“Ah, sudahlah. Lupakan saja. Yang penting sekarang, kamu sehat dulu. Jangan sakit seperti ini lagi, hanya karena—" Rani melirik wajah sahabatnya yang berubah air mukanya, “Ah, lupakan. Aku mau beli minum di kantin. Kamu tunggu sebentar, ya," pintar Rani, yang disetujui dengan anggukan Mentari. Setelah Rani pergi, gadis itu kembali merebahkan dirinya di kasur. Kepalanya mendadak sakit, dan sepertinya ia memang sering mengalaminya. Bayang-bayang akan lelaki itu … lagi-lagi menghantuinya dan berhasil membuatnya meneteskan air mata. “Adiaz, kamu pikir, kamu siapa? Berlagak seperti orang yang punya semuanya. Membuang barang lama, dan memilih yang baru tapi rusak. Menyedihkan!" gumamnya. Di balik pintu, ternyata Rani belum melangkah jauh. Dia sengaja menguping. Hingga akhirnya dirinya sadar, bahwa sahabatnya itu masih memikirkan tentang Adiaz. “Sebenarnya tadi aku mau tanya. Apakah dia masih berharap sama lelaki brengsek itu? Bahkan kemarin tersadar dari koma pun karena dengar
Sedan hitam milik Maheswara melaju dengan kecepatan sedang. Laki-laki itu mengendarai mobilnya sendiri tanpa bantuan sopir. Ia akan pergi ke rumah sakit dan menemui seorang sahabat lama yang berprofesi sebagai dokter. Tanpa membuat janji sebelumnya, ia ingin memberikan kejutan pada sahabatnya itu. Sebelumnya, ia sudah mengutus seseorang untuk mencari tahu jadwal praktiknya dan sore inilah waktunya. Jalannya dipercepat, karena mendadak sekretarisnya telepon ada beberapa berkas yang harus ia tandatangani. Tiba-tiba dari arah samping, seorang wanita di kursi roda menabraknya. Lebih tepatnya, Maheswara yang kurang hati-hati berjalan tanpa melihat sekeliling. “Hei, kamu tidak apa-apa? Maaf, saya yang tidak sengaja," ujar Maheswara khawatir, padahal sebenarnya ia sendiri yang merasakan sedikit sakit pada tungkai kakinya. Gadis di hadapannya diam terpaku. Menunduk dan tidak berbicara apa pun, lalu pergi begitu saja dengan menggowes kursi rodanya.“Lho, dia kenapa, ya? Ah, sudahlah. Mu
Jakarta, semasa Maheswara kuliah dulu, masih sedikit tenang, tanpa kepadatan jalan raya yang kini menjadi pemandangan menyebalkan setiap hari. Waktu itu, orang-orang masih menggunakan telepon rumah, atau paling tidak, mengantre di warung telepon. Selain surat, wartel adalah alternatif lain yang sering digunakan seseorang untuk bertukar kabar. Seperti saat itu, seorang pemuda yang berada dalam barisan terakhir antrean, dia menggenggam sebuah kertas yang tertulis nomor telepon kekasihnya. Lelaki itu sedang mengambil studi sarjana satu di salah satu Universitas negeri di Jakarta. Bersama kekasihnya, dia mengambil jurusan Master of Business Administration. Kakinya sudah pegal menunggu lama, tetapi jika beranjak sebentar saja untuk duduk, maka antreannya bisa diserobot oleh orang lain yang juga ingin cepat bertukar kabar dengan orang terkasih. Waktu itu, bertukar kabar menjadi hal yang sangat berharga, dan menyimpan memori indah kepada mereka yang menggunakan wartel. Beberapa saat laman
Gadis itu tertawa renyah mendengar jawaban dari Maheswara. “Justru karena penasaran, aku jadi ingin mendengarnya sendiri dari mulutmu. Lebih enak kalau bicara langsung, ‘kan?" Sedangkan Maheswara, sesaat melongo kaget. Vica mendekat ke arah Maheswara, jantung lelaki itu berdetak kencang, wajahnya memerah menahan rasa malu. “Ayo, coba katakan kamu mau menyampaikan apa? Akan aku dengarkan dengan baik." “Hahaha. Sepertinya, harus aku undur deh." Tawa sumbang dan canggung mulai terdengar. “Bagaimana kalau aku tidak kasih ‘kesempatan' lagi setelah ini?" “Eh?" “Iya, makanya bilang aja sekarang," “Itu …." Maheswara mulai menyatakan dengan perlahan mengenai perasaan yang dia pendam selama ini. Hari itu lah yang menjadi sejarah tahun barunya menjadi lebih baik dan indah untuk diingat. Dia terpana ketika Vica tersenyum manis sambil mengatakan, “Ya, ayo jadi sepasang kekasih …." ***Ketika jam di dinding kamar kos Maheswara menunjukkan pukul 23:00 WIB, ia beranjak dari ranjangnya
Di dalam kamarnya yang redup, Maheswara membuka album berisi foto-foto kebersamaannya bersama Vica. Hatinya kini telah membeku, sulit untuk membukanya kembali. Selama ini, ada banyak sekali wanita yang terang-terangan menyatakan cinta padanya. Namun, lelaki itu tidak pernah menjawab dengan serius. Dia trauma, tidak mau lagi berurusan dengan perihal yang namanya cinta. Bagaimana jika dia sudah bahagia untuk yang kedua kalinya, malah dipatahkan oleh situasi yang sama kelamnya? Ah tidak, Maheswara benci mengingat hal itu. Pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar, dengan sedikit malas ia bangkit dari tempat tidurnya. “Ya, ada apa, Bu Nah?” tanyanya pada ART yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya. “Anu, Den. Itu ... ada tamu, Bibi udah bilang Den Mahes lagi istirahat, tapi katanya mau ketemu sebentar saja,” ucap perempuan lanjut usia yang masih terlihat segar bugar itu. “Siapa, ya? Rasanya saya gak ada janji dengan siapa pun.” Maheswara
Sekali lagi orang tua Shafira melongo kaget. Mata mereka melotot, hampir saja mencelos keluar dari tempatnya. “Lho, kenapa? Ah, bukan. Maksudnya, kalian bisa mengulangnya dari awal lagi, ‘kan?" tanya ibu Shafira. “Tidak, tidak bisa," jawab Maheswara ketus. “Nak, yang namanya cinta itu bisa datang belakangan, kalau kalian sudah menikah." “Aku tidak peduli. Jangan memaksaku untuk hal ini." Shafira berdehem memecah belah perseteruan itu. “Begini, Nak. Kami ini bukannya orang gila yang datang tanpa membawa model apa pun. Kami akan menawarkan sesuatu." Orang tua itu saling pandang penuh arti. “Aku akan jadi investor tetap di perusahaan milikmu. Bagaimana? Tawaran yang bagus bukan?" ucap Sudibyo dengan raut wajah bangga. Mendengar pernyataan Sudibyo sontak saja Maheswara tergelak, ia tertawa lepas. “Hahahaha ... kalian sedang bercanda atau bagaimana? Jelas aku tidak butuh investasi dari perusahaan kecil seperti perusahaan kalian—"“Apa maksudmu?" Wajah ayah Safira memerah padam.
Desas-desus bahwa perusahaan mainan milik Sudibyo sudah bangkrut, kini menjadi buah bibir di semua kalangan investor. Dulu, mereka mengira bahwa perusahaan itu akan berkembang pesat. Hal itu juga yang membuat kepercayaan diri mereka meningkat dan ingin menjodohkan Shafira dengan Maheswara. Adiaz menatap nanar ke arah televisi yang tidak henti-hentinya memberitakan hal tersebut. “Gawat! Selain bangkrut, orang tua sombong itu malah masuk penjara!" ‘Pemirsa, dikabarkan siang ini, bahwa pemilik perusahaan mainan ternama, terancam hukuman pidana atas dugaan penyalah gunaan narkotika ….' “Dia, ‘kan pelanggan setiaku selama ini. Aku harus bagaimana?" “Kamu sedang memikirkan apa?" Tiba-tiba Angela sudah berdiri di sampingnya. “Lihat sendiri!” Adiaz Menunjuk ke arah televisi. “Lho, kok? Aduh, kamu gimana, sih? Kalau kita ikut tertangkap gimana? Aku tidak mau hidup di penjara gara-gara kamu!" bentak Angela “Hah! Jadi
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Adiaz mendapatkan telepon dari pimpinan perusahaan yang memintanya untuk segera datang ke kantor. Di sana, dia langsung menuju ruangan pimpinan perusahaan. Ada banyak tumpukkan berkas di atas meja. Saat melihat Adiaz datang, langsung saja dia lemparkan semuanya, mengenai wajah Adiaz. “Kenapa, Bapak melakukan hal ini pada saya?" “Kenapa kamu bilang!? Kamu pikir saya enggak tahu hah?! Kamu selama ini sudah mengedarkan barang haram?! Pantas saja kinerja karyawan saya jadi lemot, jelek dan asal-asalan." “Bapak jangan menuduh saya sembarangan!" sanggah Adiaz tidak terima“Saya paling benci orang-orang seperti kamu ini. Setidaknya kalau ingin pakai narkoba, pakai saja semuanya sendiri, jangan bawa-bawa orang lain. Mau mati, ya, mati sendiri bodoh!" “Kamu saya pecat! Cepat kemas semua barang-barang kamu dari sini!" teriak sang Bos murka. “Tapi, Pak. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak akan melakukan hal yang sama, Pak. Saya mo