.Selama ini, aku tidak pernah merasakan patah hati, putus cinta atau terluka karena seorang wanita. Sekarang, kutahu alasan kenapa teman-temanku seperti gila saat mereka harus menghadapinya.“Sialan, sakit sekali! Kenapa malah jadi begini, sih?” Aku mengumpat seraya memukul setir berulang kali.Tiba-tiba saja sirene peringatan menderu keras. Mobilku meraung-raung, lampu sorot berkedip tanpa henti seolah sedang diculik, mungkin kaget dengan perlakuan kasar dariku barusan.“Ah, si
Bab 12: Ismi dan AkuPagi itu, aku pulang dengan wajah muram ke rumah. Sembari menghela napas untuk kesekian kalinya, pintu depan aku dorong perlahan.Begitu daun pintu membuka, kutemukan kehadiran perempuan itu di belakangnya. Dia menatap dengan sorot mata yang penuh arti, seolah sedang memohon agar aku memahami apa yang terjadi dengannya.Kuabaikan Ismi tanpa sepatah kata dengan berlalu melewati perempuan itu. Mendadak saja, seluruh tubuhku merinding dibuatnya.Aku langsung membayangkan apa yang terjadi dengan Ismi sebelum bertemu denganku, serta setiap lapisan kejadian yang bahkan tidak kuketahui detailnya. “Mas?” Dia memanggil pelan.Dari suaranya saja, aku paham benar jika Ismi ketakutan. Lekuk nada bicaranya menunjukkan kekhawatiran yang teramat dalam.“Jangan memaksaku bicara, Ismi!” balasku dengan intonasi teramat ketus.Ismi yang pagi ini memakai gamis panjang berwarna hi
Bab 13: Kondisi Orangtua dan Mertuaku“Pokoknya, ke sini dulu, Mas! Susah jelasinnya dari telepon.” Pria itu menggerutu di seberang sana.Dari intonasi bicaranya saja aku tahu satu hal; keadaan sangatlah buruk. Orangtuaku, mobil dan kondisi mereka, apa yang sebenarnya terjadi?Kupalingkan wajah ke arah Ismi. Perempuan itu menunggu dengan sabar penjelasan dariku.Tapi, hanya satu kalimat yang terucap pagi itu untuknya, “Bersiap sekarang, aku tunggu di mobil lima menit lagi, Ismi. Kita harus ke rumah sakit.”Ekspresi Ismi tepat seperti yang aku duga. Dia memelotot pertanda terkejut, namun baiknya Ismi, dia tidak lagi menuntut penjelasan dariku, melainkan langsung berlari ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.Gamis panjangnya yang menutup tubuh itu menggelepar, menimbulkan bunyi kepakan seperti sayap burung. Beberapa bulan setelahnya, baru kutahu jika pakaian panjang itu disebut kaftan.
Bab 14: Bapak dan Ibu Mertua Pergi Pukul 08.30 pagi.Hujan turun dengan derasnya di Desa Ledok Sambi saat kami mengantarkan jenazah ibu dan ayah mertuaku ke peristirahatan terakhir mereka. Pesan terakhir yang diikrarkan pada orangtuaku adalah agar mereka tetap bersama di desa itu.Seolah bisa melihat masa depan, mereka mengobrol perihal hari tua yang akan dihabiskan bersama sebelum berangkat ke Jogja dengan mobil. Juga, berwasiat agar tetap diperistirahatkan di Desa Ledok Sambi suatu hari nanti.Aku menggenggam erat tangan ibu yang melemah di sisi pembaringan ibu mertua. Baru saja mereka hidup bahagia dan berkumpul setelah sekian lama, kini kembali berpisah, untuk selamanya.“Ya Allah, Mbak ....”Jerit tangis itu menggema di bawah guyuran hujan. Dua liang lahat terbuka lebar, jasad ibu dan ayah mertuaku dibaringkan di dalamnya. Diantar oleh isak tangis dari para kerabat dan keluarg
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia