Bab 4: Upaya Keduaku
Sesuai dengan keinginan dari orang tua kami, aku dan Ismi kembali ke Jogja dengan mobil. Ah ya, aku belum menyebutkan soal mobil baruku, ya? Tahun lalu, aku meminang sebuah Civic putih karena saat itu belum punya keinginan untuk menikah dan seluruh uang yang kuhasilkan hanya untuk diri sendiri. Bahkan ibu dan bapak menolak menerima pemberianku dengan berbagai alasan.
Akhirnya, aku memilih memboyong mobil impian itu usai cicilan rumah lunas dan surat kepemilikan berpindah tangan. Sekarang, aku sudah punya fasilitas sempurna untuk menanggung Ismi dan calon anak-anak kami nanti.
Sepanjang perjalanan dari Desa Ledok Sambi menuju Kota Jogja, aku hanya berdiam diri di balik setir kemudi. Ismi juga melakukan hal yang sama, malah lebih sering melihat ke luar jendela.
Beberapa kali aku melirik ke arah Ismi. Gadis itu hanya sibuk menarik jilbabnya yang terbuat dari kain halus berwarna pink hingga membalut tubuh. Dia juga tidak membiarkan embusan angin menyapu kulitnya selain wajah dan dua telapak tangan.
“Ismi, apa tidak gerah?” lirihku kemudian.
Kami sudah berjalan selama dua puluh menit, namun rasanya seperti satu jam karena tidak ada yang berbicara sama sekali. Baik aku atau Ismi, belum ada yang berinisiatif memulai obrolan, apa lagi sampai mengungkit malam pertama kami yang berantakan.
“Ismi pakai jilbab dan gamis terus, bukannya gerah, ya?” tanyaku kedua kalinya.
Padahal, ibu sendiri berpakaian seperti Ismi. Namun, aku tetap saja ingin mendengar ucapan dari bibirnya itu. Alasan kenapa dia se-salihah ini di usia yang sangat muda saat seluruh dunia sedang diserang oleh outfit trendy, kekinian dan cukup terbuka.
Benarkah ini karena ajaran dari orang tuanya semata atau dia memang melakukan semuanya atas kesadaran pribadi?
“Serasa nyaman seperti ini, Mas.” Dia menjawabku dengan suara sendu itu lagi, seolah ada sesuatu yang mendesak dada hingga terasa berat dan menggoyangkan pita suaranya.
Kutolehkan wajah ke arah Ismi, hatiku bergetar hanya dengan melihat sisi kanan wajahnya. Garis paras Ismi memesona hingga memabukkan diriku sampai aku tergugah untuk beberapa detik dan lupa jika kami sedang mengemudi.
“Mas, awas!” Dia memekik untuk kedua kalinya sejak malam itu.
Aku terkejut, langsung meluruskan pandangan. Sebuah mobil Avanza mengambil jalur kanan untuk menyalip sebuah truk dan hampir saja bertubrukan dengan Civic-ku.
Syukurnya mobil hanya oleng sedikit, tidak ada benturan apa pun termasuk kami berdua. Segera aku menepi ke bahu jalanan demi memeriksa kondisi Ismi. Aku mengkhawatirkan keadaan Ismi andai apa yang terjadi malam itu terulang kembali. Sebab, aku belum tahu benar apa pemicu kepanikan Ismi yang luar biasa serta dampak dari terjadinya hal itu.
“Maaf, Ismi?” ujarku seraya memerhatikannya. Bahkan saat aku menggenggam kedua tangannya, Ismi tidak bereaksi berlebihan. Dia terus menegaskan jika tidak ada yang terjadi pada dirinya akibat kejadian itu.
“Kita lanjut saja, Mas. Tidak apa-apa, tidak ada yang terluka,” ujarnya masih dengan intonasi yang sama.
Hal itu tentu membuatku bingung. Dia begitu tenang saat mobil kami hampir bertabrakan, namun memekik histeris begitu aku tidak sengaja menubruk dirinya.
Meski demikian, aku mencoba untuk tetap tenang dan melanjutkan sisa perjalanan kami sesuai dengan keinginan Ismi. Berulang kali aku merapal do’a agar kami tiba di rumah dalam keadaan selamat.
Tidak sabar ingin kutunjukkan pada istri cantikku itu bagaimana rumah yang sudah kulunasi dalam jangka waktu lima tahun. Meski baru tipe 80 dengan tiga kamar, tapi sudah cukup luas untukku dan keluarga kecil nantinya.
“Semoga kamu suka, Ismi?” lirihku saat kami tiba di depan rumah.
Ismi melirik bangunan yang baru saja aku sebutkan. Manik matanya tidak terlihat kagum, hal lain yang membuatku sebenarnya cukup minder. Sekilas, aku yakin benar jika kehidupan Ismi sebelum pindah ke desa jauh lebih mewah dibanding yang terlihat, karena itulah manik matanya bahkan tidak berkedip meski suaminya sudah memiliki Civic dan rumah sendiri.
Mengusir semua kenangan itu, aku langsung membuka pintu rumah. Ismi mengekor dari belakang. Telapak kakinya yang berbalut kaos kaki itu menapak di keramik rumah kami, dan dia masih sangat tenang.
“Di mana kamarnya, Mas?” tanya Ismi kembali. Dia menarik satu koper berat seorang diri meski aku berusaha untuk membantunya.
“Yang ini, Ismi. Ini kamar paling luas di rumah ini,” jelasku seraya membuka pintu kamar.
Sejenak aku diam di belakang Ismi. Apakah dia akan kecewa dengan ruangan bernuansa laki-laki itu? Tapi seluruhnya cukup bersih dan wangi, perabotannya lengkap serta tertata rapi. Saat membeli rumah ini, aku meminta bantuan temanku yang bekerja sebagai arsitek untuk mendesain ruangan.
“Bagus, Mas. Bersih juga.”
“Ah, syukurlah!” ucapku seraya mengelus dada.
Setelahnya, kami saling membantu mengisi lemari dengan pakaian Ismi. Lalu, berbelanja ke salah satu supermarket dan pasar untuk memenuhi lemari makanan dan kulkas. Semuanya aku upayakan untuk memberikan kehidupan ternyaman bagi Ismi. Semoga saja kami bisa menjalani kehidupan ini bersama. Setidaknya begitulah yang aku harapkan di awal pernikahan.
--
Malam kedua di Jogja bersama Ismi, aku mencoba untuk mendekatinya kembali setelah memastikan perasaannya baik dan tenang. Saat dia sedang duduk di meja nakasnya sembari mengusap wajah dengan berbagai skincare, aku mendatangi Ismi, menyentuh lembut pundaknya.
Kutatap pantulan wajah Ismi yang berkilauan di cermin. Satu hal yang membuatku sangat kecewa adalah Ismi tetap memakai jilbab saat tidur bersamaku.
“Apa harus pakai jilbab terus, Ismi? Inikan di kamar, hanya kamu dan aku,” lirihku seraya membangun suasana.
Ismi tidak terpengaruh meski aku mulai menyentuh kedua pundaknya. Hanya saja, dia terlihat terganggu hingga berulang kali menggoyangkan kedua bahu.
Tidak boleh terlepas, aku harus membuka pintu yang menghalangi kami berdua selama ini. Ismi adalah istriku dan sudah sewajarnya sentuhan fisik terjadi. Ditambah lagi, kami adalah pengantin baru yang seharusnya sibuk meneguk manisnya pernikahan.
Sentuhanku menjalar lebih jauh. Aku mencoba membuka hijab yang digunakan oleh Ismi, dan dirinya terlihat menyetujui. Saat helaian jilbab itu terjatuh ke lantai, aku bertatapan langsung dengan Ismi yang rupawan serta rambutnya yang hanya sepundak.
Terdiam diri ini cukup lama. Aku tidak pernah menduga jika wajah Ismi tanpa jilbab akan semenggemaskan ini. Bentuk mukanya oval kecil, dagunya lancip dan lehernya jenjang putih. Aku meneguk ludah mendapati pemandangan ini.
“Ismi?” lirihku. Gagal sudah kewarasan di dalam diriku. Rasanya ingin sekali menerkam Ismi dan membuatnya sempurna sebagai seorang istri dari Reza Suryansyah.
“Apakah kamu keberatan kalau aku ....”
Ismi tidak menjawab diriku, melainkan bergerak dari tempat duduknya. Dari sikapnya, seolah dia berkata jika dirinya setuju dengan permintaanku barusan.
Barulah, aku membawa Ismi ke ranjang yang kemarin malam kami tempati berdua. Ismi hanya tidur sembari memeluk guling dan menghadap ke arah luar ranjang, sedang diriku berusaha menahan diri untuk tidak sembarangan menyentuh Ismi.
Ismi duduk di tepian ranjang, dia diam meski aku mencoba untuk menyentuh pucuk kepalanya dan membelai setiap helaian rambut itu. Ismi memejamkan kedua matanya, namun sangat erat seperti sedang memaksa. Terlebih lagi, dua tangannya meremas gamis hingga buku jemarinya menjadi putih.
“Ismi ... apa Ismi siap dan ridha?”
Gadisku itu menganggukkan kepala, barulah aku berusaha mengangkat wajahnya dan hendak menyentuh bibir yang merekah itu. Baru saja bersentuhan, dan ingin aku melanjutkannya ke dalam percumbuan yang lebih hangat, tiba-tiba saja tubuh Ismi bergetar.
Ismi mendorong diriku dengan keras hingga kepala belakangku membentur meja riasnya. Lalu, dia menangis, berteriak seperti ketakutan. Semua yang terjadi malam itu juga terulang di kamar ini.
Bedanya, Ismi berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan membalut tubuh menggunakan selimut tebal. Dia menahan suaranya agar tidak terdengar hingga keluar kamar apa lagi sampai ke tetangga.
“Pergi ... pergi, jangan sakiti aku!” pekiknya.
Aku berusaha berdiri dan menopang tubuh yang goyah pada meja rias. Kepalaku sakit, seperti ditikam belati. Lalu, aku menatap Ismi yang bersembunyi di balik selimut. “Ismi ... istriku? Ini aku suamimu,” lirihku putus asa karena sekali lagi aku gagal membahagiakan Ismi.
--
Malam itu, aku berusaha keras memahamimu,
Namun, berulang kali gagal kulakukan hal itu.
Maaf jika cintaku menyandera bahagiamu
-@bemine_3897
Bab 5: Keanehan pada Ismi“Weh, pengantin baru wajahnya masam !” Salah satu rekan kerjaku berteriak begitu tiba di kantor.Dia menyeret tas besarnya dengan susah payah dan meletakkannya di dekat kubikel. Setelah itu, dia menempati kursi putar yang terletak di depan mejaku. Pria gempal ini adalah salah satu karyawan yang aku bawahi langsung dalam urusan pekerjaan, namun secara usia dia jauh lebih tua.“Jadi, bagaimana malam pertamanya?” usiknya lagi meski ada karyawan perempuan di antara kami.Dia memutar kursi hingga terdengar bunyi berderit, lalu membenarkan sweeter motif kotak-kotaknya yang naik hingga ke perut. Terdengar helaan napasnya yang berat, dan dia menyeringai ke arah salah satu karyawan perempuan di kantor.“Apa kamu penasaran juga?” ucapnya tanpa mengedipkan mata.Aku memerhatikan kelakuan tidak senonohnya itu, hingga gadis yang duduk di depannya menjadi risih dan sibuk mencari cara untuk pergi. Meski demikian, pria gempal itu masih berceramah seolah dirinyalah yang pali
Bab 6: Pendapat Dokter FarahWajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya sa
Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk
Bab 8: Air Mata di Kamar KamiNuansa yang aku bangun untuk Ismi ternyata berhasil. Gadis itu seakan paham jika yang aku inginkan pagi ini adalah mengulik habis semua jarak yang masih ada di antara kami berdua, membuka tirai yang memisahkan kami dan menyelami sisa hidup dengan baik setelahnya.Kami berciuman cukup lama hingga terasa bibir istriku basah. Dia juga terengah, mungkin gagal mengatur napas atau terkejut karena serangan dari suaminya.Meski aku dan Ismi bukan orang yang ahli dalam hal ini, tetap saja dorongan perasaan kami menuntun semuanya. Perlahan-lahan, kami jadi sangat lihai, semakin romantis dan erotis.“Mari masuk, Sayang?” ajakku di antara kecupan yang tidak berhenti kulabuhkan untuk Ismi.Istriku terdiam sesaat, lagi-lagi dia ragu dengan permintaanku itu. Karena tidak ingin kehilangan momentum yang sudah sejauh ini, aku kembali mencumbu Ismi di pipi, kening bahkan kedua matanya.Ti
Bab 9: Petaka Malam Tahun BaruDesember 2021.Suara dentuman musik memekakkan telinga. Seorang gadis sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan ditemani teman perempuan dan lima laki-laki. Sebagian dari mereka memejamkan kedua mata, sibuk menikmati kesenangan dunia yang dirasa sempurna.Para perempuannya berpakaian mini, dengan hot pants dan tank top. Mereka mewarnai rambut menggunakan pewarna keras yang tidak akan luntur meski setahun berlalu. Tidak lupa, kuku dicat dengan kuteks tebal dan tidak pernah dibersihkan meski saat haid sekalipun.Para pria memakai pakaian tipis, celana jeans dan sepatu mahal. Mereka ikut menirukan gerakan dari dua perempuan di depannya tanpa jarak.Kulit mereka saling bersentuhan, tubuh mereka saling berangkulan, kadang memeluk seolah tidak ada lagi rasa malu di antara mereka. Salah satu perempuan dengan pakaian paling terbuka tiba-tiba menggelayut pada teman laki-lakinya. Dia tersenyum, seraya meliuk-liukkan tubuh mencoba mengundang.Hasrat
Bab 10: Di Ambang Hubungan“Aku bangun entah berapa lama setelah pingsan karena mabuk berat, dan kudapati lima laki-laki itu duduk mengelilingiku di atas ranjang, Mas. Mereka sudah melucuti pakaianku, kedua tanganku diikat ke ranjang ... dan ....”Ismi berhenti bercerita. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu tangisnya pecah kembali, jauh lebih keras dan pedih dibanding sebelumnya. Seolah kejadian itu baru saja terjadi sesaat lalu, bukannya berbulan-bulan yang lalu.“Mereka menyekapku di sana sampai satu hari. Aku diperlakukan seperti seorang budak, ba-bahkan lebih hina dari itu sampai rasanya ingin mati saja. Orang tuaku berhasil menyelamatkan setelah mereka menelantarkanku di sana, Mas.”Aku menghela napas, lantas memukuli dada hingga terasa sakit. Hancur sudah harapanku pada Ismi, remuk sudah impian rumah tangga bahagia bersamanya.Gadis yang kunikahi telah bernoda,
Bab 11: Yang TerlukaAku berpikir sejenak seraya mengemudikan mobil Civic di sepanjang jalan. Tujuanku memburam, dari awal ingin ke kantor, malah beralih ke sebuah rumah sakit yang sering kukunjungi.Tidak sadar, aku memarkir mobil di antara beberapa unit mobil lainnya di rumah sakit itu. Sembari merenung, aku merebahkan dahi di atas setir kemudi. Berat sekali, pikiranku hancur berantakan, perasaanku remuk tidak karuan.Selama ini, aku tidak pernah merasakan patah hati, putus cinta atau terluka karena seorang wanita. Sekarang, kutahu alasan kenapa teman-temanku seperti gila saat mereka harus menghadapinya.“Sialan, sakit sekali! Kenapa malah jadi begini, sih?” Aku mengumpat seraya memukul setir berulang kali.Tiba-tiba saja sirene peringatan menderu keras. Mobilku meraung-raung, lampu sorot berkedip tanpa henti seolah sedang diculik, mungkin kaget dengan perlakuan kasar dariku barusan.“Ah, si
Bab 12: Ismi dan AkuPagi itu, aku pulang dengan wajah muram ke rumah. Sembari menghela napas untuk kesekian kalinya, pintu depan aku dorong perlahan.Begitu daun pintu membuka, kutemukan kehadiran perempuan itu di belakangnya. Dia menatap dengan sorot mata yang penuh arti, seolah sedang memohon agar aku memahami apa yang terjadi dengannya.Kuabaikan Ismi tanpa sepatah kata dengan berlalu melewati perempuan itu. Mendadak saja, seluruh tubuhku merinding dibuatnya.Aku langsung membayangkan apa yang terjadi dengan Ismi sebelum bertemu denganku, serta setiap lapisan kejadian yang bahkan tidak kuketahui detailnya. “Mas?” Dia memanggil pelan.Dari suaranya saja, aku paham benar jika Ismi ketakutan. Lekuk nada bicaranya menunjukkan kekhawatiran yang teramat dalam.“Jangan memaksaku bicara, Ismi!” balasku dengan intonasi teramat ketus.Ismi yang pagi ini memakai gamis panjang berwarna hi
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia