Gadis itu tertawa renyah mendengar jawaban dari Maheswara. “Justru karena penasaran, aku jadi ingin mendengarnya sendiri dari mulutmu. Lebih enak kalau bicara langsung, ‘kan?" Sedangkan Maheswara, sesaat melongo kaget. Vica mendekat ke arah Maheswara, jantung lelaki itu berdetak kencang, wajahnya memerah menahan rasa malu. “Ayo, coba katakan kamu mau menyampaikan apa? Akan aku dengarkan dengan baik." “Hahaha. Sepertinya, harus aku undur deh." Tawa sumbang dan canggung mulai terdengar. “Bagaimana kalau aku tidak kasih ‘kesempatan' lagi setelah ini?" “Eh?" “Iya, makanya bilang aja sekarang," “Itu …." Maheswara mulai menyatakan dengan perlahan mengenai perasaan yang dia pendam selama ini. Hari itu lah yang menjadi sejarah tahun barunya menjadi lebih baik dan indah untuk diingat. Dia terpana ketika Vica tersenyum manis sambil mengatakan, “Ya, ayo jadi sepasang kekasih …." ***Ketika jam di dinding kamar kos Maheswara menunjukkan pukul 23:00 WIB, ia beranjak dari ranjangnya
Di dalam kamarnya yang redup, Maheswara membuka album berisi foto-foto kebersamaannya bersama Vica. Hatinya kini telah membeku, sulit untuk membukanya kembali. Selama ini, ada banyak sekali wanita yang terang-terangan menyatakan cinta padanya. Namun, lelaki itu tidak pernah menjawab dengan serius. Dia trauma, tidak mau lagi berurusan dengan perihal yang namanya cinta. Bagaimana jika dia sudah bahagia untuk yang kedua kalinya, malah dipatahkan oleh situasi yang sama kelamnya? Ah tidak, Maheswara benci mengingat hal itu. Pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar, dengan sedikit malas ia bangkit dari tempat tidurnya. “Ya, ada apa, Bu Nah?” tanyanya pada ART yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. “Anu, Den. Itu ... ada tamu, Bibi udah bilang Den Mahes lagi istirahat, tapi katanya mau ketemu sebentar saja,” ucap perempuan lanjut usia yang masih terlihat segar bugar itu. “Siapa, ya? Rasanya saya gak ada janji dengan siapa pun.” Maheswara
Sekali lagi orang tua Shafira melongo kaget. Mata mereka melotot, hampir saja mencelos keluar dari tempatnya. “Lho, kenapa? Ah, bukan. Maksudnya, kalian bisa mengulangnya dari awal lagi, ‘kan?" tanya ibu Shafira. “Tidak, tidak bisa," jawab Maheswara ketus. “Nak, yang namanya cinta itu bisa datang belakangan, kalau kalian sudah menikah." “Aku tidak peduli. Jangan memaksaku untuk hal ini." Shafira berdehem memecah belah perseteruan itu. “Begini, Nak. Kami ini bukannya orang gila yang datang tanpa membawa model apa pun. Kami akan menawarkan sesuatu." Orang tua itu saling pandang penuh arti. “Aku akan jadi investor tetap di perusahaan milikmu. Bagaimana? Tawaran yang bagus bukan?" ucap Sudibyo dengan raut wajah bangga. Mendengar pernyataan Sudibyo sontak saja Maheswara tergelak, ia tertawa lepas. “Hahahaha ... kalian sedang bercanda atau bagaimana? Jelas aku tidak butuh investasi dari perusahaan kecil seperti perusahaan kalian—"“Apa maksudmu?" Wajah ayah Safira memerah padam.
Desas-desus bahwa perusahaan mainan milik Sudibyo sudah bangkrut, kini menjadi buah bibir di semua kalangan investor. Dulu, mereka mengira bahwa perusahaan itu akan berkembang pesat. Hal itu juga yang membuat kepercayaan diri mereka meningkat dan ingin menjodohkan Shafira dengan Maheswara. Adiaz menatap nanar ke arah televisi yang tidak henti-hentinya memberitakan hal tersebut. “Gawat! Selain bangkrut, orang tua sombong itu malah masuk penjara!" ‘Pemirsa, dikabarkan siang ini, bahwa pemilik perusahaan mainan ternama, terancam hukuman pidana atas dugaan penyalah gunaan narkotika ….' “Dia, ‘kan pelanggan setiaku selama ini. Aku harus bagaimana?" “Kamu sedang memikirkan apa?" Tiba-tiba Angela sudah berdiri di sampingnya. “Lihat sendiri!” Adiaz Menunjuk ke arah televisi. “Lho, kok? Aduh, kamu gimana, sih? Kalau kita ikut tertangkap gimana? Aku tidak mau hidup di penjara gara-gara kamu!" bentak Angela “Hah! Jadi
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Adiaz mendapatkan telepon dari pimpinan perusahaan yang memintanya untuk segera datang ke kantor. Di sana, dia langsung menuju ruangan pimpinan perusahaan. Ada banyak tumpukkan berkas di atas meja. Saat melihat Adiaz datang, langsung saja dia lemparkan semuanya, mengenai wajah Adiaz. “Kenapa, Bapak melakukan hal ini pada saya?" “Kenapa kamu bilang!? Kamu pikir saya enggak tahu hah?! Kamu selama ini sudah mengedarkan barang haram?! Pantas saja kinerja karyawan saya jadi lemot, jelek dan asal-asalan." “Bapak jangan menuduh saya sembarangan!" sanggah Adiaz tidak terima“Saya paling benci orang-orang seperti kamu ini. Setidaknya kalau ingin pakai narkoba, pakai saja semuanya sendiri, jangan bawa-bawa orang lain. Mau mati, ya, mati sendiri bodoh!" “Kamu saya pecat! Cepat kemas semua barang-barang kamu dari sini!" teriak sang Bos murka. “Tapi, Pak. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak akan melakukan hal yang sama, Pak. Saya mo
Pada akhirnya, hukum di negara ini memang akan selalu berjalan seperti biasa. Uang akan berbicara dan mengambil tindakan para penegak hukum yang ada di sana. Mulut mereka, serta keadilan yang seharusnya ditegakkan, mudah saja dibungkam oleh perihal yang namanya uang. miris sekali bukan? Interogasi itu tidak berjalan lama. Adiaz dibebaskan bersyarat, dia menukar kebebasannya dengan cara memberikan mobil yang baru saja dibeli sebagai penukar) kesalahannya. Lalu dirinya dan Angela hanya akan ditahan beberapa malam saja. Setelah itu, melengganglah mereka seperti tidak pernah terjadi peristiwa penangkapan itu. Adiaz, selama ditahan tidak pernah merasakan menderita baik dari segi makanan yang ia dapatkan atau pun dari masalah tempat beristirahat. Dia dan Angela mendapatkan fasilitas yang nyaman selama tiga malam ditahan. Matanya menatap nyalang ke arah orang-orang berseragam yang berdinas malam itu dan tengah menikmati makanan lezat. Dia berjanji akan membalas semua ini kepada siapa saja
Sampailah mereka di depan sebuah bangunan perkantoran yang menjulang tinggi. Mentari sendiri tidak yakin, berapa jumlah lantai bangunan di hadapannya itu. Dia berjalan masuk, sedangkan Rani pulang untuk bekerja sebagai driver taksi online. Di lantai pertama, ruangan paling ujung, harus melewati sebuah lorong panjang untuk sampai ke sana. Ada banyak calon karyawan yang datang untuk melamar. Mereka semua sedang duduk mengantre untuk mendapatkan panggilan interviu yang berlangsung dalam ruangan yang persis berada di depannya. Hati Mentari merasa tak karuan. Jantungnya berdebar-debar, bagaimana lagi? Dia kembali merekam sensasi seperti ini, bertahun-tahun lalu.“Tidak apa-apa Mentari, kamu pernah mengalaminya, setidaknya sudah ada bayangan. Bukankah semalam kau juga sudah latihan untuk tes wawancara ini!" Mentari bergumam, menyemangati diri sendiri.Tiba giliran namanya dipanggil, gadis itu segera masuk. Dia lalu duduk di sebuah kursi, berhadapan dengan penguji yang akan meloloskan at
“Kamu cari aja kosan murah yang sekiranya mampu kamu bayar. Untuk sementara waktu, kita gak usah tinggal sama-sama dulu. Biar kamu bisa cari pekerjaan yang gajinya gede." “Kamu ngomong apa, sih? Udah gini mau buang aku kaya sampah, hah?" “Kaya sampah? Lah bukannya memang sampah, ya?” jawab Angela seraya tergelak. “Dasar perempuan sialan!” teriak Adiaz kesal. Mereka saling berteriak di pinggir jalan, hingga orang-orang yang melintas, berpindah fokus pada dua orang itu. Mereka berbisik-bisik dan menertawakan keduanya seperti seorang pecundang. “Nak, kalau kamu sudah besar, jangan jadi kaya Kakak itu, ya. Hidup kamu bisa hancur," ujar salah seorang ibu pada anaknya yang baru masuk sekolah dasar. Adiaz kesal karena hal itu, namun hanya bisa diam saja menerima semua cercaan yang diberikan padanya. “Kita bisa tinggal bareng lagi kalau kamu sudah dapat pekerjaan yang layak dan untuk sementara ini, jangan pernah hubungi aku." Angela berkata seraya melangkah meninggalkan Adiaz.“Tunggu