"Mau makan hotpot lagi?"Amel mengangguk dengan berat, lalu menyahut, "Tentu saja, aku nggak akan pernah bosan dengan hotpot. Setelah toko makanan penutup kami menghasilkan banyak uang, aku akan membuka restoran hotpot. Kemudian, aku bisa menikmati hotpot sepuasnya!"Kalimat yang dikatakan dengan asal oleh Amel diingat oleh Dimas yang sudah mulai berencana membuka restoran hotpot untuk Amel.Setelah membeli banyak bahan makanan untuk hotpot di supermarket, mereka langsung menuju rumah Lidya. Ketika mereka tiba, Andi sedang berbaring di sofa seperti seorang lelaki tua yang sedang bermalas-malasan di rumah."Andi, kamu benar-benar menganggap tempat Lidya seperti rumahmu sendiri, ya. Bahkan kamu dengan bangga berbaring dan menempati seluruh sofa. Kamu menyuruh kita duduk di mana? Di lantai?" cerca Amel sambil melirik adiknya sekilas, kemudian duduk dengan enggan."Kak Amel, Kak Dimas, aku hampir saja mati kelaparan. Aku sudah menunggu kalian berdua dari tadi, kenapa kalian baru datang?" k
Lidya berpura-pura membuka mata Andi dan memeriksa dengan hati-hati, "Nggak ada, matamu kemasukan apa?""Berhati-hatilah kalau melakukan sesuatu. Baiklah, cepat keluar. Suruh Dimas memeriksanya. Cahaya lampu di dapur nggak terlalu terang," sahut Amel membujuk Andi keluar. Lidya dan Andi pun langsung bernapas lega.Andi berjalan ke ruang tamu, Dimas menatapnya sambil tersenyum, sementara Andi tersenyum malu-malu sambil bertanya, "Kak Dimas, apa kamu mau minum teh?""Nggak perlu. Andi, kebohongan nggak bisa ditutupi terus. Cepat atau lambat kalian berdua pasti akan ketahuan," kata Dimas penuh arti. Walaupun Dimas tidak mengatakan apa-apa, seiring berjalannya waktu, Amel dan yang lainnya pasti akan menyadarinya.Andi menggaruk kepalanya karena malu, kemudian menjawab, "Kak Dimas, sebenarnya kami nggak bermaksud merahasiakannya dari keluarga kami. Kami cuma merasa nggak tahu bagaimana cara mengatakannya sekarang. Kami pasti akan membicarakannya nanti."Setelah mempertimbangkannya, Andi ber
"Keluarga kita hampir bangkrut, jadi kami menghubungi semua teman yang bisa kami hubungi. Tapi kami nggak menghubungi Keluarga Yanuar karena kami takut kalau kamu menikah nanti, kamu nggak akan dihormati di keluarga mereka. Pada akhirnya, meski ada masalah besar terjadi pada keluarga kita, nggak ada satu pun dari mereka yang menanyakannya. Tepat sebelum aku datang ke sini, aku hendak menelepon Keluarga Yanuar untuk menanyakan tentang masalah pernikahan. Tapi aku menyadari kalau ibunya Bima sudah memblokir nomor WhatsApp-ku. Nomor teleponku dan ayahmu juga diblokir. Aku pikir mereka takut kita akan menghubungi mereka untuk meminjam uang. Kemudian, aku menelepon Bima dengan emosi, sebelum akhirnya mengetahui tentang kalian berdua yang ternyata sudah putus." Mirna mengeluh dengan marah. Dia tidak menyangka bahwa Keluarga Yanuar akan begitu realistis."Nak, Ibu sudah memaki-maki si bajingan Bima itu untukmu. Untung saja kamu nggak jadi menikah dengannya. Lain kali Ibu akan mencarikan pasan
"Untuk sementara ini biarkan saja dia." Dimas masih tidak berniat untuk menghentikan Dio. Meskipun itu berarti mereka jadi memboroskan bahan bangunan, dia berencana untuk mengatasi Dio dengan cara yang lebih keras, membuat pria itu membayar dengan harga yang lebih mahal.Setelah menutup telepon, Dimas kembali ke kamar."Sayang, kenapa kamu belum tidur?" tanya Dimas sambil duduk di tempat tidur, lalu mengelus tubuh Amel dengan penuh kasih."Aku sedang menunggumu. Aku nggak bisa tidur kalau kamu nggak ada di sini," jawab Amel sambil tersenyum manis."Kalau kamu mengantuk, kamu tidur dulu saja. Aku mau mandi dulu."Amel mengangguk patuh, lalu memainkan ponselnya sambil menunggu Dimas.Dimas mandi dengan sangat cepat. Dia keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya dalam waktu kurang dari 10 menit. Amel tidak bisa menahan diri untuk tersipu ketika melihat otot perut Dimas.Meskipun mereka berdua sudah tidur bersama, Amel tetap merasa malu saat melihat adegan ini."Say
Sambil mengatakan ini, Dimas memakaikan sabuk penghangat di pinggang Amel dengan perhatian."Kapan kamu membelikanku barang semacam ini?" tanya Amel dengan terkejut. Dia bahkan tidak tahu kapan Dimas membeli barang seperti ini untuk dirinya."Aku melihat seseorang merekomendasikannya di internet minggu lalu. Jadi, aku membelinya untuk dicoba. Setelah barangnya sampai, aku menaruhnya di lemari. Aku pikir baru mengeluarkannya kalau kamu merasa nggak nyaman saat menstruasi. Sekarang kelihatannya kamu memerlukannya," kata Dimas dengan sedikit bangga."Sayang, kamu benar-benar perhatian. Kamu merawatku dengan begitu baik, kelak aku jadi nggak bisa hidup tanpamu," kata Amel dengan gembira sambil meminum minuman yang sudah disiapkan Dimas."Kalau begitu, kita akan bersama selamanya, nggak akan pernah berpisah. Aku akan menjadi pendukungmu selamanya," kata Dimas dengan serius. Sejak dia dan Amel menikah, dia berencana untuk selalu bersama dengan wanita ini selama sisa hidupnya.Setelah Amel se
"Benar katamu. Mereka sudah menyinggung hampir semua orang di desa. Aku mau lihat siapa yang masih akan memercayai kata-kata mereka." Lili biasanya memperlakukan orang dengan sangat lembut, tapi kali ini dia juga sudah dibuat marah oleh mereka."Sudahlah. Kalian berdua berhentilah membicarakan masalah ini. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluarga kita." Gibran menghela napas tak berdaya. Meski dia tahu bahwa keluarga kakak laki-lakinya itu sudah melakukan sesuatu yang salah, dia akan selalu berusaha menjaga kedamaian keluarga."Ayah, menurutku karena Ayah selalu bersikap seperti ini, Paman dan keluarganya jadi sangat semena-mena. Ayah adalah orang yang terpelajar, juga berwawasan luas, jadi Ayah nggak mau berdebat dengan mereka. Tapi mereka akan semakin merasa wajar kalau keluarga kita bersikap baik pada mereka. Waktu itu mereka hampir menghancurkan toko Amel. Selama dua hari mereka tinggal di rumah kami, rumah kami juga selalu dalam keadaan kacau. Vas besar yang diletakkan oleh teman
"Sepertinya Ibu semakin menyukai menantumu. Apa menurutmu menantumu jauh lebih berbakti daripada putrimu sendiri?" tanya Amel sambil mengerutkan bibirnya."Tentu saja. Oh ya, Amel aku dengar dari Bibi Mirna kalau harga rumah di Amarilis, perumahan yang baru dibangun di dekat rumah kita, sedang turun harga. Harganya hanya 20 juta per meter persegi. Bagaimana kalau kalian berdua melihat-lihat rumah di sana? Terus tinggal di rumah sewaan bukanlah pilihan yang baik." Lili tiba-tiba membahas masalah rumah."Beberapa waktu lalu aku juga mendengar harga rumah di sana sedang turun. Aku nggak menyangka berita ini benar. Kalau ada waktu, aku akan ke sana untuk melihat-lihat.""Oke, kamu bisa pergi untuk melihat-lihat kalau ada waktu. Tempat itu dekat dengan sekolah, kawasan sekitarnya juga relatif ramai. Yang paling penting, tempat itu juga dekat dengan rumah kita. Nanti kamu dan Dimas bisa sering-sering makan bersama kami." Tempat tinggal mereka yang sekarang memang tidak jauh, tapi Lili masih
Dimas dengan perhatian menyerahkan potongan steik pada Amel. Lili menjadi makin yakin bahwa dia tidak salah menilai menantunya ini. Menantunya ini tahu bagaimana menjaga putrinya!"Bu, aku ingat kamu bilang kamu ingin membeli gelang emas kecil beberapa waktu lalu. Kebetulan kita ada di luar hari ini, bagaimana kalau kita pergi melihat-lihat? Kalau ada yang cocok, belilah satu," saran Amel.Lili melambaikan tangannya dengan malu sembari berkata, "Aku hanya asal mengatakannya saja. Karena melihat Mirna memakai gelang emas kecil, aku rasa itu cukup bagus.""Kebetulan ada pusat perbelanjaan di daerah sini. Pasti ada gelang emas yang dijual di sana. Ayo kita pergi untuk melihat-lihat setelah makan." Dimas mengikuti saran Amel."Karena kedua anak ini ingin berbelanja denganmu, kita pergi saja," timpal Gibran. Lili akhirnya setuju.Setelah makan siang, mereka pergi ke pusat perbelanjaan terdekat. Lantai pertama pusat perbelanjaan tersebut hampir dipenuhi toko-toko yang menjual perhiasan emas.