Sedan hitam milik Maheswara melaju dengan kecepatan sedang. Laki-laki itu mengendarai mobilnya sendiri tanpa bantuan sopir. Ia akan pergi ke rumah sakit dan menemui seorang sahabat lama yang berprofesi sebagai dokter. Tanpa membuat janji sebelumnya, ia ingin memberikan kejutan pada sahabatnya itu. Sebelumnya, ia sudah mengutus seseorang untuk mencari tahu jadwal praktiknya dan sore inilah waktunya. Jalannya dipercepat, karena mendadak sekretarisnya telepon ada beberapa berkas yang harus ia tandatangani. Tiba-tiba dari arah samping, seorang wanita di kursi roda menabraknya. Lebih tepatnya, Maheswara yang kurang hati-hati berjalan tanpa melihat sekeliling. “Hei, kamu tidak apa-apa? Maaf, saya yang tidak sengaja," ujar Maheswara khawatir, padahal sebenarnya ia sendiri yang merasakan sedikit sakit pada tungkai kakinya. Gadis di hadapannya diam terpaku. Menunduk dan tidak berbicara apa pun, lalu pergi begitu saja dengan menggowes kursi rodanya.“Lho, dia kenapa, ya? Ah, sudahlah. Mu
Jakarta, semasa Maheswara kuliah dulu, masih sedikit tenang, tanpa kepadatan jalan raya yang kini menjadi pemandangan menyebalkan setiap hari. Waktu itu, orang-orang masih menggunakan telepon rumah, atau paling tidak, mengantre di warung telepon. Selain surat, wartel adalah alternatif lain yang sering digunakan seseorang untuk bertukar kabar. Seperti saat itu, seorang pemuda yang berada dalam barisan terakhir antrean, dia menggenggam sebuah kertas yang tertulis nomor telepon kekasihnya. Lelaki itu sedang mengambil studi sarjana satu di salah satu Universitas negeri di Jakarta. Bersama kekasihnya, dia mengambil jurusan Master of Business Administration. Kakinya sudah pegal menunggu lama, tetapi jika beranjak sebentar saja untuk duduk, maka antreannya bisa diserobot oleh orang lain yang juga ingin cepat bertukar kabar dengan orang terkasih. Waktu itu, bertukar kabar menjadi hal yang sangat berharga, dan menyimpan memori indah kepada mereka yang menggunakan wartel. Beberapa saat laman
Gadis itu tertawa renyah mendengar jawaban dari Maheswara. “Justru karena penasaran, aku jadi ingin mendengarnya sendiri dari mulutmu. Lebih enak kalau bicara langsung, ‘kan?" Sedangkan Maheswara, sesaat melongo kaget. Vica mendekat ke arah Maheswara, jantung lelaki itu berdetak kencang, wajahnya memerah menahan rasa malu. “Ayo, coba katakan kamu mau menyampaikan apa? Akan aku dengarkan dengan baik." “Hahaha. Sepertinya, harus aku undur deh." Tawa sumbang dan canggung mulai terdengar. “Bagaimana kalau aku tidak kasih ‘kesempatan' lagi setelah ini?" “Eh?" “Iya, makanya bilang aja sekarang," “Itu …." Maheswara mulai menyatakan dengan perlahan mengenai perasaan yang dia pendam selama ini. Hari itu lah yang menjadi sejarah tahun barunya menjadi lebih baik dan indah untuk diingat. Dia terpana ketika Vica tersenyum manis sambil mengatakan, “Ya, ayo jadi sepasang kekasih …." ***Ketika jam di dinding kamar kos Maheswara menunjukkan pukul 23:00 WIB, ia beranjak dari ranjangnya
Di dalam kamarnya yang redup, Maheswara membuka album berisi foto-foto kebersamaannya bersama Vica. Hatinya kini telah membeku, sulit untuk membukanya kembali. Selama ini, ada banyak sekali wanita yang terang-terangan menyatakan cinta padanya. Namun, lelaki itu tidak pernah menjawab dengan serius. Dia trauma, tidak mau lagi berurusan dengan perihal yang namanya cinta. Bagaimana jika dia sudah bahagia untuk yang kedua kalinya, malah dipatahkan oleh situasi yang sama kelamnya? Ah tidak, Maheswara benci mengingat hal itu. Pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar, dengan sedikit malas ia bangkit dari tempat tidurnya. “Ya, ada apa, Bu Nah?” tanyanya pada ART yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. “Anu, Den. Itu ... ada tamu, Bibi udah bilang Den Mahes lagi istirahat, tapi katanya mau ketemu sebentar saja,” ucap perempuan lanjut usia yang masih terlihat segar bugar itu. “Siapa, ya? Rasanya saya gak ada janji dengan siapa pun.” Maheswara
Sekali lagi orang tua Shafira melongo kaget. Mata mereka melotot, hampir saja mencelos keluar dari tempatnya. “Lho, kenapa? Ah, bukan. Maksudnya, kalian bisa mengulangnya dari awal lagi, ‘kan?" tanya ibu Shafira. “Tidak, tidak bisa," jawab Maheswara ketus. “Nak, yang namanya cinta itu bisa datang belakangan, kalau kalian sudah menikah." “Aku tidak peduli. Jangan memaksaku untuk hal ini." Shafira berdehem memecah belah perseteruan itu. “Begini, Nak. Kami ini bukannya orang gila yang datang tanpa membawa model apa pun. Kami akan menawarkan sesuatu." Orang tua itu saling pandang penuh arti. “Aku akan jadi investor tetap di perusahaan milikmu. Bagaimana? Tawaran yang bagus bukan?" ucap Sudibyo dengan raut wajah bangga. Mendengar pernyataan Sudibyo sontak saja Maheswara tergelak, ia tertawa lepas. “Hahahaha ... kalian sedang bercanda atau bagaimana? Jelas aku tidak butuh investasi dari perusahaan kecil seperti perusahaan kalian—"“Apa maksudmu?" Wajah ayah Safira memerah padam.
Desas-desus bahwa perusahaan mainan milik Sudibyo sudah bangkrut, kini menjadi buah bibir di semua kalangan investor. Dulu, mereka mengira bahwa perusahaan itu akan berkembang pesat. Hal itu juga yang membuat kepercayaan diri mereka meningkat dan ingin menjodohkan Shafira dengan Maheswara. Adiaz menatap nanar ke arah televisi yang tidak henti-hentinya memberitakan hal tersebut. “Gawat! Selain bangkrut, orang tua sombong itu malah masuk penjara!" ‘Pemirsa, dikabarkan siang ini, bahwa pemilik perusahaan mainan ternama, terancam hukuman pidana atas dugaan penyalah gunaan narkotika ….' “Dia, ‘kan pelanggan setiaku selama ini. Aku harus bagaimana?" “Kamu sedang memikirkan apa?" Tiba-tiba Angela sudah berdiri di sampingnya. “Lihat sendiri!” Adiaz Menunjuk ke arah televisi. “Lho, kok? Aduh, kamu gimana, sih? Kalau kita ikut tertangkap gimana? Aku tidak mau hidup di penjara gara-gara kamu!" bentak Angela “Hah! Jadi
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Adiaz mendapatkan telepon dari pimpinan perusahaan yang memintanya untuk segera datang ke kantor. Di sana, dia langsung menuju ruangan pimpinan perusahaan. Ada banyak tumpukkan berkas di atas meja. Saat melihat Adiaz datang, langsung saja dia lemparkan semuanya, mengenai wajah Adiaz. “Kenapa, Bapak melakukan hal ini pada saya?" “Kenapa kamu bilang!? Kamu pikir saya enggak tahu hah?! Kamu selama ini sudah mengedarkan barang haram?! Pantas saja kinerja karyawan saya jadi lemot, jelek dan asal-asalan." “Bapak jangan menuduh saya sembarangan!" sanggah Adiaz tidak terima“Saya paling benci orang-orang seperti kamu ini. Setidaknya kalau ingin pakai narkoba, pakai saja semuanya sendiri, jangan bawa-bawa orang lain. Mau mati, ya, mati sendiri bodoh!" “Kamu saya pecat! Cepat kemas semua barang-barang kamu dari sini!" teriak sang Bos murka. “Tapi, Pak. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak akan melakukan hal yang sama, Pak. Saya mo
Pada akhirnya, hukum di negara ini memang akan selalu berjalan seperti biasa. Uang akan berbicara dan mengambil tindakan para penegak hukum yang ada di sana. Mulut mereka, serta keadilan yang seharusnya ditegakkan, mudah saja dibungkam oleh perihal yang namanya uang. miris sekali bukan? Interogasi itu tidak berjalan lama. Adiaz dibebaskan bersyarat, dia menukar kebebasannya dengan cara memberikan mobil yang baru saja dibeli sebagai penukar) kesalahannya. Lalu dirinya dan Angela hanya akan ditahan beberapa malam saja. Setelah itu, melengganglah mereka seperti tidak pernah terjadi peristiwa penangkapan itu. Adiaz, selama ditahan tidak pernah merasakan menderita baik dari segi makanan yang ia dapatkan atau pun dari masalah tempat beristirahat. Dia dan Angela mendapatkan fasilitas yang nyaman selama tiga malam ditahan. Matanya menatap nyalang ke arah orang-orang berseragam yang berdinas malam itu dan tengah menikmati makanan lezat. Dia berjanji akan membalas semua ini kepada siapa saja
[Aku sudah di Acclamare Coffee, kamu di mana, Yank?]Satu pesan masuk tepat saat mobil yang dikendarai Mentari memasuki kawasan tempat di mana mereka membuat janji untuk bertemu.“Tujuh menit lagi aku sampai.” Mentari mengirimkan balasan. Tempat tujuan sudah di depan mata, perempuan itu merasakan debaran di hatinya semakin tak dapat lagi terkontrol. Ia lebih memilih berdiam diri di dalam mobil seraya meredam gejolak perasaannya yang semakin tak karuan. Lima menit sudah berlalu dari waktu tujuh menit yang ia janjikan dan kini hanya tersisa dua menit saja.Dengan langkah pelan Mentari memasuki kafe. Di salah satu sudut meja, netranya menangkap satu sosok yang dulu pernah sangat merajai hatinya, mengukir mimpi, melalui hari-hari dengannya selama delapan tahun!Sampai akhirnya sesuatu yang sampai detik ini tak pernah ia mengerti pun terjadi, Adiaz berubah menjadi seorang yang asing bagi Mentari, lalu dia menghilang bak ditelan bumi.Hari ini, setelah enam tahun berlalu. Sosok itu
Setelah enam tahun ....Laki-laki itu menatap nanar sebuah foto seorang wanita cantik yang sedang tertawa bahagia memeluk erat dua anak perempuan kembar. Hatinya berdenyut sakit, seandainya ia bisa mengulang waktu, tak akan dulu ia tergoda wanita malam dan meninggalkan kekasih yang telah lama membersamainya.Dia adalah Adiaz. Kehidupannya kini telah berangsur membaik. Pada dasarnya ia memang seorang yang ulet dan pekerja keras. Setelah mengalami kehancuran hidupnya bersama Angela, ia bertekad untuk memperbaiki hidup, ia kembali meniti kariernya dari bawah dengan cara membuka usaha di bidang properti dan kini usahanya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan. ‘Maafkan aku, Mentari. Tapi sungguh aku dulu tidak bermaksud untuk meninggalkanmu. Hanya saja, aku terlanjur salah dan jauh melangkah. Bagimu, aku menghilang, aku lari dan melupakanmu. Tak apa jika kau menilai aku seperti itu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, sebenarnya ... aku sedang melindungimu, karena rasa cin
Tanpa terasa enam bulan sudah Mentari menyandang gelar sebagai Nyonya Maheswara. Maheswara memperlakukan Mentari seperti seorang Ratu. Apa pun yang dia minta, selalu dipenuhi oleh Maheswara. Mentari juga tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah, “ Aku gak mau istriku kecapean, aku menikahimu untuk menjadi istri bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih.” Itu jawaban Maheswara saat Mentari bersikukuh ingin membersihkan ruang kerja suaminya dengan alasan bosan tidak mengerjakan apa-apa. Kehidupannya kini jauh lebih bahagia daripada saat bersama dengan Adiaz. Hati Mentari sudah sepenuhnya terisi dan menerima Maheswara. Semua kisah masa lalu bersama Adiaz telah benar-benar ia ikhlaskan meski tak pernah ia melupakannya.‘Aku kehilangan seseorang sampai mengalami yang namanya depresi. Aku sempat terpuruk dan jatuh sejatuh-jatuhnya. Harga diriku sebagai perempuan yang punya komitmen, diinjak sampai tak tersisa oleh wanita murahan itu, tetapi kalau tahu akhirnya Tuhan akan memberik
[Hmm ... pokoknya, kalau kamu sudah menikah dengan saya, tidak ada namanya kerja apalagi lembur, itu tugas dan kewajiban saya. Tugasmu cukup membuat saya merasa tidak ada orang lain di dunia ini selain kita berdua.]Mentari terbelalak heran ketika membaca pesan itu. “Rasanya aku belum memberikan jawaban, tapi, kok, bicaranya seperti itu? Ah, sudahlah. Dia, ‘kan Bos, jadi bebas bicara apa saja,” Mentari terkekeh sendiri.Mentari tidak mengetikkan lagi pesan balasan, dan segera berfokus pada komputer di hadapannya. Tepat ketika jarum pendek di jam dinding mencapai angka 20:30 WIB, pekerjaannya sudah selesai. Dia meregangkan badannya yang pegal. Lalu kini dia harus menelepon Rani untuk minta dijemput. Tut!.Sambungan telepon diterima. “Halo, Ran, jadi jemput aku, ‘kan?” [Tari, aku minta maaf karena sudah janji. Tapi, benar-benar gak bisa. Adikku masuk rumah sakit.] “Rino masuk rumah sakit? Kenapa, Ran?”[Penyakit lamanya kambuh, mungkin dia kecapean. Ini lagi nunggu hasi
Ketika tiba di kantor, entah mengapa atmosfer yang terasa berbeda dari sebelumnya. Semua orang tidak lagi menyapa seperti biasa, mereka menatap Mentari lalu tersenyum sungkan, tetapi ada juga yang setelahnya terlihat kasak kusuk seperti sedang bergosip, Mentari merasa heran juga dibuatnya. Belum genap lima menit Mentari duduk di kursinya, Eva membisikan sesuatu. “Ada pesan dari Pak Bos, katanya beliau meminta laporan keuangan hari ini,” ucap Eva membuat Mentari mengerutkan kening. “Hari ini? Bukannya masih ada waktu dua hari lagi, sesuai jadwal biasanya?” Mentari dibuat bingung oleh permintaan Maheswara yang menurutnya sangat absurd sekali. “Iya, Mbak, tadi pesannya seperti itu.” “Oke deh, Mbak Eva. Terima kasih, ya, eh, ngomong-ngomong sepagi ini beliau sudah datang?” “Sudah, malah sebelum karyawan datang beliau sudah ada di kantor, gitu kabar yang aku dengar dari Pak Satpam tadi.”“Ehm, tumben. Ya sudah, aku mau kerjakan dulu sesuai yang beliau minta, thankyou, ya, Mbak.“Kare
Apanya yang mendadak? Saya kan ajak kamu pergi nanti malam, sekarang masih pagi. Seharusnya, masih ada waktu untuk dandan, kan? Walaupun tidak perlu juga tidak apa-apa,” ucapnya santai. Mentari mengusap wajahnya gusar. Lelaki ini terkenal dingin, tetapi tidak terhadap Mentari.“Maksud saya, Pak, kenapa Bapak mendadak ajak saya jalan-jalan?” “Nanti juga kamu akan tahu apa alasannya. Saya ada banyak pekerjaan, kamu juga urus saja semua tugas-tugas kamu. Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja, ya." Mentari mengerutkan kening, ‘Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja’. “Bukankah dia yang memintaku menemuinya?"Ah, dasar aneh.” Mentari menggerutu dalam hati. “Ya, sudah, kamu boleh kembali ke mejamu,” ucapnya sedikit salah tingkah. Lagi-lagi pria itu tersipu malu. Dia mengusir Mentari karena malu tidak tahu harus bereaksi seperti apa sebenarnya. Wajahnya merona, telinganya juga merah. “Mentari, kamu bisa bikin aku gila dalam sehari. Dan itu cuma karena kita mengob
Malam itu semakin larut, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, dan Adiaz tidak dapat menemukan satu orang pun yang sedang berjalan kaki. Termasuk gadis yang tadi dia serang dengan banyak pertanyaan. “Mentari? Sayang kamu di mana? Jangan sembunyi seperti itu, dong. Aku, ‘kan belum selesai bicara, Sayang?" Perlahan berjalan hingga sampai ke tengah jembatan dan melihat pantulan dirinya sendiri di dalam air. “Oh, jadi ini laki-laki jahat dan kurang ajar yang sudah menyakiti kamu? Iya, ‘kan? Kenapa dia mirip sama aku?" Kemudian lanjut tertawa-tawa sampai perutnya sakit. “Asal kamu tahu Mentari, aku sengaja tidak menghubungi kamu sekarang ini. Pasti kamu berharap kabar dari aku, ‘kan? Sayangnya, aku terlalu cinta sama kamu. Aku gak mau kamu terjerat masalah yang menimpaku karena kita kembali berhubungan …." Sudah habis minuman di botol yang dia pegang, Adiaz segera membantingnya ke batu, hingga pecah berkeping-keping. Setelah itu, dia beranjak pergi untuk kembali ke kos ny
Oke, kita ke depan temui drivernya dan bayar sesuai tarif, kamu pulang sama saya.”“Tapi, Pak–““Mentari ... saya tidak suka penolakan.”Akhirnya Mentari menuruti keinginan bosnya, malam itu ia pulang diantar oleh Maheswara, alasan mengambil dan mengembalikan jas rupanya sudah tidak akan berlaku lagi untuk ke depannya.Angin malam yang dingin membuat Mentari sedikit menggigil, Maheswara yang menyadari itu, akhirnya memutuskan untuk memberikan jaket yang ada di mobilnya. “Saya sudah pinjam jas Bapak." “Pakai saja, daripada kamu kedinginan." “Terima kasih, banyak, Pak." Setelah Mentari mengenakan jaket dari Maheswara, gadis itu terdiam begitu pun Maheswara. Keheningan itu terjadi sampai mobil berhenti di gang rumah Mentari. Mentari turun dan meminta Maheswara untuk menunggu, ia akan mengambil jas yang kemarin.“Alhamdulillah sudah kering, aku setrika dulu sebentar, deh.” Mentari berbicara sendiri. Setelah rapi, ia membawanya dengan menggunakan hangers.“Ini, Pak. Terima kasih ban
Inikah Cinta?Tiba jam makan siang. Seperti biasanya, karyawan akan sibuk untuk mengantre di kantin kantor. Tidak terkecuali dengan Mentari. “Hei, nanti malam mau party enggak guys? Paman aku baru buka klub di sini, loh. Katanya kalau aku bawa teman-teman ke sana, dikasih gratis deh." Tania, cewek seksi yang hobby clubing berkata dengan penuh semangat. Sekelompok staf wanita dan pria terlibat percakapan, sedangkan Mentari hanya terdiam menikmati makan siangnya. “Wah, Lumayan nih, gue lagi butuh hiburan. Kemarin kalah slot judi, sialan banget," sahut Puri–si tukang judi online. “Gimana guys? Kalian mau ikut gak? Setuju, ‘kan buat pergi ke sana?" tanya Tania lagi. Semuanya menjawab, “Setuju." Secara bersama-sama, kecuali Mentari. Wanita yang duduk persis di samping Mentari bertanya, “Nanti malam, kamu mau ikut juga?" Mentari menggeleng, “Enggak dulu deh, aku harus lembur." Ucapannya tidak sengaja terdengar oleh Maheswara yang kebetulan sedang melintas. “Oh. Ya udah deh, kalau k