"Sayang, sekarang masalah ini sudah terselesaikan. Kamu harus segera kembali bekerja," desak Amel. Dia tidak ingin Dimas membuang waktu di sini."Kalau begitu, aku akan pergi dulu.""Pergilah. Jangan lupa untuk bertanya pada Irfan apa malam ini dia punya waktu atau nggak. Aku akan memesan tempat di restoran terlebih dulu." Amel mengantar Dimas keluar, kemudian mengingatkan Dimas lagi sebelum pria itu pergi.Melihat mobil Dimas yang berangsur-angsur menjauh, Amel mengalihkan pandangannya, lalu masuk kembali ke toko.Kemudian, Amel duduk di meja kasir dengan kelelahan. Dia merasa kejadian hari ini seperti mimpi, datang dan pergi dengan sangat cepat. Dia juga bisa merasakan bahwa berbisnis bukanlah hal yang mudah."Kak Amel, masalahnya sudah selesai, kenapa kamu masih terlihat nggak senang?" tanya Sarah sambil menopang dagu dengan tangannya."Masalah kali ini memang sudah terselesaikan, tapi kita mungkin nggak akan seberuntung itu di lain waktu. Jadi, kita harus belajar dari pengalaman in
"Sayang, dari mana saja kamu? Aku pikir kamu belum datang." Dimas melangkah maju, lalu memegang tangan Amel dengan penuh kasih."Aku lupa membawa makanan penutup yang tadi aku masukkan ke dalam keranjang. Jadi, aku pergi sebentar untuk mengambilnya," kata Amel sambil mengangkat makanan penutup di tangannya."Pak Irfan, terima kasih banyak atas bantuanmu hari ini! Aku membawakan beberapa kue terbaik yang dijual di toko kami untuk kamu coba." Amel meletakkan makanan penutup di depan Irfan sambil tersenyum."Sama-sama. Ini bukan masalah besar untukku. Kalau begitu, aku nggak akan sungkan untuk menerima makanan penutup ini," kata Irfan dengan gugup."Bagaimanapun, kami tetap harus berterima kasih padamu. Meski ini hanya hal sepele untukmu, ini bukan masalah sepele bagi kami." Amel menekankan lagi."Pak Irfan, biarkan aku bersulang untukmu," kata Dimas sambil mengambil gelasnya. Irfan tiba-tiba merasa cemas. Meski dia diberi keberanian, dia juga tidak akan pernah berani bersulang dengan Dim
Lidya dan Andi diam-diam melirik satu sama lain, lalu melihat ketidakberdayaan di mata satu sama lain. Jika mereka mengetahuinya lebih awal, lebih baik pergi makan hotpot saja!"Dimas, Pak Irfan, aku kebetulan bertemu dengan adikku dan temanku saat keluar, jadi aku mengajak mereka untuk makan bersama," kata Amel seraya membuka pintu ruangan."Nggak masalah, makin banyak orang makin ramai, silakan duduk," tawar Irfan dengan sopan.Suasana di meja makan terasa agak canggung, Amel juga tidak tahu harus berkata apa untuk membuat suasananya lebih baik.Dimas mengedipkan mata pada Irfan. Irfan pun segera berdiri dengan penuh pengertian."Oh, aku benar-benar minta maaf. Aku baru saja menerima pesan dari Pak Direktur kalau aku harus menghadiri pertemuan daring yang sangat penting. Aku pamit pergi dulu.""Pergilah setelah makan," bujuk Amel dengan sopan."Nggak perlu, kita bisa berkumpul lagi lain kali. Aku yang akan mentraktir kalian nanti," tolak Irfan dengan sopan, kemudian dia segera pergi
"Aku akan mengantarmu pulang," tawar Andi dengan ekspresi yang agak berubah. Saat mendengar bahwa Mirna berencana mengirim Lidya ke luar negeri, dia merasa agak tidak senang dalam hati.Setelah Lidya dan Andi pergi, Amel hanya memakan dua gigitan, kemudian meletakkan alat makannya begitu saja."Apa kamu sudah kenyang?" tanya Dimas dengan alis terangkat.Amel mengangguk sambil menyahut, "Sebenarnya aku nggak terlalu lapar.""Kalau sudah kenyang, ayo pulang saja," ajak Dimas sambil berdiri.Amel memandangi piring-piring di atas meja yang belum banyak tersentuh dan merasa sayang jika membuang makanan begitu saja."Sayang, pergilah ke meja depan dan minta beberapa kotak makanan untuk dibawa pulang. Hidangannya masih ada banyak yang belum dimakan. Lebih baik dibungkus biar bisa kita makan untuk besok malam," celetuk Amel yang sangat pandai menjalani hidup.Dimas mengangguk dan menyahut singkat, "Oke."Dimas tidak menganggap bahwa membungkus makanan sisa adalah hal yang memalukan. Hal ini ju
Dari nada bicaranya, Lidya terdengar agak kesal."Tentu saja kamu adalah putri kami. Kita seperti ini bukankah karena juga mengkhawatirkanmu?" gumam Mirna sambil mengerutkan bibirnya."Aku nggak akan pergi. Aku nggak akan pergi apa pun yang terjadi. Kalau nggak ada hal lain yang perlu dibicarakan, aku pergi dulu," sambung Lidya sebelum bangkit dan pergi dengan kesal.Mirna melotot penuh emosi sambil berkata, "Lihatlah putrimu yang baik itu. Dia benar-benar nggak punya keterampilan lain dan cuma punya temperamen yang buruk!""Sudahlah, dia belum setua itu. Biarkan dia bermain-main dua tahun lagi," jawab Kelvin. Dia tidak terburu-buru meminta putrinya pacaran.Sesampainya di rumah, Amel memasukkan sisa makanan yang dibawanya dari restoran ke dalam lemari es."Sayang, aku mau mandi dulu," kata Dimas sambil mengambil piamanya dan memasuki kamar mandi.Sementara itu, Amel duduk di sofa sambil melihat ponselnya. Tiba-tiba dia mendengar ponsel Dimas berbunyi. Dia pun langsung mengambil dan me
"Bibi Mirna benar-benar sangat khawatir, ya. Aku tebak kamu pasti belum menyetujuinya," sahut Amel sambil tertawa pelan."Ya, aku memang belum menyetujuinya. Amel, coba katakan padaku, aku yang baru 24 tahun itu masih belum terlalu tua, 'kan? Kalaupun aku menikah empat tahun lagi, memangnya kenapa? Aku benar-benar nggak tahu apa yang dikhawatirkan oleh ibuku," keluh Lidya lagi."Lidya, Bibi Mirna dan ayahmu hanya punya kamu sebagai putri mereka. Tentu saja mereka berharap kamu dapat menemukan kebahagiaanmu sendiri secepatnya," hibur Amel kemudian."Baiklah. Amel, aku nggak bisa mengobrol denganmu lagi. Aku masih ada urusan lain.""Oke, mari kita bertemu dan mengobrol di lain hari," sahut Amel, kemudian menutup panggilan teleponnya.Mungkin karena akhir-akhir ini perhatian Amel selalu tertuju pada informasi terkait properti, dia langsung menerima sebuah pesan teks setelah menutup panggilan teleponnya.Isi pesan itu adalah tawaran untuk menikmati diskon sebanyak 400 ribu per meter perseg
"Memangnya itu lucu?" tanya Dimas."Nggak, nggak. Itu sama sekali nggak lucu. Pak Dimas, kalau begitu aku akan segera menghubungi tim survei di kantor pusat," sahut Irfan sambil menahan senyumnya.Sementara itu, di sisi lain.Dio sedang mengkhawatirkan masalah uang di ruang kerjanya, ketika dia menerima telepon dari asistennya."Pak Dio ada masalah besar. Aku dengar kantor pusat mengirimkan tim survei untuk memeriksa proyek," ucap asisten Dio dengan nada panik."Apa? Mereka datang untuk melakukan pemeriksaan? Kapan mereka akan datang?" sahut Dio dengan mata terbelalak. Dia sampai berdiri dari kursinya karena terlalu kaget."Mungkin mereka akan datang besok sore. Pak Dio, apa yang harus kita lakukan? Hampir semua material baja yang kita punya nggak memenuhi standar. Kalau mereka mengetahuinya, kita harus mengganti semua material baja tersebut.""Jangan khawatir, biarkan aku memikirkan solusinya," sahut Dio sambil menelan ludahnya dengan gugup. Sekarang dia juga merasa bingung. Dia tidak
"Empat puluh juta?""Omzet hari ini 116 juta," ujar Amel."Banyak sekali, istriku hebat sekali," puji Dimas dengan kagum.Amel terkekeh pelan, lalu menyahut, "Kalau dibandingkan, omzet hari ini cukup sedikit. Biasanya omzet toko bisa sampai di atas 130 juta.""Sayang, karena tokomu sudah berjalan dengan baik, bagaimana kalau aku membuka cabang lain untukmu?" tawar Dimas kemudian. Dimas merasa dengan kemampuan Amel saat ini, Amel pasti bisa membuka cabang lain.Namun, Amel menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Sudahlah. Jangan terburu-buru membuka cabang. Aku khawatir aku nggak bisa mengurus keduanya. Lagi pula, bagaimana kita bisa mendapatkan begitu banyak uang sekarang?""Ya sudah, aku akan mendengarkanmu. Ini sudah larut, ayo tidur dulu," ajak Dimas sambil menarik Amel untuk berbaring di tempat tidur.Di sisi lain, ketika Lidya pulang ke rumah dengan kesal, Andi langsung menyambutnya. Bahkan sebelum Lidya sempat duduk, Mirna sudah mengiriminya pesan."Kamu benar-benar anak yang k