Mendengar itu, Amel merasa sedikit tidak yakin. Pakaian ini dibeli oleh Dimas dengan harga murah di pusat perbelanjaan. Dia khawatir jika pakaiannya palsu. Jika benar palsu, bukankah dia akan sangat malu ...."Aku nggak akan menyesal," sahut Amel setelah ragu-ragu sejenak dan kemudian memutuskan untuk bertaruh."Baiklah, kalau pakaianmu palsu, aku ingin tahu bagaimana kamu menghadapi mantan teman sekelasmu ini di masa depan," sahut Jeny seraya melirik Amel.Amel melepas mantelnya, lalu menyerahkannya kepada Lana. Semua orang tampak bersemangat dan menunggu untuk menonton pertunjukan ini.Lana dengan hati-hati melihat label dan posisi label pada mantel itu sambil mengerutkan keningnya.Melihat hal ini, Jeny terlihat bangga seolah dia sudah memutuskan bahwa mantel Amel itu palsu."Lana, bagaimana?" tanya Jeny dengan tidak sabar."Aku baru saja melihat dan menemukan kalau mantel ini memang asli dari LX. Kalau aku melihatnya dengan benar, mantel ini harusnya menjadi produk baru untuk musim
"Aku punya sopir, jangan sungkan. Cepat masuk dan ambil barang-barangmu. Aku akan menunggumu di garasi bawah tanah," kata Richard yang tidak memberi kesempatan pada Amel untuk menolak dan segera berjalan menuju lift secepat yang dia bisa.Amel berlari ke dalam ruangan itu, lalu berpamitan pada semua orang, "Maaf, semuanya, ada yang harus kulakukan di rumah. Aku pergi dulu. Mari kita berkumpul lagi lain kali kalau ada kesempatan.""Amel, apa yang terjadi? Biarkan aku menemanimu pulang," sahut Lidya seraya meraih lengan Amel."Nggak perlu, Lidya. Jeny, transfer biaya kompensasinya langsung ke Lidya saja," ujar Amel yang tidak lupa mengingatkan sebelum dia pergi.Jeny menggigit bibirnya erat-erat seraya menjawab, "Iya." Dia sudah tidak sombong lagi seperti sebelumnya.Amel tidak ingin semua orang tahu tentang urusan keluarganya, jadi dia tidak memberi tahu Lidya di depan semua orang.Begitu Amel meninggalkan lobi restoran, dia melihat Richard sedang bersandar di mobil dan melambaikan tang
Lidya menatap Dimas di depannya dengan bingung, kemudian menjawab, "Amel sudah pulang. Kenapa kamu datang ke sini lagi?""Aku datang untuk menjemputnya.""Amel sudah pergi dua jam yang lalu. Dia menjawab panggilan telepon dan bilang kalau dia ada urusan di rumah, jadi dia pulang lebih awal," kata Lidya. Dia memberi tahu Dimas dengan jujur.Mendengar itu, Dimas mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu tentang hal ini sama sekali. Dia pun segera berbalik dan berjalan cepat menuju mobilnya. Ketika melihat ini, Lidya segera mengikutinya."Aku ikut denganmu!" sahut Lidya yang juga merasa agak khawatir. Dia mengikuti Dimas ke rumah Amel. Ketika mereka memasuki rumah, mereka melihat bahwa rumah sedikit berantakan dan tidak ada seorang pun di sana.Dimas segera menelepon Amel."Halo, nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Silakan hubungi lagi nanti." Sambungan nada sibuk langsung terdengar dari ujung telepon.Di sisi lain, Amel yang berjalan mondar-mandir di rumah sakit tidak mendengar nada dering po
"Sama-sama, Paman.""Ayah, Ibu, ini Richard. Dia ketua kelasku waktu SMA." Demi sopan santun, Amel pun memperkenalkan Richard."Paman, Bibi, kalau ada yang bisa kubantu, langsung katakan saja," kata Richard dengan penuh perhatian."Richard, kami sudah banyak merepotkanmu. Mengantarkan kami kemari saja sudah cukup, sekarang cepatlah pulang dan istirahat," kata Amel. Dia tidak ingin merepotkan Richard lagi."Kalau begitu, aku pulang dulu." Richard tidak berlama-lama lagi di tempat itu.Saat Amel mengantar Richard keluar dari pintu, tiba-tiba saja Richard berhenti dan mengeluarkan ATM dari kantongnya.Amel mengerutkan kening dan menatap Richard dengan bingung."Amel, di ATM ini ada 600 juta. Berikan pada Bibi. Katakan saja kalau uangnya sudah dikembalikan. Dengan begitu, Bibi akan merasa lebih baik," jelas Richard.Amel pun buru-buru menolaknya, "Nggak usah, nggak usah. Aku nggak bisa menerima uangmu."Dimas dan Lidya yang buru-buru datang ke tempat itu, secara kebetulan melihat hal terse
Dimas merasa agak kecewa. Dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. Bahkan, istrinya sendiri, Amel, yang merupakan orang terdekatnya, tidak memberitahukan masalah ini kepadanya."Dimas, aku dan ayahmu meminta maaf kepadamu. Aku nggak bermaksud menyembunyikan hal ini darimu." Melihat ekspresi Dimas berubah, Lili pun menatap Dimas dengan berlinang air mata."Nggak apa-apa, Bu. Istirahatlah dulu. Masalah uang nggak perlu dipikirkan. Aku akan mencari cara untuk mengatasi masalah ini." Kata-kata Dimas membuat Amel dan Lili merasa makin bersalah. Lili sudah ditipu untuk membeli rumah karena dia terlalu mudah percaya omongan orang lain. Lili tidak ingin menyusahkan putri dan menantunya lagi. Bagaimanapun, Amel dan Dimas juga tidak terlalu kaya."Amel, Dimas, kalian berdua pulang saja dulu. Ibu kalian baik-baik saja. Cukup aku sendiri saja yang menjaganya," kata Gibran dengan nada agak tidak berdaya."Ayah, bukankah besok Ayah masih harus menghadiri acara seminar akademik? Biar aku saja yang me
Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam saja. Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir, Dimas langsung membuka pintu dan keluar dari mobil, yang menegaskan bahwa dia tidak peduli pada Amel yang ada di belakangnya. Dimas tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.Amel menghela napas panjang. Dia tahu betul di dalam hati bahwa semua ini memang kesalahannya sendiri.Begitu masuk rumah, Dimas langsung mengurung diri di ruang kerjanya. Dimas tidak bisa mengerti dan memahami. Kenapa orang yang diperlakukannya dengan tulus malah tega kepada dirinya.Amel berpikir Dimas seharusnya belum makan malam. Dia pun pergi ke dapur untuk membuat bubur sumsum favorit Dimas. Kemudian, dia membawa bubur sumsum yang masih panas itu dan berdiri di depan pintu ruang kerja Dimas. Dia merasa ragu-ragu selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengetuk pintu.Dimas tidak mengucapkan sepatah kata pun, sekalipun dia mendengar suara ketukan di pintu. Dimas merasa begitu terluka. Dia marah kepada Amel karen
"Mungkin, Ibu juga nggak menyangka kalau mereka benar-benar akan kabur membawa uangnya."Alasan kenapa Dimas bisa mengetahui sejak awal jika proyek Amarilis tidak bisa diandalkan adalah karena Dio, pengembang dalam proyek itu, menggunakan material yang tidak memenuhi standar saat membangun kompleks perumahan tersebut. Selain itu, saat ini, Dio juga memfokuskan semua tenaga dan sumber keuangannya untuk membangun pusat perbelanjaan. Itu sebabnya, Dio tidak peduli lagi pada kemajuan pembangunan Amarilis.Uang yang dibawa kabur dalam proyek Amarilis ini juga diinvestasikan sepenuhnya dalam pembangunan pusat perbelanjaan itu. Dimas mengetahui hal ini dengan sangat baik."Enam ratus juta benar-benar bukan jumlah yang kecil. Sayang, ayo kita lapor polisi. Kalau kita nggak bisa mendapatkan kembali uang ini, Ibu pasti nggak akan pernah merasa tenang." Amel benar-benar sangat mengkhawatirkan Lili.Jika Lili sampai benar-benar jatuh sakit karena uang 600 juta ini, semua itu akan sangat tidak sepa
"Itu ide yang bagus." Amel menyetujui usulan itu."Tahun ini pengeluaranku agak banyak, aku hanya punya tabungan 200 juta saja. Aku akan meminta uang pada ibuku sampai terkumpul 600 juta. Lalu, kamu bisa memberikannya pada Bibi Lili.""Nggak perlu, aku dan Dimas masih ada uang, kok. Kamu nggak perlu meminta uang lagi pada Bibi Mirna.""Bukannya uang yang kalian berdua simpan akan digunakan untuk operasional toko? Aku punya uang yang nggak aku pakai, jadi kalian bisa menggunakannya dulu. Nggak perlu sungkan denganku. Kita ini 'kan sahabat baik," kata Lidya dengan nada berpura-pura marah."Kemarin Dimas tiba-tiba mengeluarkan kartu ATM berisi 400 juta. Dia mengatakan kalau itu adalah uang yang ditabung orang tuanya untuk membeli rumah. Sekarang dia bahkan sampai mengeluarkan uang itu. Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah padanya," kata Amel sambil menggigit bibirnya."Kalian adalah suami istri, berbagi suka duka adalah hal yang wajar. Tapi kamu harus bersikap lebih baik pada Dimas di m