Share

02 - Amarah

Caroline terbangun dua jam kemudian. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Ia melihat sebuah bangunan asing di depannya. “Di mana aku sekarang?”

Caroline merasakan seseorang menghantam lehernya. Ia kembali tidak sadarkan diri.

Keesokan harinya, Caroline terbangun di sebuah kamar mewah. Wanita itu terkejut ketika melihat pakaiannya sudah berganti.

“Astaga, apa yang sudah terjadi padaku? Di mana aku sekarang?” Caroline melompat dari kasur, mengingat-ingat kejadian semalam. “Astaga, apa mungkin aku berada di rumah rentenir tua sialan itu? Susan benar-benar menjualku!”

Caroline segera memeriksa tubuhnya. “Aku … baik-baik saja. Luka-lakuku juga sudah diobati. Siapa yang melakukannya?”

 Caroline keluar dari kamar, memaksakan diri berlari di koridor panjang, mengawasi sekeliling. “Astaga, ke mana orang-orang? Rumah ini sangat sepi.”

Caroline berlari di lorong, berusaha mengingat kejadian semalam. Dadanya mendadak sesak ketika teringat dengan pengkhianatan Ethan dan Rebecca, terutama tindakan keji Susan yang menjualnya pada seorang rentenir tua dan ancamannya yang akan menghabisi Anthony.

Caroline dengan cepat menyeka tangis. “Aku pasti akan membalas kalian semua! Aku tidak akan tinggal diam!”

Caroline tiba-tiba terjatuh di lantai. Ia meringis ketika lututnya terluka. “Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat! Aku harus segera pergi dari tempat sialan ini dan menyelamatkan ayahku dari orang-orang jahat itu.”

Caroline terus berhenti, mengendalikan napas yang terengah-engah. Ia berhenti ketika melihat seseorang yang duduk di pinggiran kolam.

Caroline mendekat dan seketika saja menahan napas ketika bertatapan dengan seorang pria. Pria itu memiliki wajah tampan, mata biru, alis tebal, dan rahang yang tegas. Sosoknya sangat tampan nyaris seperti malaikat.

“Kau sudah bangun?” tanya pria itu sembari menaiki kursi roda.

“Dia cacat,” gumam Caroline.

Caroline menggelengkan kepala berkali-kali, menepuk-nepuk pipi. “Siapa kau?”

“Aku adalah pemilik rumah ini.” Pria itu mendekati Caroline.

Caroline segera mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Ia ingin melarikan diri dari rumah ini. Akan tetapi, ia justru tidak bisa bergerak dari tempatnya. Matanya seringkali tertarik pada pria asing itu.

 “Astaga, apa yang terjadi padaku? Aku seharusnya segera lari dari rumah ini. Pria itu mungkin saja anak dari rentenir tua menyebalkan itu.”

“Aku harus pergi.” Caroline berjalan meninggalkan halaman.

“Ke mana kau akan pergi?” tanya pria itu seraya menyusul Caroline.

“Itu bukan urusanmu. Aku tidak ingin tinggal di tempat menyedihkan seperti ini, terlebih terlibat dengan pria menyebalkan sepertimu. Aku juga tidak ingin terlibat dengan pria mana pun lagi.” Caroline berdecak, mengamati pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Astaga, aku pasti sudah gila karena kejadian semalam.” Caroline menepuk dahi. Ia tiba-tiba terjatuh ketika kakinya tersandung sesuatu. “Astaga.”

Caroline terbaring di rerumputan. “Kenapa aku terus mengalami nasib sial? Apa Tuhan benar-benar membenciku?”

Caroline terdiam ketika sebuah tangan terulur ke arahnya. “Jangan menyentuhku!”

Pria itu menarik tangannya kembali. Dibandingkan meninggal Caroline, ia justru mengambil kotak obat di bawah kursi roda, lalu mengobati lutut Caroline.

“A-apa yang kau lakukan? Jangan berani menyentuhku!” ketus Caroline

Pria itu tidak menanggapi ucapan Caroline, fokus untuk mengobati luka. “Aku sudah mengobati lukamu.”

Caroline dengan cepat berdiri, menghindari menatap pria itu. Ia benar-benar terganggu dengan wajah tampannya. Ia bisa mengatakan bahwa pria itu adalah pria tertampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya, bahkan artis terkenal sekalipun kalah tampan. Satu hal yang menjadi kekurangannya adalah kecacatannya.

“Jangan berharap kalau aku akan berterima kasih padamu. Aku tidak pernah meminta tolong padamu.” Caroline menyilangkan kedua tangan di dada.

“Ya, aku juga tidak butuh ucapan terima kasihmu.” Pria itu memundurkan kursi roda, meninggalkan Caroline.  

“Tunggu!” Caroline mengejar pria itu, menahan rasa sakit di pipi. “Di mana ayahmu? Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga.”

Pria itu terus melajukan kursi rodanya.

“Aku bilang tunggu!” Caroline berdiri di depan pria itu sambil merentangkan tangan, mengendalikan napas yang terengah-engah. “Di mana ayahmu? Aku harus bertemu dengannya sekarang juga!”

 “Ayahku berada di tempat yang jauh sekarang. Kenapa kau ingin bertemu dengannya?”

“Apa maksudmu?” Caroline terkejut, menatap sinis. “Jangan membohongiku! Aku ingin bertemu dengan ayahmu sekarang juga.”

“Aku berkata jujur. Aku tinggal di rumah ini bersama asisten-asistenku.”

 “Apa yang terjadi?” Caroline bergumam, membelakangi pria itu. “Apa mungkin dua bawahan Susan membawaku ke tempat yang salah? Aku rasa itu tidak mungkin.”

Caroline berbalik. “Aku tidak mengenalmu dan tidak ingin mengenalmu. Aku sudah menjalani hari-hari yang sangat buruk, dan aku tidak ingin kau menambah daftar hal buruk yang terjadi padaku. Katakan, di mana ayahmu sekarang?”

“Aku mengatakan hal yang sebenarnya.”

Caroline mengentak rumput. “Dengarkan aku! Kekasihku berselingkuh dengan adik tiriku, dan ibu tiriku sudah menjualku pada ayahmu yang merupakan seorang rentenir gila. Ibu tiriku mengancam akan menghabisi ayahku jika aku tidak menuruti keinginannya. Dan entah bagaimana aku berada di rumah ini dan bertemu dengan pria menyebalkan sepertimu.”

“Kita baru beberapa menit bertemu. Aku juga tidak berbuat apa pun padamu. Jadi, bagaimana mungkin kau bisa memanggilku dengan sebutan pria menyebalkan?”

“Berhenti bicara!” Caroline memutar bola mata, menunggu pria itu bicara. “Kenapa kau diam saja? Kau seharus mengatakan apa yang terjadi padaku!”

“Kau memintaku untuk berhenti bicara. Kau ingat?”

“Katakan sekarang!”

“Kau tergeletak pingsan di halaman depan setelah dua orang pria menurunkanmu dari mobil. Akulah yang sudah membawamu ke dalam rumah, dan membaringkanmu di kasur. Kau sepertinya keliru mengenai—”

“Tunggu!” Caroline mundur selangkah. “Apa kau yang mengganti bajuku?”

“Tidak, asistenku yang mengganti bajumu.”

“Jangan berbohong!”

“Aku tidak berbohong. Asistenku memang mengganti bajumu.”

“Diamlah!” Caroline berdecak, menatap sinis pria itu. Ia benar-benar kesal melihat pria mana pun sekarang.

“Kau pasti kebingungan sekarang. Aku akan menjelaskan semuanya padamu setelah kita sarapan. Masuklah sekarang.” Pria itu melewati Caroline, melaju menuju dalam rumah.

“Kau tidak bisa memerintahku! Aku akan pergi dari rumah ini sekarang juga!” Caroline berjalan tergesa-gesa meski ia tidak tahu harus pergi ke mana.

“Apa kau yakin akan pergi dari rumah ini?” tanya pria bermata biru.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status