"Nggak peduli seberapa sibuknya aku, aku masih punya waktu. Nggak ada urusan yang lebih penting dari urusanmu," kata Dimas sambil menyeka air mata di wajah Amel dengan lembut.Suasana hati Amel berangsur-angsur membaik. Dia bertanya, "Sayang, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?""Biar aku yang menangani masalah ini." Dimas sepertinya sudah yakin bahwa Jeny sengaja menjebak Amel."Omong-omong, Sayang, di mana rambut itu?" tanya Dimas secara tiba-tiba.Amel tertegun sejenak, lalu menjawab, "Aku membuang rambut itu ke tempat sampah. Kenapa? Apa rambut itu masih berguna?"Amel bertanya sambil menarik napas, tidak bisa menyembunyikan keheranan di wajahnya."Tentu saja. Aku curiga dia mencabut rambutnya sendiri atau rambut orang lain, lalu menaruhnya di atas makanan penutupmu. Kamu cukup mengirim rambut itu untuk diuji. Kalau rambut itu bukan milik kalian, itu sudah cukup untuk menjadi bukti kalau kalian bertiga nggak bersalah." Begitu mendengar penjelasan Dimas, Amel langsung mengerti.
"Sayang, sekarang masalah ini sudah terselesaikan. Kamu harus segera kembali bekerja," desak Amel. Dia tidak ingin Dimas membuang waktu di sini."Kalau begitu, aku akan pergi dulu.""Pergilah. Jangan lupa untuk bertanya pada Irfan apa malam ini dia punya waktu atau nggak. Aku akan memesan tempat di restoran terlebih dulu." Amel mengantar Dimas keluar, kemudian mengingatkan Dimas lagi sebelum pria itu pergi.Melihat mobil Dimas yang berangsur-angsur menjauh, Amel mengalihkan pandangannya, lalu masuk kembali ke toko.Kemudian, Amel duduk di meja kasir dengan kelelahan. Dia merasa kejadian hari ini seperti mimpi, datang dan pergi dengan sangat cepat. Dia juga bisa merasakan bahwa berbisnis bukanlah hal yang mudah."Kak Amel, masalahnya sudah selesai, kenapa kamu masih terlihat nggak senang?" tanya Sarah sambil menopang dagu dengan tangannya."Masalah kali ini memang sudah terselesaikan, tapi kita mungkin nggak akan seberuntung itu di lain waktu. Jadi, kita harus belajar dari pengalaman in
"Sayang, dari mana saja kamu? Aku pikir kamu belum datang." Dimas melangkah maju, lalu memegang tangan Amel dengan penuh kasih."Aku lupa membawa makanan penutup yang tadi aku masukkan ke dalam keranjang. Jadi, aku pergi sebentar untuk mengambilnya," kata Amel sambil mengangkat makanan penutup di tangannya."Pak Irfan, terima kasih banyak atas bantuanmu hari ini! Aku membawakan beberapa kue terbaik yang dijual di toko kami untuk kamu coba." Amel meletakkan makanan penutup di depan Irfan sambil tersenyum."Sama-sama. Ini bukan masalah besar untukku. Kalau begitu, aku nggak akan sungkan untuk menerima makanan penutup ini," kata Irfan dengan gugup."Bagaimanapun, kami tetap harus berterima kasih padamu. Meski ini hanya hal sepele untukmu, ini bukan masalah sepele bagi kami." Amel menekankan lagi."Pak Irfan, biarkan aku bersulang untukmu," kata Dimas sambil mengambil gelasnya. Irfan tiba-tiba merasa cemas. Meski dia diberi keberanian, dia juga tidak akan pernah berani bersulang dengan Dim
Lidya dan Andi diam-diam melirik satu sama lain, lalu melihat ketidakberdayaan di mata satu sama lain. Jika mereka mengetahuinya lebih awal, lebih baik pergi makan hotpot saja!"Dimas, Pak Irfan, aku kebetulan bertemu dengan adikku dan temanku saat keluar, jadi aku mengajak mereka untuk makan bersama," kata Amel seraya membuka pintu ruangan."Nggak masalah, makin banyak orang makin ramai, silakan duduk," tawar Irfan dengan sopan.Suasana di meja makan terasa agak canggung, Amel juga tidak tahu harus berkata apa untuk membuat suasananya lebih baik.Dimas mengedipkan mata pada Irfan. Irfan pun segera berdiri dengan penuh pengertian."Oh, aku benar-benar minta maaf. Aku baru saja menerima pesan dari Pak Direktur kalau aku harus menghadiri pertemuan daring yang sangat penting. Aku pamit pergi dulu.""Pergilah setelah makan," bujuk Amel dengan sopan."Nggak perlu, kita bisa berkumpul lagi lain kali. Aku yang akan mentraktir kalian nanti," tolak Irfan dengan sopan, kemudian dia segera pergi
"Aku akan mengantarmu pulang," tawar Andi dengan ekspresi yang agak berubah. Saat mendengar bahwa Mirna berencana mengirim Lidya ke luar negeri, dia merasa agak tidak senang dalam hati.Setelah Lidya dan Andi pergi, Amel hanya memakan dua gigitan, kemudian meletakkan alat makannya begitu saja."Apa kamu sudah kenyang?" tanya Dimas dengan alis terangkat.Amel mengangguk sambil menyahut, "Sebenarnya aku nggak terlalu lapar.""Kalau sudah kenyang, ayo pulang saja," ajak Dimas sambil berdiri.Amel memandangi piring-piring di atas meja yang belum banyak tersentuh dan merasa sayang jika membuang makanan begitu saja."Sayang, pergilah ke meja depan dan minta beberapa kotak makanan untuk dibawa pulang. Hidangannya masih ada banyak yang belum dimakan. Lebih baik dibungkus biar bisa kita makan untuk besok malam," celetuk Amel yang sangat pandai menjalani hidup.Dimas mengangguk dan menyahut singkat, "Oke."Dimas tidak menganggap bahwa membungkus makanan sisa adalah hal yang memalukan. Hal ini ju
Dari nada bicaranya, Lidya terdengar agak kesal."Tentu saja kamu adalah putri kami. Kita seperti ini bukankah karena juga mengkhawatirkanmu?" gumam Mirna sambil mengerutkan bibirnya."Aku nggak akan pergi. Aku nggak akan pergi apa pun yang terjadi. Kalau nggak ada hal lain yang perlu dibicarakan, aku pergi dulu," sambung Lidya sebelum bangkit dan pergi dengan kesal.Mirna melotot penuh emosi sambil berkata, "Lihatlah putrimu yang baik itu. Dia benar-benar nggak punya keterampilan lain dan cuma punya temperamen yang buruk!""Sudahlah, dia belum setua itu. Biarkan dia bermain-main dua tahun lagi," jawab Kelvin. Dia tidak terburu-buru meminta putrinya pacaran.Sesampainya di rumah, Amel memasukkan sisa makanan yang dibawanya dari restoran ke dalam lemari es."Sayang, aku mau mandi dulu," kata Dimas sambil mengambil piamanya dan memasuki kamar mandi.Sementara itu, Amel duduk di sofa sambil melihat ponselnya. Tiba-tiba dia mendengar ponsel Dimas berbunyi. Dia pun langsung mengambil dan me
"Bibi Mirna benar-benar sangat khawatir, ya. Aku tebak kamu pasti belum menyetujuinya," sahut Amel sambil tertawa pelan."Ya, aku memang belum menyetujuinya. Amel, coba katakan padaku, aku yang baru 24 tahun itu masih belum terlalu tua, 'kan? Kalaupun aku menikah empat tahun lagi, memangnya kenapa? Aku benar-benar nggak tahu apa yang dikhawatirkan oleh ibuku," keluh Lidya lagi."Lidya, Bibi Mirna dan ayahmu hanya punya kamu sebagai putri mereka. Tentu saja mereka berharap kamu dapat menemukan kebahagiaanmu sendiri secepatnya," hibur Amel kemudian."Baiklah. Amel, aku nggak bisa mengobrol denganmu lagi. Aku masih ada urusan lain.""Oke, mari kita bertemu dan mengobrol di lain hari," sahut Amel, kemudian menutup panggilan teleponnya.Mungkin karena akhir-akhir ini perhatian Amel selalu tertuju pada informasi terkait properti, dia langsung menerima sebuah pesan teks setelah menutup panggilan teleponnya.Isi pesan itu adalah tawaran untuk menikmati diskon sebanyak 400 ribu per meter perseg
"Memangnya itu lucu?" tanya Dimas."Nggak, nggak. Itu sama sekali nggak lucu. Pak Dimas, kalau begitu aku akan segera menghubungi tim survei di kantor pusat," sahut Irfan sambil menahan senyumnya.Sementara itu, di sisi lain.Dio sedang mengkhawatirkan masalah uang di ruang kerjanya, ketika dia menerima telepon dari asistennya."Pak Dio ada masalah besar. Aku dengar kantor pusat mengirimkan tim survei untuk memeriksa proyek," ucap asisten Dio dengan nada panik."Apa? Mereka datang untuk melakukan pemeriksaan? Kapan mereka akan datang?" sahut Dio dengan mata terbelalak. Dia sampai berdiri dari kursinya karena terlalu kaget."Mungkin mereka akan datang besok sore. Pak Dio, apa yang harus kita lakukan? Hampir semua material baja yang kita punya nggak memenuhi standar. Kalau mereka mengetahuinya, kita harus mengganti semua material baja tersebut.""Jangan khawatir, biarkan aku memikirkan solusinya," sahut Dio sambil menelan ludahnya dengan gugup. Sekarang dia juga merasa bingung. Dia tidak
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Amel ragu-ragu untuk beberapa saat, sebelumnya akhirnya perlahan-lahan berkata, "Sejujurnya, aku benar-benar nggak rela berpisah dari Dimas. Sejak kami menikah sampai sekarang, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Dimas adalah contoh sempurna dari suami yang baik."Semalam saat berbaring di tempat tidur, yang terlintas di benak Amel hanyalah kebaikan Dimas kepada dirinya. Amel pun menjadi tidak begitu marah lagi."Hatiku masih sangat kacau sekarang." Amel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal."Jangan khawatir. Semua pasti akan ada jalan keluarnya," bujuk Lidya sambil menepuk bahu Amel dengan lembut."Bagaimana kalau kita minum bersama malam ini, untuk menenangkan suasana hati?" usul Lidya saat melihat Amel tampak bingung dan gelisah.Sebelumnya, Amel pasti akan menolaknya. Namun, sekarang Amel langsung menyetujuinya tanpa ragu. "Oke."Dimas menghabiskan sepanjang pagi di rumah sakit. Kondisi Nenek Salma juga sudah stabil. "Ayah, Ibu, Nenek, masih ada beberapa hal yang harus
"Tentu saja, Kak Amel. Aku benar-benar ingin terus bekerja di sini," kata Clara dengan tegas. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap bekerja pada Amel."Oke." Raut wajah Amel langsung menunjukkan perasaan lega.Dimas memesan penerbangan paling awal dan bergegas pulang malam itu juga. Sesampainya di rumah sakit, Salma sudah beristirahat di bangsal."Ayah, Ibu, aku datang.""Akhirnya kamu datang juga. Nenekmu terus menyebut-nyebut namamu sepanjang malam tadi," tegur Bela.Dimas berjalan menghampiri ranjang Salma dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba saja Dimas menyadari jika neneknya benar-benar sudah sangat tua. Entah sejak kapan, rambut neneknya sudah memutih semua.Untuk sementara waktu ini, Dimas tidak memenuhi kewajibannya sebagai cucu. Dimas juga gagal membina hubungan asmaranya. Tiba-tiba saja, Dimas merasa agak sedih dan kecewa karenanya.Salma perlahan-lahan membuka matanya. Melihat Dimas, raut wajahnya tampak agak emosional."Aku sudah pulang, Nek." Dimas menggenggam erat tangan
Amel memandangi punggung kepergian Dimas. Dia merasa agak kehilangan di dalam hati. Namun, melihat Dimas yang tampak begitu cemas, Amel merasa pasti ada suatu masalah yang sangat penting.Lantaran suasana hatinya sedang buruk, Amel tidak punya keinginan untuk mengurus toko makanan penutup miliknya. Dia memutuskan untuk sementara waktu membiarkan Clara membantunya mengawasi toko. Keesokan harinya, Amel bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke toko untuk memberi penjelasan pada Clara."Tenang saja, Pak Irfan. Aku pasti akan membantu Bu Amel menjaga toko dengan baik. Aku yakin Pak Dimas dan Bu Amel pasti akan baikan nanti."Begitu memasuki pintu, Amel mendengar suara Clara. Amel pun mengerutkan kening. Dia bertanya-tanya kenapa Clara berkata seperti itu.Memikirkan kembali sikap Clara terhadap Dimas dan fakta bahwa Clara yang merupakan seorang ahli pembuat makanan penutup top, tapi bersedia merendahkan diri untuk bekerja di toko makanan penutup kecil miliknya ini, Amel pun sepertinya sudah
Amel sangat sadar diri dan tahu bahwa dia tidak layak untuk pria di depannya ini. Mungkin sekarang Dimas memiliki perasaan padanya, tetapi jika kesenjangan antara keduanya mulai ditemukan di masa depan, kemungkinan besar cinta mereka akan perlahan-lahan kandas.Dimas cukup baik, orang-orang di sekitar Dimas juga sangat baik. Amel hanya seorang wanita biasa, benar-benar tidak bisa berjalan berdampingan dengan pria itu.Saat mendengar kata cerai, Dimas langsung terbelalak kaget, lalu berkata, "Aku nggak bisa. Amel, jangan cerai, ya? Nggak peduli siapa aku, cintaku padamu nggak akan pernah berubah."Dimas menjelaskan dengan tegas kepada Amel alasan kenapa dia menyembunyikan identitasnya, tetapi Amel tampaknya tetap bertekad untuk menceraikannya."Dimas, beri aku waktu untuk menenangkan diri dulu," jawab Amel, lalu menutup pintunya lagi.Lili menepuk bahu Dimas sambil berkata, "Beri dia waktu. Bagaimanapun, ini bukan masalah sepele. Dia perlu waktu untuk menerimanya."Dimas mengangguk frus
"Kami nggak bisa menerima permintaan maaf dari seorang direktur," sahut Gibran dengan kesal.Dimas mengerutkan keningnya dan kembali menjelaskan "Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak bermaksud menyembunyikan identitasku.""Kalau begitu, beri tahu aku kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" sahut Lili dengan nada dingin.Saat menghadapi Dimas, Lili masih mengalah dan ingin memberi Dimas kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimanapun, dia masih bisa memercayai karakter Dimas.Mereka juga dapat melihat bahwa Dimas tidak memperlakukan putri mereka hanya untuk bermain-main saja."Orang yang bertanggung jawab atas cabang Grup Angkasa adalah kerabat jauh Keluarga Cahyadi. Ketika aku meninjau dana pada akhir tahun lalu, aku menemukan ada celah keuangan yang besar. Aku menyelidikinya secara pribadi dan menemukan kalau dia telah menggelapkan dana publik. Dia sering mengabaikan tugasnya dan membeli properti dalam jumlah besar. Tapi karena kurangnya bukti, aku dan asistenku menyembunyikan identitas kami
Sebagai seorang profesor, Gibran tidak pernah memperhatikan ketenaran dan kekayaan selama bertahun-tahun. Meskipun identitas asli Dimas adalah direktur Grup Angkasa, menurutnya juga tidak ada yang istimewa dengan itu."Kenapa Dimas menyembunyikan identitasnya? Mungkinkah dia sengaja melakukannya pada kita karena takut kita menginginkan uangnya?" sahut Lili dengan nada kecewa.Lili selalu merasa bahwa Dimas lumayan baik. Dia bahkan menganggap Dimas seperti putranya sendiri."Amel, karena kamu sudah memikirkannya dan memutuskan untuk menceraikannya, Ayah akan mendukung keputusanmu. Keluarga Santoso nggak peduli apakah dia direktur atau bukan," ucap Gibran. Pria itu adalah orang pertama yang mengungkapkan sikapnya."Ibu juga mendukungmu. Hal yang paling penting bagi pasangan untuk hidup bersama adalah kejujuran. Dia bahkan nggak bisa melakukan integritas paling dasar. Meskipun Keluarga Cahyadi kaya, Amel juga nggak bisa menikmatinya. Jadi, lebih baik lupakan saja," ujar Lili dengan nada k
"Aku ingin menceraikannya. Dia adalah seorang direktur Grup Angkasa, sementara aku cuma gadis biasa. Kami nggak berasal dari dunia yang sama dan nggak akan mendapatkan hasil apa pun di masa depan," tukas Amel. Ketika mengatakan itu, Amel merasa sakit yang menyesakkan datang dari hatinya.Ketika mendengar itu, Lidya langsung mengerutkan dahinya. Dia bisa melihat betapa Amel sangat mencintai Dimas."Huh ...." Lidya menghela napas panjang."Aku nggak pernah mengira bahwa hal dramatis yang ditampilkan di TV akan terjadi padaku," ujar Amel. Dia merasa sangat kecewa dengan Dimas ketika mengingat kembali berapa banyak kebohongan yang sudah dibuat pria ini untuk menipunya sejak mereka menikah."Ya, ini sudah keterlaluan. Kupikir hal semacam ini hanya ada di TV, tapi nggak disangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata," sahut Lidya dengan emosi.Setelah suasana hati Amel sedikit stabil, Lidya mengantarnya pulang ke rumah Keluarga Santoso.Saat ini, Mirna sedang berbicara dengan Lili,