Bab 5: Keanehan pada Ismi
“Weh, pengantin baru wajahnya masam !” Salah satu rekan kerjaku berteriak begitu tiba di kantor.
Dia menyeret tas besarnya dengan susah payah dan meletakkannya di dekat kubikel. Setelah itu, dia menempati kursi putar yang terletak di depan mejaku. Pria gempal ini adalah salah satu karyawan yang aku bawahi langsung dalam urusan pekerjaan, namun secara usia dia jauh lebih tua.
“Jadi, bagaimana malam pertamanya?” usiknya lagi meski ada karyawan perempuan di antara kami.
Dia memutar kursi hingga terdengar bunyi berderit, lalu membenarkan sweeter motif kotak-kotaknya yang naik hingga ke perut. Terdengar helaan napasnya yang berat, dan dia menyeringai ke arah salah satu karyawan perempuan di kantor.
“Apa kamu penasaran juga?” ucapnya tanpa mengedipkan mata.
Aku memerhatikan kelakuan tidak senonohnya itu, hingga gadis yang duduk di depannya menjadi risih dan sibuk mencari cara untuk pergi. Meski demikian, pria gempal itu masih berceramah seolah dirinyalah yang paling benar.
“Antarkan berkas ini ke Kepala Tim Desain, jika mereka meminta penjelasan maka mereka harus menghubungi aku secara langsung!” perintahku seraya menyerahkan sebuah bundel tebal yang sudah aku periksa sejak kemarin.
Gadis dengan rok selutut itu terlihat bahagia. Dia langsung mengambil bundel, lalu berlari meninggalkan meja kubikelnya dan pria gempal si pengganggu.
“Ah, Za ... kamu merusak kesenanganku!” protesnya. Suaranya meninggi sampai mengusik ketenangan di ruangan kami. Pria itu, selalu saja membuat masalah setiap kali mulutnya terbuka.
“Diamlah, aku tidak sedang baik-baik saja! Bicara sekali lagi akan aku depak kamu dari tim ini. Jangan kira aku tidak tahu soal kerjaanmu yang tidak becus itu!” tekanku seraya memelototi pria itu.
Sejak semalam, duniaku serasa bagaikan dibalik setelah Ismi menolakku sekali lagi. Seakan, kelelakianku tergerus dan tidak ada lagi yang tersisa.
Apa masalahnya? Apa yang membuat Ismi begitu terganggu saat diriku menyentuhnya?
Semalaman aku mencoba mengajak Ismi berbicara. Meski dia sudah melepas selimut, tetap saja bibirnya bak terlakban hingga tidak ada kalimat yang keluar darinya.
“Ismi?” Aku memanggil namanya berulang kali seraya menatapnya dalam. “Maafkan aku kalau aku menyakitimu.”
Nihil tetap saja. Aku frustrasi dibuatnya. “Apa aku harus keluar dulu, Ismi?”
Gadis itu menggelengkan kepala. Dirinya masih meneteskan air mata namun tetap belum mampu bicara.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ismi?” Kuremas seprei di ranjang, kepalaku bak ditusuk paku ratusan kali.
Di saat begini, apa yang seharusnya aku lakukan? Apa yang diperbuat oleh orang tua Ismi saat putri mereka ketakutan?
“Katakan, apa yang harus aku lakukan untuk bisa menenangkanmu?” tambahku sekali lagi.
Aku menatap Ismi yang masih memeluk kedua lututnya. Dia memilih untuk menekuk wajah dibanding memberiku jawaban yang bisa menyelesaikan permasalahan di antara kami.
Saat ini, aku frustrasi. Ismi dan hal yang terjadi padanya sangat di luar nalarku. Dia seperti ketakutan padahal kami sudah mulai bercumbu, Ismi mendadak menjerit padahal tidak ada sesuatu yang mengganggu.
“Kalau aku boleh tahu, apa yang kamu rasakan, Ismi?” bujukku lagi. Kali ini, aku mencoba untuk mendekat dengannya.
Perlahan-lahan, aku meraih kedua tangan Ismi dan mendekapnya sangat erat. Rupanya kulit tangannya terasa dingin seperti bongkahan es batu. Hal yang membuatku mengira jika Ismi sudah tidak bernyawa.
“Katakan, katakan padaku, aku ini suamimu, Ismi. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menyakitimu,” rayuku lagi.
Ismi malah menggelengkan kepala. Dia menarik tangannya dan kembali ke posisi semula, malah lebih parah.
Pelan-pelan, Ismi merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia meringkuk dan menangis kembali di sana sampai aku tidak berani mengusiknya. Aku gagal menghibur Ismi, gagal membuat Ismi bahagia dan membuka dirinya.
Tapi tunggu, aku teringat sesuatu. Malam itu orang tua Ismi seolah sudah terbiasa melihat putrinya menderita. Mereka bergegas memeluk dan menenangkan, seolah itu bukan kali pertamanya. Padahal, jelas ada buktinya jika Ismi belum pernah menikah sama sekali. Jadi, tidak mungkin ada kejadian bersama pria lain selain aku.
Lantas, dari mana datangnya hal itu?
Aku meremas rambut di balik kubikel. Pekerjaanku menumpuk karena sebentar lagi kami akan merilis aplikasi baru untuk android dan IOS. Atasanku juga merongrong siang dan malam agar deadlinenya dipercepat.
Sedangkan saat ini, menatap layar komputer saja aku muak. Pikiranku pulang ke rumah, tempat di mana Ismi berada.
Sedang apa dia di sana? Apa dia sudah sehat dan beraktifitas kembali?
Ah, kacau sekali. Dibanding bekerja, aku memilih untuk memainkan gawai tanpa henti. Layar berandanya adalah foto pernikahan kami berdua. Ismi terlihat cantik dengan gaun pengantinnya dan riasan tipis, sedangkan aku tidak bisa menyembunyikan senyum.
Lalu, kenapa sekarang jauh berbeda? Padahal pernikahan kami belum juga satu minggu.
“Apa aku hubungi saja Ismi? Tadi pagi dia terlihat sehat dan sudah sanggup menyiapkan sarapan,” lirihku sendirian.
Namun, di saat yang bersamaan pula aku merasa terlalu memaksa Ismi. Belum lama dia terluka karena aku mencoba melewati malam manis itu, kemudian dia mengalami hal yang sama beberapa malam setelahnya. Bukankah aku terlalu tidak sabar dengan Ismi?
Lagi dan lagi, aku berdebat sendirian dalam diam. Di sekitarku, para karyawan mulai memenuhi kubikel. Mereka sibuk menuliskan kode-kode di layar komputer tanpa berbicara, sampai salah satu atasanku berseru dari ruangannya, “Za, masuk sebentar!”
Lekas aku beranjak. Sempat kulirik gawai sebelum menyimpannya di saku jeans, rupanya pesan dari dokter perempuan sekaligus teman baikku. Isinya sama dengan teman-teman yang lain, yaitu ucapan selamat atas pernikahanku dengan Ismi.
“Ah ... bagaimana kalau aku berkonsultasi sebentar dengannya?” Aku membatin, kemudian benar-benar berjalan ke ruangan pria berkepala plontos yang senang memakai kaos polos itu.
--
Jam makan siang aku memilih untuk menghabiskannya dengan membuat janji temu. Teman baik yang kukenal sejak lama itu adalah seorang dokter kandungan yang mahir. Dia peramah dan cukup terkenal di antara para wanita.
Janji itu kami rencanakan di restoran terdekat dengan rumah sakitnya. Dia bersedia bertemu setelah sedikit menggoda soal istriku yang akan cemburu andai dia tahu.
Kuyakinkan perempuan bernama Farah itu, kalau pertemuan ini hanya untuk sedikit mengobrol. Jika memang dia keberatan, maka Farah boleh mengajak temannya untuk menemani kami.
Dan sekarang, aku muncul di restoran glamour yang disebut oleh Farah. Rupanya, restoran ini berada di dekat rumah sakit dan cukup populer bahkan di antara para rekan kerjaku.
Aku masuk ke dalam dan langsung menyisir pandangan. Rupanya Farah sudah tiba, dia duduk di salah satu meja tengah sendirian, lengkap dengan jas dokter putihnya.
“Hai, Za?” panggilnya seraya mengayunkan tangan.
Kuurai senyum mendapati Farah. Tidak butuh waktu lama, aku sudah duduk di kursi yang berlawanan dengannya. “Ah, sudah lama?”
Farah melengkungkan bibir, dia menatap diriku dari ujung kepala hingga ke dada. “Basa-basinya cukup sampai di situ saja. Katakan, apa yang membuatmu ingin menemuiku saat kamu sudah menikah?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Jangan basa-basi, Za. Aku kenal kamu, tidak mungkin kamu akan menyia-nyiakan waktu hanya untuk mengobrol. Jelaskan apa yang terjadi!”
“Ah, oke. Kamu masih saja teliti,” balasku lagi. Memang beginilah watak Farah, dia sangat terus terang dan tidak suka keragu-raguan apa lagi basa-basi semata.
“Hm, jadi?”
“Jadi, aku punya masalah, Farah. Soal istriku itu, kami punya sedikit kendala!” ucapku padanya.
Wajah Farah langsung mengerut. Seketika dia memicingkan mata, mungkin sedang mencari tahu apa arti dari kalimatku barusan.
Mungkin, aku salah jika bercerita soal hubungan kami, tapi hanya Farahlah teman sekaligus dokter yang kupercayai untuk urusan ini. Farah pandai menutup mulut, lihai mengelak dan cerdik dalam berkata. Aku yakin, dengannya ini akan tetap jadi rahasia.
“Namanya Ismi, dia ... sulit untuk ....”
--
Apa kamu tahu kenapa aku memilihmu?
Dengarkan!
Sebab bersamamu, badai bagaikan pelangi
Saat denganmu, pelangi terasa badai
Sederhananya, duniaku dibolak-balikkan oleh cintamu.
-@bemine_3897
Bab 6: Pendapat Dokter FarahWajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya sa
Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk
Bab 8: Air Mata di Kamar KamiNuansa yang aku bangun untuk Ismi ternyata berhasil. Gadis itu seakan paham jika yang aku inginkan pagi ini adalah mengulik habis semua jarak yang masih ada di antara kami berdua, membuka tirai yang memisahkan kami dan menyelami sisa hidup dengan baik setelahnya.Kami berciuman cukup lama hingga terasa bibir istriku basah. Dia juga terengah, mungkin gagal mengatur napas atau terkejut karena serangan dari suaminya.Meski aku dan Ismi bukan orang yang ahli dalam hal ini, tetap saja dorongan perasaan kami menuntun semuanya. Perlahan-lahan, kami jadi sangat lihai, semakin romantis dan erotis.“Mari masuk, Sayang?” ajakku di antara kecupan yang tidak berhenti kulabuhkan untuk Ismi.Istriku terdiam sesaat, lagi-lagi dia ragu dengan permintaanku itu. Karena tidak ingin kehilangan momentum yang sudah sejauh ini, aku kembali mencumbu Ismi di pipi, kening bahkan kedua matanya.Ti
Bab 9: Petaka Malam Tahun BaruDesember 2021.Suara dentuman musik memekakkan telinga. Seorang gadis sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan ditemani teman perempuan dan lima laki-laki. Sebagian dari mereka memejamkan kedua mata, sibuk menikmati kesenangan dunia yang dirasa sempurna.Para perempuannya berpakaian mini, dengan hot pants dan tank top. Mereka mewarnai rambut menggunakan pewarna keras yang tidak akan luntur meski setahun berlalu. Tidak lupa, kuku dicat dengan kuteks tebal dan tidak pernah dibersihkan meski saat haid sekalipun.Para pria memakai pakaian tipis, celana jeans dan sepatu mahal. Mereka ikut menirukan gerakan dari dua perempuan di depannya tanpa jarak.Kulit mereka saling bersentuhan, tubuh mereka saling berangkulan, kadang memeluk seolah tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Salah satu perempuan dengan pakaian paling terbuka tiba-tiba menggelayut pada teman laki-lakinya. Dia tersenyum, seraya meliuk-liukkan tubuh mencoba mengundang.Hasrat
Bab 10: Di Ambang Hubungan“Aku bangun entah berapa lama setelah pingsan karena mabuk berat, dan kudapati lima laki-laki itu duduk mengelilingiku di atas ranjang, Mas. Mereka sudah melucuti pakaianku, kedua tanganku diikat ke ranjang ... dan ....”Ismi berhenti bercerita. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu tangisnya pecah kembali, jauh lebih keras dan pedih dibanding sebelumnya. Seolah kejadian itu baru saja terjadi sesaat lalu, bukannya berbulan-bulan yang lalu.“Mereka menyekapku di sana sampai satu hari. Aku diperlakukan seperti seorang budak, ba-bahkan lebih hina dari itu sampai rasanya ingin mati saja. Orang tuaku berhasil menyelamatkan setelah mereka menelantarkanku di sana, Mas.”Aku menghela napas, lantas memukuli dada hingga terasa sakit. Hancur sudah harapanku pada Ismi, remuk sudah impian rumah tangga bahagia bersamanya.Gadis yang kunikahi telah bernoda,
Bab 11: Yang TerlukaAku berpikir sejenak seraya mengemudikan mobil Civic di sepanjang jalan. Tujuanku memburam, dari awal ingin ke kantor, malah beralih ke sebuah rumah sakit yang sering kukunjungi.Tidak sadar, aku memarkir mobil di antara beberapa unit mobil lainnya di rumah sakit itu. Sembari merenung, aku merebahkan dahi di atas setir kemudi. Berat sekali, pikiranku hancur berantakan, perasaanku remuk tidak karuan.Selama ini, aku tidak pernah merasakan patah hati, putus cinta atau terluka karena seorang wanita. Sekarang, kutahu alasan kenapa teman-temanku seperti gila saat mereka harus menghadapinya.“Sialan, sakit sekali! Kenapa malah jadi begini, sih?” Aku mengumpat seraya memukul setir berulang kali.Tiba-tiba saja sirene peringatan menderu keras. Mobilku meraung-raung, lampu sorot berkedip tanpa henti seolah sedang diculik, mungkin kaget dengan perlakuan kasar dariku barusan.“Ah, si
Bab 12: Ismi dan AkuPagi itu, aku pulang dengan wajah muram ke rumah. Sembari menghela napas untuk kesekian kalinya, pintu depan aku dorong perlahan.Begitu daun pintu membuka, kutemukan kehadiran perempuan itu di belakangnya. Dia menatap dengan sorot mata yang penuh arti, seolah sedang memohon agar aku memahami apa yang terjadi dengannya.Kuabaikan Ismi tanpa sepatah kata dengan berlalu melewati perempuan itu. Mendadak saja, seluruh tubuhku merinding dibuatnya.Aku langsung membayangkan apa yang terjadi dengan Ismi sebelum bertemu denganku, serta setiap lapisan kejadian yang bahkan tidak kuketahui detailnya. “Mas?” Dia memanggil pelan.Dari suaranya saja, aku paham benar jika Ismi ketakutan. Lekuk nada bicaranya menunjukkan kekhawatiran yang teramat dalam.“Jangan memaksaku bicara, Ismi!” balasku dengan intonasi teramat ketus.Ismi yang pagi ini memakai gamis panjang berwarna hi
Bab 13: Kondisi Orangtua dan Mertuaku“Pokoknya, ke sini dulu, Mas! Susah jelasinnya dari telepon.” Pria itu menggerutu di seberang sana.Dari intonasi bicaranya saja aku tahu satu hal; keadaan sangatlah buruk. Orangtuaku, mobil dan kondisi mereka, apa yang sebenarnya terjadi?Kupalingkan wajah ke arah Ismi. Perempuan itu menunggu dengan sabar penjelasan dariku.Tapi, hanya satu kalimat yang terucap pagi itu untuknya, “Bersiap sekarang, aku tunggu di mobil lima menit lagi, Ismi. Kita harus ke rumah sakit.”Ekspresi Ismi tepat seperti yang aku duga. Dia memelotot pertanda terkejut, namun baiknya Ismi, dia tidak lagi menuntut penjelasan dariku, melainkan langsung berlari ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.Gamis panjangnya yang menutup tubuh itu menggelepar, menimbulkan bunyi kepakan seperti sayap burung. Beberapa bulan setelahnya, baru kutahu jika pakaian panjang itu disebut kaftan.
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia