Tatapan Adiaz berubah ganas. Mirip rentenir ketika menagih hutang. Anton bergidik ketakutan. Tangannya bergetar, meja di hadapannya tampak ikut bergerak, karena kakinya mengetuk-ngetuk tak henti. “Kenapa? Kamu punya masalah besar, ‘kan? Sudahlah, jangan terlalu pusingkan soal haram atau tidaknya. Yang penting masalah kamu bisa selesaikan?" Kedua tangan Adiaz mencengkeram erat bahu Anton. Pria itu mati kutu, tidak bisa beranjak dan melarikan diri. “Ta–tapi, Pak … saya tidak pernah pakai yang begituan. Saya tidak mau jadi pecandu. Kalau Bapak mau menggunakannya, silakan saja. Tapi jangan ajak-ajak saya," ucapnya ragu. “Lho, kenapa? ‘Kan saya hanya memberikan kamu solusi. Bukannya memaksa, tapi coba pikirkan baik-baik. Apa salahnya mencoba? Toh kamu tetap bekerja, tapi pikirkan kamu bisa jadi lebih plong dan masa bodoh." Kali ini Adiaz berkata seraya menyodorkan benda itu lebih dekat lagi pada Anton. Kedua tangan Adiaz dihempaskan secara kasar oleh Anton. Dia sudah tak dapat lagi untu
Pikirannya mengawang pada masa lalu. Di mana dia membunuh beberapa orang tanpa menyentuh mereka. Angela menyerang sesuatu yang paling rentan dari manusia … sisi psikologis mereka! ‘Aku tidak menyesal sudah membuat orang-orang menderita. Melihat wajah mereka yang menyedihkan membuat aku jijik.’ Di dalam hati ia berkata.Merebut pasangan orang lain, membuat mereka depresi, anak-anak kehilangan sosok ayah, menjadikan mereka pecandu, dan membuangnya setelah kere. Tak sedikit seorang istri yang mengalami depresi karena ditinggalkan pasangannya. Bukan, bukan penyakit jantung atau diabetes penyebab kematian terbesar, melainkan depresi berat yang berujung kematian. Dia menyalakan rokok kedua dengan pemantik yang diambilnya dari pelanggan tadi.“Entah bagaimana juga nasib anak haram yang aku tinggalkan begitu saja. Bukannya tidak punya hati, tapi mereka merepotkan. Aku ingin bebas dan banyak uang, bukan mengurus mereka yang hanya jadi beban saja." “Iya, aku sadar diriku ini hanyalah pelarian
“Kenapa merebut milik orang lain? Jika terjadi hal yang sama padamu, kamu bisa apa? Marah? Sadar diri sedikit. Baginya, kamu bukan apa-apa. Dia hanya tertarik sebentar, setelah itu, jika melihat yang lebih, maka dia akan pergi juga darimu, sama seperti yang aku alami sekarang. Nanti, kau akan paham, bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang kita cintai, hanya karena perempuan murahan sepertimu!" “Dia memilih aku karena aku lebih cantik, seksi, dan bisa membuatnya tergila-gila. Kalian sudah berhubungan selama delapan tahun, menurutmu, kenapa dia bisa dengan cepat pindah hati padaku? Itu karena dia tidak puas dengan wanita jelek sepertimu. Baginya, sekarang kau bukanlah siapa-siapa." “Kamu tahu bagaimana selama ini aku selalu berharap bertemu dengan Adiaz!? Aku seperti gila, hidupku tak karuan. Hanya karena wanita yang haus perhatian seperti kamu." “Ngomong apa, sih, lu!?" Tubuh Angela tiba-tiba kaku. Mentari mendorongnya hingga terduduk di bangku besi. “Kenapa Angela?! Tid
Acara apa, sih, ini. Huuh ... bikin jalanan rame saja,” gerutunya.Tiba-tiba saja netranya melihat sosok Mentari berjalan sendirian di belakang iring-iringan tadi, rambutnya tergerai indah dengan hiasan bunga yang membentuk seperti mahkota, mengenakan pakaian yang sangat aneh menurut penglihatan Adiaz, Mentari seperti seorang ratu tanpa pengawalan. Parasnya sangat cantik sekali, tanpa senyuman Mentari terus berjalan anggun melewati begitu saja Adiaz yang menatapnya tanpa berkedip. Hampir saja ia menabrak seseorang. Namun, entah bagaimana tubuh orang yang akan ditabrak oleh Adiaz malah tembus dan menghilang. “Sayang, ada apa dengan hidupmu? Kenapa duniamu sekarang sangat tidak aku kenal? Kamu begitu asing bagiku. Pulanglah, Sayang, pulanglah ... aku menunggumu.”Adiaz terkejut bukan main, ia segera mengerem laju kendaraannya. Sosok Mentari tiba-tiba saja ada di sampingnya masih dengan pakaian yang ia lihat tadi. Senyumnya, tatapan matanya, semuanya. Ya, dia adalah Mentari Almeera D
“Ah, sudahlah. Lupakan saja. Yang penting sekarang, kamu sehat dulu. Jangan sakit seperti ini lagi, hanya karena—" Rani melirik wajah sahabatnya yang berubah air mukanya, “Ah, lupakan. Aku mau beli minum di kantin. Kamu tunggu sebentar, ya," pintar Rani, yang disetujui dengan anggukan Mentari. Setelah Rani pergi, gadis itu kembali merebahkan dirinya di kasur. Kepalanya mendadak sakit, dan sepertinya ia memang sering mengalaminya. Bayang-bayang akan lelaki itu … lagi-lagi menghantuinya dan berhasil membuatnya meneteskan air mata. “Adiaz, kamu pikir, kamu siapa? Berlagak seperti orang yang punya semuanya. Membuang barang lama, dan memilih yang baru tapi rusak. Menyedihkan!" gumamnya. Di balik pintu, ternyata Rani belum melangkah jauh. Dia sengaja menguping. Hingga akhirnya dirinya sadar, bahwa sahabatnya itu masih memikirkan tentang Adiaz. “Sebenarnya tadi aku mau tanya. Apakah dia masih berharap sama lelaki brengsek itu? Bahkan kemarin tersadar dari koma pun karena dengar
Sedan hitam milik Maheswara melaju dengan kecepatan sedang. Laki-laki itu mengendarai mobilnya sendiri tanpa bantuan sopir. Ia akan pergi ke rumah sakit dan menemui seorang sahabat lama yang berprofesi sebagai dokter. Tanpa membuat janji sebelumnya, ia ingin memberikan kejutan pada sahabatnya itu. Sebelumnya, ia sudah mengutus seseorang untuk mencari tahu jadwal praktiknya dan sore inilah waktunya. Jalannya dipercepat, karena mendadak sekretarisnya telepon ada beberapa berkas yang harus ia tandatangani. Tiba-tiba dari arah samping, seorang wanita di kursi roda menabraknya. Lebih tepatnya, Maheswara yang kurang hati-hati berjalan tanpa melihat sekeliling. “Hei, kamu tidak apa-apa? Maaf, saya yang tidak sengaja," ujar Maheswara khawatir, padahal sebenarnya ia sendiri yang merasakan sedikit sakit pada tungkai kakinya. Gadis di hadapannya diam terpaku. Menunduk dan tidak berbicara apa pun, lalu pergi begitu saja dengan menggowes kursi rodanya.“Lho, dia kenapa, ya? Ah, sudahlah. Mu
Jakarta, semasa Maheswara kuliah dulu, masih sedikit tenang, tanpa kepadatan jalan raya yang kini menjadi pemandangan menyebalkan setiap hari. Waktu itu, orang-orang masih menggunakan telepon rumah, atau paling tidak, mengantre di warung telepon. Selain surat, wartel adalah alternatif lain yang sering digunakan seseorang untuk bertukar kabar. Seperti saat itu, seorang pemuda yang berada dalam barisan terakhir antrean, dia menggenggam sebuah kertas yang tertulis nomor telepon kekasihnya. Lelaki itu sedang mengambil studi sarjana satu di salah satu Universitas negeri di Jakarta. Bersama kekasihnya, dia mengambil jurusan Master of Business Administration. Kakinya sudah pegal menunggu lama, tetapi jika beranjak sebentar saja untuk duduk, maka antreannya bisa diserobot oleh orang lain yang juga ingin cepat bertukar kabar dengan orang terkasih. Waktu itu, bertukar kabar menjadi hal yang sangat berharga, dan menyimpan memori indah kepada mereka yang menggunakan wartel. Beberapa saat laman
Gadis itu tertawa renyah mendengar jawaban dari Maheswara. “Justru karena penasaran, aku jadi ingin mendengarnya sendiri dari mulutmu. Lebih enak kalau bicara langsung, ‘kan?" Sedangkan Maheswara, sesaat melongo kaget. Vica mendekat ke arah Maheswara, jantung lelaki itu berdetak kencang, wajahnya memerah menahan rasa malu. “Ayo, coba katakan kamu mau menyampaikan apa? Akan aku dengarkan dengan baik." “Hahaha. Sepertinya, harus aku undur deh." Tawa sumbang dan canggung mulai terdengar. “Bagaimana kalau aku tidak kasih ‘kesempatan' lagi setelah ini?" “Eh?" “Iya, makanya bilang aja sekarang," “Itu …." Maheswara mulai menyatakan dengan perlahan mengenai perasaan yang dia pendam selama ini. Hari itu lah yang menjadi sejarah tahun barunya menjadi lebih baik dan indah untuk diingat. Dia terpana ketika Vica tersenyum manis sambil mengatakan, “Ya, ayo jadi sepasang kekasih …." ***Ketika jam di dinding kamar kos Maheswara menunjukkan pukul 23:00 WIB, ia beranjak dari ranjangnya