"Dasar anak nakal, kapan kamu akan membawa cucu menantuku pulang?" tanya Salma dengan nada marah dari ujung telepon."Nenek, aku masih terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Amel juga sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang masih belum waktunya. Aku akan membawanya bertemu dengan Nenek saat waktunya sudah tepat," jawab Dimas seraya tertawa pelan."Huh, terakhir kali kamu juga bilang seperti itu. Pada akhirnya, tetap nggak ada pergerakan. Kalau Nenek nggak meneleponmu, kamu pasti sudah lupa punya Nenek!" cerca Salma sambil mendengus dingin. Saat berbicara, dia makin marah karena cucu kesayangannya itu bahkan tidak meneleponnya untuk sekadar menyapanya."Nenek, apa yang kamu katakan? Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Cucu menantu Nenek itu masih belum mengetahui keadaan keluarga kita yang sebenarnya. Dia masih mengira aku cuma pekerja biasa. Kalau membawanya pulang secara tiba-tiba, dia pasti akan terkejut!" jelas Dimas sambil merendahkan suaranya."Baiklah, Nenek akan memberimu waktu lagi.
"Sudahlah, berhentilah memujiku, aku akan jadi sombong kalau kamu memujiku lagi," gumam Amel malu-malu."Sayang, kualitas baju ini bagus sekali. Pasti nggak murah, ya?" tanya Amel yang menarik kembali senyumannya.Dimas berhenti sejenak, kemudian menyahut, "Satu set pakaian ini harganya sekitar dua juta. Nggak terlalu mahal.""Mungkin benar kalau satu set pakaian, ditambah dengan sepatu ini harganya dua juta, tapi kalau mantel yang lebih bagus harganya nggak mungkin cuma dua juta," gumam Amel."Benar, aku kenal seorang teman. Kerabatnya sering menjual beberapa pakaian yang dibawa keluar dari pusat perbelanjaan, jadi harganya relatif lebih murah," sahut Dimas dengan cepat. Sebelum Amel sempat bertanya kenapa pakaian itu harganya murah, dia langsung menjelaskan terlebih dahulu."Ternyata begitu, karena pakaian ini memang nggak kelihatan seharga beberapa ratus ribu saja.""Sayang, jangan khawatirkan lagi tentang harga bajunya. Sebaiknya kamu pergi dan lihat dulu tas mana yang lebih cocok
"Bukankah kamu yang bilang kalau sekarang Amel menjalankan toko kue kecil-kecilan? Tapi pakaiannya terlihat mahal," bisik Cheryl yang sedang duduk di sebelah Jeny."Dilihat sekilas juga tahu kalau itu palsu," sahut Jeny dengan kesal."Amel, kamu makin cantik. Kenapa dulu aku nggak menyadarinya!" sahut seorang pria berbadan gemuk.Sebagian besar siswa di kelas Amel sekarang menjalani hidup lebih baik. Ada yang sudah menjadi bos, ada yang sudah memiliki karier yang stabil dan penghasilan tetap, hanya ada sebagian kecil dari mereka yang hidup di lapisan masyarakat terbawah. Namun, orang-orang seperti itu pada dasarnya selalu diabaikan.Jika bukan karena kegigihan Lidya, Amel juga tidak akan menghadiri reuni ini. Baginya, reuni ini juga tidak mempunyai keuntungan apa pun."Amel, apa pekerjaanmu sekarang? Pakaianmu kelihatannya nggak murah," kata Cheryl dengan sengaja sambil melihat Amel dengan tatapan mengejek.Amel menjawab dengan tenang, "Aku membuka toko kue sendiri.""Sekarang sangat s
"Ehm, kalau begitu aku yang salah dengar. Amel, aku dengar ibuku bilang kalau Bibi Lili membeli rumah?" tanya Lidya. Dia mengganti topik pembicaraan dengan cepat."Iya, sudah beli. Uang mukanya 600 juta.""Hei, nona-nona. Apa yang sedang kalian bicarakan? Kami juga mau mendengarkan!" tanya Zaki Alfred, seorang pria kaya baru yang mengenakan kalung rantai emas besar di lehernya. Dia menatap Amel dan Lidya sambil tersenyum."Bukan apa-apa, Zaki. Kalung rantai emas besarmu sangat bagus!" goda Lidya."Biasa saja," sahut Zaki sambil melambaikan tangannya, berpura-pura rendah hati."Kita sudah bertahun-tahun nggak bertemu. Sekarang kita semua berkumpul bersama lagi. Aku akan bersulang untuk kalian!" kata Richard sebagai mantan ketua kelas sambil berdiri dari duduknya."Kalau kamu nggak bisa minum alkohol, jangan ikut minum. Minum minuman ringan saja," saran Lidya pada Amel.Sejak masih kecil, Amel sudah menjadi anak yang penurut dan bijaksana. Dia tidak pernah menyentuh setetes anggur pun se
Mendengar itu, Amel merasa sedikit tidak yakin. Pakaian ini dibeli oleh Dimas dengan harga murah di pusat perbelanjaan. Dia khawatir jika pakaiannya palsu. Jika benar palsu, bukankah dia akan sangat malu ...."Aku nggak akan menyesal," sahut Amel setelah ragu-ragu sejenak dan kemudian memutuskan untuk bertaruh."Baiklah, kalau pakaianmu palsu, aku ingin tahu bagaimana kamu menghadapi mantan teman sekelasmu ini di masa depan," sahut Jeny seraya melirik Amel.Amel melepas mantelnya, lalu menyerahkannya kepada Lana. Semua orang tampak bersemangat dan menunggu untuk menonton pertunjukan ini.Lana dengan hati-hati melihat label dan posisi label pada mantel itu sambil mengerutkan keningnya.Melihat hal ini, Jeny terlihat bangga seolah dia sudah memutuskan bahwa mantel Amel itu palsu."Lana, bagaimana?" tanya Jeny dengan tidak sabar."Aku baru saja melihat dan menemukan kalau mantel ini memang asli dari LX. Kalau aku melihatnya dengan benar, mantel ini harusnya menjadi produk baru untuk musim
"Aku punya sopir, jangan sungkan. Cepat masuk dan ambil barang-barangmu. Aku akan menunggumu di garasi bawah tanah," kata Richard yang tidak memberi kesempatan pada Amel untuk menolak dan segera berjalan menuju lift secepat yang dia bisa.Amel berlari ke dalam ruangan itu, lalu berpamitan pada semua orang, "Maaf, semuanya, ada yang harus kulakukan di rumah. Aku pergi dulu. Mari kita berkumpul lagi lain kali kalau ada kesempatan.""Amel, apa yang terjadi? Biarkan aku menemanimu pulang," sahut Lidya seraya meraih lengan Amel."Nggak perlu, Lidya. Jeny, transfer biaya kompensasinya langsung ke Lidya saja," ujar Amel yang tidak lupa mengingatkan sebelum dia pergi.Jeny menggigit bibirnya erat-erat seraya menjawab, "Iya." Dia sudah tidak sombong lagi seperti sebelumnya.Amel tidak ingin semua orang tahu tentang urusan keluarganya, jadi dia tidak memberi tahu Lidya di depan semua orang.Begitu Amel meninggalkan lobi restoran, dia melihat Richard sedang bersandar di mobil dan melambaikan tang
Lidya menatap Dimas di depannya dengan bingung, kemudian menjawab, "Amel sudah pulang. Kenapa kamu datang ke sini lagi?""Aku datang untuk menjemputnya.""Amel sudah pergi dua jam yang lalu. Dia menjawab panggilan telepon dan bilang kalau dia ada urusan di rumah, jadi dia pulang lebih awal," kata Lidya. Dia memberi tahu Dimas dengan jujur.Mendengar itu, Dimas mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu tentang hal ini sama sekali. Dia pun segera berbalik dan berjalan cepat menuju mobilnya. Ketika melihat ini, Lidya segera mengikutinya."Aku ikut denganmu!" sahut Lidya yang juga merasa agak khawatir. Dia mengikuti Dimas ke rumah Amel. Ketika mereka memasuki rumah, mereka melihat bahwa rumah sedikit berantakan dan tidak ada seorang pun di sana.Dimas segera menelepon Amel."Halo, nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Silakan hubungi lagi nanti." Sambungan nada sibuk langsung terdengar dari ujung telepon.Di sisi lain, Amel yang berjalan mondar-mandir di rumah sakit tidak mendengar nada dering po
"Sama-sama, Paman.""Ayah, Ibu, ini Richard. Dia ketua kelasku waktu SMA." Demi sopan santun, Amel pun memperkenalkan Richard."Paman, Bibi, kalau ada yang bisa kubantu, langsung katakan saja," kata Richard dengan penuh perhatian."Richard, kami sudah banyak merepotkanmu. Mengantarkan kami kemari saja sudah cukup, sekarang cepatlah pulang dan istirahat," kata Amel. Dia tidak ingin merepotkan Richard lagi."Kalau begitu, aku pulang dulu." Richard tidak berlama-lama lagi di tempat itu.Saat Amel mengantar Richard keluar dari pintu, tiba-tiba saja Richard berhenti dan mengeluarkan ATM dari kantongnya.Amel mengerutkan kening dan menatap Richard dengan bingung."Amel, di ATM ini ada 600 juta. Berikan pada Bibi. Katakan saja kalau uangnya sudah dikembalikan. Dengan begitu, Bibi akan merasa lebih baik," jelas Richard.Amel pun buru-buru menolaknya, "Nggak usah, nggak usah. Aku nggak bisa menerima uangmu."Dimas dan Lidya yang buru-buru datang ke tempat itu, secara kebetulan melihat hal terse