"Bibi Mirna, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Amel sambil melihat sekantong besar buah di tangan Mirna."Ibumu memanggilku untuk makan malam bersama. Kebetulan ada yang mengirimkan banyak buah ke perusahaan kami. Kami nggak bisa menghabiskan semuanya, jadi aku membawanya ke sini," jelas Mirna."Kenapa kalian berdua berdiri saja di sini? Nggak kembali ke rumah orang tuamu?" lanjut Mirna."Nggak. Bibi Mirna, kami pulang dulu." Setelah mengatakan ini, Amel meraih tangan Dimas, lalu pergi.Amel merasa sedikit panik. Dia takut Mirna akan secara tidak sengaja memberi tahu masalah ibunya yang membeli rumah."Sayang, karena kita sudah ada di dekat rumah sekarang, kenapa kita nggak sekalian pergi menemui Ayah dan Ibu?" saran Dimas.Amel menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, "Lupakan saja. Kita ke sana kapan-kapan saja. Aku agak lelah, ingin pulang, lalu istirahat."Amel berpura-pura mengantuk dan menguap."Kalau begitu, ayo pergi." Melihat ini, Dimas tidak punya pilihan selain pergi bersa
"Baiklah, Ibu mengerti. Ibu sedang mengobrol dengan Bibi Mirna. Ibu tutup dulu teleponnya," ujar Lili, lalu menutup teleponnya dengan cepat.Setelah melakukan panggilan telepon, Amel merasa sedikit lebih tenang.Setelah Amel selesai mandi, dia tiba-tiba teringat bahwa Dimas belum menyerahkan pakaian pesta yang sudah Dimas siapkan untuknya. Amel ingin bertanya, tetapi takut mengganggu pekerjaan Dimas, jadi dia berencana menunggu sampai besok pagi baru bertanya pada pria itu.Setelah mengeringkan rambutnya, Amel berbaring di tempat tidur dan segera tertidur.Dimas sibuk sampai larut malam. Dia bangun sambil mengusap keningnya yang nyeri, kemudian melihat bahwa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi.Amel mudah terbangun. Dimas khawatir akan mengganggu tidur Amel, jadi dia pun langsung pergi ke kamar tamu.Keesokan harinya.Amel bangun dan tanpa sadar menyentuh ruang kosong di sebelahnya. Kemudian, dia langsung terperanjat. Bantal di sebelahnya masih sama seperti saat dia tidur tadi mala
"Dasar anak nakal, kapan kamu akan membawa cucu menantuku pulang?" tanya Salma dengan nada marah dari ujung telepon."Nenek, aku masih terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Amel juga sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang masih belum waktunya. Aku akan membawanya bertemu dengan Nenek saat waktunya sudah tepat," jawab Dimas seraya tertawa pelan."Huh, terakhir kali kamu juga bilang seperti itu. Pada akhirnya, tetap nggak ada pergerakan. Kalau Nenek nggak meneleponmu, kamu pasti sudah lupa punya Nenek!" cerca Salma sambil mendengus dingin. Saat berbicara, dia makin marah karena cucu kesayangannya itu bahkan tidak meneleponnya untuk sekadar menyapanya."Nenek, apa yang kamu katakan? Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Cucu menantu Nenek itu masih belum mengetahui keadaan keluarga kita yang sebenarnya. Dia masih mengira aku cuma pekerja biasa. Kalau membawanya pulang secara tiba-tiba, dia pasti akan terkejut!" jelas Dimas sambil merendahkan suaranya."Baiklah, Nenek akan memberimu waktu lagi.
"Sudahlah, berhentilah memujiku, aku akan jadi sombong kalau kamu memujiku lagi," gumam Amel malu-malu."Sayang, kualitas baju ini bagus sekali. Pasti nggak murah, ya?" tanya Amel yang menarik kembali senyumannya.Dimas berhenti sejenak, kemudian menyahut, "Satu set pakaian ini harganya sekitar dua juta. Nggak terlalu mahal.""Mungkin benar kalau satu set pakaian, ditambah dengan sepatu ini harganya dua juta, tapi kalau mantel yang lebih bagus harganya nggak mungkin cuma dua juta," gumam Amel."Benar, aku kenal seorang teman. Kerabatnya sering menjual beberapa pakaian yang dibawa keluar dari pusat perbelanjaan, jadi harganya relatif lebih murah," sahut Dimas dengan cepat. Sebelum Amel sempat bertanya kenapa pakaian itu harganya murah, dia langsung menjelaskan terlebih dahulu."Ternyata begitu, karena pakaian ini memang nggak kelihatan seharga beberapa ratus ribu saja.""Sayang, jangan khawatirkan lagi tentang harga bajunya. Sebaiknya kamu pergi dan lihat dulu tas mana yang lebih cocok
"Bukankah kamu yang bilang kalau sekarang Amel menjalankan toko kue kecil-kecilan? Tapi pakaiannya terlihat mahal," bisik Cheryl yang sedang duduk di sebelah Jeny."Dilihat sekilas juga tahu kalau itu palsu," sahut Jeny dengan kesal."Amel, kamu makin cantik. Kenapa dulu aku nggak menyadarinya!" sahut seorang pria berbadan gemuk.Sebagian besar siswa di kelas Amel sekarang menjalani hidup lebih baik. Ada yang sudah menjadi bos, ada yang sudah memiliki karier yang stabil dan penghasilan tetap, hanya ada sebagian kecil dari mereka yang hidup di lapisan masyarakat terbawah. Namun, orang-orang seperti itu pada dasarnya selalu diabaikan.Jika bukan karena kegigihan Lidya, Amel juga tidak akan menghadiri reuni ini. Baginya, reuni ini juga tidak mempunyai keuntungan apa pun."Amel, apa pekerjaanmu sekarang? Pakaianmu kelihatannya nggak murah," kata Cheryl dengan sengaja sambil melihat Amel dengan tatapan mengejek.Amel menjawab dengan tenang, "Aku membuka toko kue sendiri.""Sekarang sangat s
"Ehm, kalau begitu aku yang salah dengar. Amel, aku dengar ibuku bilang kalau Bibi Lili membeli rumah?" tanya Lidya. Dia mengganti topik pembicaraan dengan cepat."Iya, sudah beli. Uang mukanya 600 juta.""Hei, nona-nona. Apa yang sedang kalian bicarakan? Kami juga mau mendengarkan!" tanya Zaki Alfred, seorang pria kaya baru yang mengenakan kalung rantai emas besar di lehernya. Dia menatap Amel dan Lidya sambil tersenyum."Bukan apa-apa, Zaki. Kalung rantai emas besarmu sangat bagus!" goda Lidya."Biasa saja," sahut Zaki sambil melambaikan tangannya, berpura-pura rendah hati."Kita sudah bertahun-tahun nggak bertemu. Sekarang kita semua berkumpul bersama lagi. Aku akan bersulang untuk kalian!" kata Richard sebagai mantan ketua kelas sambil berdiri dari duduknya."Kalau kamu nggak bisa minum alkohol, jangan ikut minum. Minum minuman ringan saja," saran Lidya pada Amel.Sejak masih kecil, Amel sudah menjadi anak yang penurut dan bijaksana. Dia tidak pernah menyentuh setetes anggur pun se
Mendengar itu, Amel merasa sedikit tidak yakin. Pakaian ini dibeli oleh Dimas dengan harga murah di pusat perbelanjaan. Dia khawatir jika pakaiannya palsu. Jika benar palsu, bukankah dia akan sangat malu ...."Aku nggak akan menyesal," sahut Amel setelah ragu-ragu sejenak dan kemudian memutuskan untuk bertaruh."Baiklah, kalau pakaianmu palsu, aku ingin tahu bagaimana kamu menghadapi mantan teman sekelasmu ini di masa depan," sahut Jeny seraya melirik Amel.Amel melepas mantelnya, lalu menyerahkannya kepada Lana. Semua orang tampak bersemangat dan menunggu untuk menonton pertunjukan ini.Lana dengan hati-hati melihat label dan posisi label pada mantel itu sambil mengerutkan keningnya.Melihat hal ini, Jeny terlihat bangga seolah dia sudah memutuskan bahwa mantel Amel itu palsu."Lana, bagaimana?" tanya Jeny dengan tidak sabar."Aku baru saja melihat dan menemukan kalau mantel ini memang asli dari LX. Kalau aku melihatnya dengan benar, mantel ini harusnya menjadi produk baru untuk musim
"Aku punya sopir, jangan sungkan. Cepat masuk dan ambil barang-barangmu. Aku akan menunggumu di garasi bawah tanah," kata Richard yang tidak memberi kesempatan pada Amel untuk menolak dan segera berjalan menuju lift secepat yang dia bisa.Amel berlari ke dalam ruangan itu, lalu berpamitan pada semua orang, "Maaf, semuanya, ada yang harus kulakukan di rumah. Aku pergi dulu. Mari kita berkumpul lagi lain kali kalau ada kesempatan.""Amel, apa yang terjadi? Biarkan aku menemanimu pulang," sahut Lidya seraya meraih lengan Amel."Nggak perlu, Lidya. Jeny, transfer biaya kompensasinya langsung ke Lidya saja," ujar Amel yang tidak lupa mengingatkan sebelum dia pergi.Jeny menggigit bibirnya erat-erat seraya menjawab, "Iya." Dia sudah tidak sombong lagi seperti sebelumnya.Amel tidak ingin semua orang tahu tentang urusan keluarganya, jadi dia tidak memberi tahu Lidya di depan semua orang.Begitu Amel meninggalkan lobi restoran, dia melihat Richard sedang bersandar di mobil dan melambaikan tang
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Amel ragu-ragu untuk beberapa saat, sebelumnya akhirnya perlahan-lahan berkata, "Sejujurnya, aku benar-benar nggak rela berpisah dari Dimas. Sejak kami menikah sampai sekarang, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Dimas adalah contoh sempurna dari suami yang baik."Semalam saat berbaring di tempat tidur, yang terlintas di benak Amel hanyalah kebaikan Dimas kepada dirinya. Amel pun menjadi tidak begitu marah lagi."Hatiku masih sangat kacau sekarang." Amel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal."Jangan khawatir. Semua pasti akan ada jalan keluarnya," bujuk Lidya sambil menepuk bahu Amel dengan lembut."Bagaimana kalau kita minum bersama malam ini, untuk menenangkan suasana hati?" usul Lidya saat melihat Amel tampak bingung dan gelisah.Sebelumnya, Amel pasti akan menolaknya. Namun, sekarang Amel langsung menyetujuinya tanpa ragu. "Oke."Dimas menghabiskan sepanjang pagi di rumah sakit. Kondisi Nenek Salma juga sudah stabil. "Ayah, Ibu, Nenek, masih ada beberapa hal yang harus
"Tentu saja, Kak Amel. Aku benar-benar ingin terus bekerja di sini," kata Clara dengan tegas. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap bekerja pada Amel."Oke." Raut wajah Amel langsung menunjukkan perasaan lega.Dimas memesan penerbangan paling awal dan bergegas pulang malam itu juga. Sesampainya di rumah sakit, Salma sudah beristirahat di bangsal."Ayah, Ibu, aku datang.""Akhirnya kamu datang juga. Nenekmu terus menyebut-nyebut namamu sepanjang malam tadi," tegur Bela.Dimas berjalan menghampiri ranjang Salma dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba saja Dimas menyadari jika neneknya benar-benar sudah sangat tua. Entah sejak kapan, rambut neneknya sudah memutih semua.Untuk sementara waktu ini, Dimas tidak memenuhi kewajibannya sebagai cucu. Dimas juga gagal membina hubungan asmaranya. Tiba-tiba saja, Dimas merasa agak sedih dan kecewa karenanya.Salma perlahan-lahan membuka matanya. Melihat Dimas, raut wajahnya tampak agak emosional."Aku sudah pulang, Nek." Dimas menggenggam erat tangan
Amel memandangi punggung kepergian Dimas. Dia merasa agak kehilangan di dalam hati. Namun, melihat Dimas yang tampak begitu cemas, Amel merasa pasti ada suatu masalah yang sangat penting.Lantaran suasana hatinya sedang buruk, Amel tidak punya keinginan untuk mengurus toko makanan penutup miliknya. Dia memutuskan untuk sementara waktu membiarkan Clara membantunya mengawasi toko. Keesokan harinya, Amel bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke toko untuk memberi penjelasan pada Clara."Tenang saja, Pak Irfan. Aku pasti akan membantu Bu Amel menjaga toko dengan baik. Aku yakin Pak Dimas dan Bu Amel pasti akan baikan nanti."Begitu memasuki pintu, Amel mendengar suara Clara. Amel pun mengerutkan kening. Dia bertanya-tanya kenapa Clara berkata seperti itu.Memikirkan kembali sikap Clara terhadap Dimas dan fakta bahwa Clara yang merupakan seorang ahli pembuat makanan penutup top, tapi bersedia merendahkan diri untuk bekerja di toko makanan penutup kecil miliknya ini, Amel pun sepertinya sudah
Amel sangat sadar diri dan tahu bahwa dia tidak layak untuk pria di depannya ini. Mungkin sekarang Dimas memiliki perasaan padanya, tetapi jika kesenjangan antara keduanya mulai ditemukan di masa depan, kemungkinan besar cinta mereka akan perlahan-lahan kandas.Dimas cukup baik, orang-orang di sekitar Dimas juga sangat baik. Amel hanya seorang wanita biasa, benar-benar tidak bisa berjalan berdampingan dengan pria itu.Saat mendengar kata cerai, Dimas langsung terbelalak kaget, lalu berkata, "Aku nggak bisa. Amel, jangan cerai, ya? Nggak peduli siapa aku, cintaku padamu nggak akan pernah berubah."Dimas menjelaskan dengan tegas kepada Amel alasan kenapa dia menyembunyikan identitasnya, tetapi Amel tampaknya tetap bertekad untuk menceraikannya."Dimas, beri aku waktu untuk menenangkan diri dulu," jawab Amel, lalu menutup pintunya lagi.Lili menepuk bahu Dimas sambil berkata, "Beri dia waktu. Bagaimanapun, ini bukan masalah sepele. Dia perlu waktu untuk menerimanya."Dimas mengangguk frus
"Kami nggak bisa menerima permintaan maaf dari seorang direktur," sahut Gibran dengan kesal.Dimas mengerutkan keningnya dan kembali menjelaskan "Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak bermaksud menyembunyikan identitasku.""Kalau begitu, beri tahu aku kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" sahut Lili dengan nada dingin.Saat menghadapi Dimas, Lili masih mengalah dan ingin memberi Dimas kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimanapun, dia masih bisa memercayai karakter Dimas.Mereka juga dapat melihat bahwa Dimas tidak memperlakukan putri mereka hanya untuk bermain-main saja."Orang yang bertanggung jawab atas cabang Grup Angkasa adalah kerabat jauh Keluarga Cahyadi. Ketika aku meninjau dana pada akhir tahun lalu, aku menemukan ada celah keuangan yang besar. Aku menyelidikinya secara pribadi dan menemukan kalau dia telah menggelapkan dana publik. Dia sering mengabaikan tugasnya dan membeli properti dalam jumlah besar. Tapi karena kurangnya bukti, aku dan asistenku menyembunyikan identitas kami
Sebagai seorang profesor, Gibran tidak pernah memperhatikan ketenaran dan kekayaan selama bertahun-tahun. Meskipun identitas asli Dimas adalah direktur Grup Angkasa, menurutnya juga tidak ada yang istimewa dengan itu."Kenapa Dimas menyembunyikan identitasnya? Mungkinkah dia sengaja melakukannya pada kita karena takut kita menginginkan uangnya?" sahut Lili dengan nada kecewa.Lili selalu merasa bahwa Dimas lumayan baik. Dia bahkan menganggap Dimas seperti putranya sendiri."Amel, karena kamu sudah memikirkannya dan memutuskan untuk menceraikannya, Ayah akan mendukung keputusanmu. Keluarga Santoso nggak peduli apakah dia direktur atau bukan," ucap Gibran. Pria itu adalah orang pertama yang mengungkapkan sikapnya."Ibu juga mendukungmu. Hal yang paling penting bagi pasangan untuk hidup bersama adalah kejujuran. Dia bahkan nggak bisa melakukan integritas paling dasar. Meskipun Keluarga Cahyadi kaya, Amel juga nggak bisa menikmatinya. Jadi, lebih baik lupakan saja," ujar Lili dengan nada k
"Aku ingin menceraikannya. Dia adalah seorang direktur Grup Angkasa, sementara aku cuma gadis biasa. Kami nggak berasal dari dunia yang sama dan nggak akan mendapatkan hasil apa pun di masa depan," tukas Amel. Ketika mengatakan itu, Amel merasa sakit yang menyesakkan datang dari hatinya.Ketika mendengar itu, Lidya langsung mengerutkan dahinya. Dia bisa melihat betapa Amel sangat mencintai Dimas."Huh ...." Lidya menghela napas panjang."Aku nggak pernah mengira bahwa hal dramatis yang ditampilkan di TV akan terjadi padaku," ujar Amel. Dia merasa sangat kecewa dengan Dimas ketika mengingat kembali berapa banyak kebohongan yang sudah dibuat pria ini untuk menipunya sejak mereka menikah."Ya, ini sudah keterlaluan. Kupikir hal semacam ini hanya ada di TV, tapi nggak disangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata," sahut Lidya dengan emosi.Setelah suasana hati Amel sedikit stabil, Lidya mengantarnya pulang ke rumah Keluarga Santoso.Saat ini, Mirna sedang berbicara dengan Lili,