Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Adiaz mendapatkan telepon dari pimpinan perusahaan yang memintanya untuk segera datang ke kantor. Di sana, dia langsung menuju ruangan pimpinan perusahaan. Ada banyak tumpukkan berkas di atas meja. Saat melihat Adiaz datang, langsung saja dia lemparkan semuanya, mengenai wajah Adiaz. “Kenapa, Bapak melakukan hal ini pada saya?" “Kenapa kamu bilang!? Kamu pikir saya enggak tahu hah?! Kamu selama ini sudah mengedarkan barang haram?! Pantas saja kinerja karyawan saya jadi lemot, jelek dan asal-asalan." “Bapak jangan menuduh saya sembarangan!" sanggah Adiaz tidak terima“Saya paling benci orang-orang seperti kamu ini. Setidaknya kalau ingin pakai narkoba, pakai saja semuanya sendiri, jangan bawa-bawa orang lain. Mau mati, ya, mati sendiri bodoh!" “Kamu saya pecat! Cepat kemas semua barang-barang kamu dari sini!" teriak sang Bos murka. “Tapi, Pak. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak akan melakukan hal yang sama, Pak. Saya mo
Pada akhirnya, hukum di negara ini memang akan selalu berjalan seperti biasa. Uang akan berbicara dan mengambil tindakan para penegak hukum yang ada di sana. Mulut mereka, serta keadilan yang seharusnya ditegakkan, mudah saja dibungkam oleh perihal yang namanya uang. miris sekali bukan? Interogasi itu tidak berjalan lama. Adiaz dibebaskan bersyarat, dia menukar kebebasannya dengan cara memberikan mobil yang baru saja dibeli sebagai penukar) kesalahannya. Lalu dirinya dan Angela hanya akan ditahan beberapa malam saja. Setelah itu, melengganglah mereka seperti tidak pernah terjadi peristiwa penangkapan itu. Adiaz, selama ditahan tidak pernah merasakan menderita baik dari segi makanan yang ia dapatkan atau pun dari masalah tempat beristirahat. Dia dan Angela mendapatkan fasilitas yang nyaman selama tiga malam ditahan. Matanya menatap nyalang ke arah orang-orang berseragam yang berdinas malam itu dan tengah menikmati makanan lezat. Dia berjanji akan membalas semua ini kepada siapa saja
Sampailah mereka di depan sebuah bangunan perkantoran yang menjulang tinggi. Mentari sendiri tidak yakin, berapa jumlah lantai bangunan di hadapannya itu. Dia berjalan masuk, sedangkan Rani pulang untuk bekerja sebagai driver taksi online. Di lantai pertama, ruangan paling ujung, harus melewati sebuah lorong panjang untuk sampai ke sana. Ada banyak calon karyawan yang datang untuk melamar. Mereka semua sedang duduk mengantre untuk mendapatkan panggilan interviu yang berlangsung dalam ruangan yang persis berada di depannya. Hati Mentari merasa tak karuan. Jantungnya berdebar-debar, bagaimana lagi? Dia kembali merekam sensasi seperti ini, bertahun-tahun lalu.“Tidak apa-apa Mentari, kamu pernah mengalaminya, setidaknya sudah ada bayangan. Bukankah semalam kau juga sudah latihan untuk tes wawancara ini!" Mentari bergumam, menyemangati diri sendiri.Tiba giliran namanya dipanggil, gadis itu segera masuk. Dia lalu duduk di sebuah kursi, berhadapan dengan penguji yang akan meloloskan at
“Kamu cari aja kosan murah yang sekiranya mampu kamu bayar. Untuk sementara waktu, kita gak usah tinggal sama-sama dulu. Biar kamu bisa cari pekerjaan yang gajinya gede." “Kamu ngomong apa, sih? Udah gini mau buang aku kaya sampah, hah?" “Kaya sampah? Lah bukannya memang sampah, ya?” jawab Angela seraya tergelak. “Dasar perempuan sialan!” teriak Adiaz kesal. Mereka saling berteriak di pinggir jalan, hingga orang-orang yang melintas, berpindah fokus pada dua orang itu. Mereka berbisik-bisik dan menertawakan keduanya seperti seorang pecundang. “Nak, kalau kamu sudah besar, jangan jadi kaya Kakak itu, ya. Hidup kamu bisa hancur," ujar salah seorang ibu pada anaknya yang baru masuk sekolah dasar. Adiaz kesal karena hal itu, namun hanya bisa diam saja menerima semua cercaan yang diberikan padanya. “Kita bisa tinggal bareng lagi kalau kamu sudah dapat pekerjaan yang layak dan untuk sementara ini, jangan pernah hubungi aku." Angela berkata seraya melangkah meninggalkan Adiaz.“Tunggu
Hari pertama Mentari bekerja. Dia sudah mendapatkan notif email dari perusahaan itu, beruntung namanya ada di deretan nama-nama calon karyawan yang diterima. Seperti biasa, Rani bertindak sebagai sopir pribadi. Sesampainya di kantor, para karyawan baru akan diperintah untuk berkumpul dalam satu ruangan di lantai dua, untuk mendapatkan pengarahan dan bimbingan mengenai sistematika pekerjaan mereka, juga peraturan apa saja yang berlaku. Setelah itu, mereka sudah mulai bekerja di bidang masing-masing sesuai dengan penempatan. Tiba saatnya jam makan siang, Mentari bersama staf yang lainnya hendak pergi ke kantin. Namun, langkahnya terhenti ketika seorang lelaki menghadang jalannya. “Ini sudah jam makan siang, apa kerjaan Anda tadi di dalam masih kurang? Menghadang jalan orang, kurang kerjaan banget,” ucap Mentari santai. Sementara karyawan lain, wajah mereka sudah memucat, aliran darah tampaknya tersumbat untuk beberapa saat. Salah satu teman Mentari berbisik padanya, “Tari, dia
Waktu berjalan begitu cepat, begitulah yang dirasakan oleh Mentari. Dia nyaman ketika bekerja, ada banyak sekali teman-teman baik hati yang sportif dan memberikan dukungan, serta bantuan kepadanya. Yang jadi masalah adalah saat pulang, Rani tak selalu bisa menjemputnya karena pada saat jam pulang Mentari yang tak tentu, saat itu pula Rani sedang berada jauh dari lokasi Mentari karena sedang mengantar penumpang yang mengorder taksi online-nya. Di situ kadang Mentari sering kebingungan dan merasa takut jika menggunakan taksi online sendirian, malam hari pula. “Duh, gimana, ya? Keknya aku gak berani kalo harus naik taksi online sendiri. Mana udah malam lagi.” Mentari bermonolog seraya melirik arloji di pergelangan tangannya. Dari arah belakang, tiba-tiba terdengar seseorang menyapanya. “Kenapa belum pulang, Mentari?" Mentari menoleh dan ternyata Maheswara sudah berdiri tepat di belakangnya dengan wajah datar. “Teman saya tidak bisa jemput.” “Teman atau ... “Teman. Te–man,” jelas
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07:20 WIB. Sedangkan Mentari sudah harus berada di kantor saat jam 8:15 menit. “Aduh, kenapa harus pakai acara kesiangan segala, sih?!" Sialnya, sejak tadi Rani sama sekali tidak mengangkat teleponnya. “Duh, repot juga gak ada Rani.”Segera dia berlari keluar gang untuk menghentikan taksi, tetapi sesaat kemudian ia berpikir sepertinya naik ojek online akan lebih cepat tiba. Gegas Mentari memesannya melalui aplikasi.Sementara itu di tempat lain, Maheswara kepikiran tentang apa yang disampaikan oleh orang tuanya. Semalam, orangtua Maheswara menyuruhnya untuk pulang ke rumah sejenak, dan bermalam di sana. Setelah mengantarkan Mentari, ia pun pulang ke rumah orang tuanya. Sesampainya di rumah, Maheswara langsung disambut oleh kedua orang tuanya. Namun, mereka sangat kecewa ketika Maheswara datang sendirian. “Masih senang aja datang sendirian? Apa tidak ada …." Menengok ke luar rumah, dan benar saja bahwa putranya hanya datang sendiri. “Papa k
Luka yang ditorehkan memang sangat menyakitkan sekali. Ketika dirinya sudah percaya akan mendapatkan akhir yang bahagia, Tuhan malah menghukum Maheswara dengan membawa orang yang dicintainya pergi. Dia trauma, sakit, dan tidak mau punya hubungan lagi dengan wanita mana pun.“Kalau akhirnya akan sama, untuk apa mencoba lagi …." Di ruang keluarga, Handoko–papanya Maheswara– berkata pada istrinya. “Tolong bujuk dia baik-baik. Aku berkata seperti itu untuk kebaikan dirinya sendiri. Tapi anak itu malah salah tafsir." Istrinya mengangguk paham. “Iya, aku akan coba bujuk dia." Wanita paruh baya itu menjajaki tangga untuk sampai ke lantai dua. Setelah berada tepat di depan pintu kamar Maheswara, dia mengetuknya secara perlahan. “Nak, Ibu mau bicara sebentar. Bisa kamu buka pintunya?" Terhadap wanita yang melahirkannya, Maheswara yang tidak bisa menolak, terpaksa membukakan pintu. Astuti mengajak anaknya untuk duduk di kursi yang letaknya ada di dekat jendela. “Nak, kamu jangan salah p