“Bunda,” panggil Shanka lirih setelah melihat Aneska mendekat.“Bunda di sini, Nak. Apa yang kamu rasakan, Nak? Apakah ada yang sakit?” tanya wanita itu yang dijawab dengan gelengan.“Mana Om Elvan?”Aneska mengernyit heran mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil Shanka. Namun, belum sempat membuka mulut, suara lirih Shanka kembali terdengar.“Mana Om Elvan, Bunda? Shanka mau ngomong sama Om Elvan.”Aneska menghela napas panjang sebelum berbalik dan berlalu keluar UGD untuk memanggil Elvano. Pria yang masih setia duduk di kursi sambil menengadah itu spontan menunduk begitu mendengar langkah mendekat.“Shanka mau ketemu Bapak.”Elvano mengulas senyum tipis sebelum bangkit dan masuk ke ruang UGD. Dia mendekat dan langsung memeluk anaknya.“Maafkan Om, ya? Om enggak tahu kalau Shanka ternyata alergi seafood. Kenapa Shanka enggak bilang sama Om?”Shanka mengulas senyum tipis sebelum menepuk pelan punggung Elvano. “Shanka juga lupa, Om. Shanka terlalu senang karena b
Aneska mendengkus kesal kala melihat Elvano sudah duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu indekos itu. Usai mengatur gelebah dalam dada, wanita itu duduk di kursi yanng berseberangan dengan Elvano.“Mau apa Bapak ke sini? Jika mau bertemu dengan Shanka, dia sedang tidur.”“Aku ke sini cuma mau anterin ini, Nes.” Elvano meletakkan sebuah bungkusan plastik ke meja sebelum mendorongnya mendekati Aneska. “Aku tahu kamu belum makan, makanya aku sengaja beli itu buat kamu.”Aneska hanya melirik bungkusan itu dan bangkit dari duduk. “Bawa kembali makanan itu, Pak. Saya masih bisa cari makan sendiri.”Elvano menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. “Pantang bagiku membawa apa yang sudah aku beri untuk orang lain. Kalau begitu, aku pamit.”Elvano mengayun langkah menuju mobil sebelum melajukannya meninggalkan indekos. Sementara itu, Aneska masih bergeming beberapa jenak sebelum meraih bungkusan plastik tadi dan membawanya ke kamar. Lalu, membuka dan terkesiap melihat tu
“Beneran, Om?”Elvano mengangguk sambil terus mengulas senyum. “Tentu saja beneran. Memangnya Shanka mau apa dari Om?”“Shanka enggak mau apa-apa, Om. Ehm, kalau misal Shanka panggil ayah boleh enggak? Kalau Shanka panggil ayah ada yang marah enggak? Kata Bunda, Shanka harus tanya dulu, takutnya anak Om marah nanti kalau Shanka juga manggil Om ayah.”Elvano terkesiap dan menatap Shanka tak percaya. “Maksudnya, Shanka mau panggil Om dengan sebutan ayah?”Shanka mengangguk dengan binar mata bahagia. Sontak Elvano tersenyum lebar sambil mengusap rambut anaknya. “Tentu saja enggak ada yang bakalan marah. Shanka sangat boleh panggil Om dengan sebutan ayah.”Shanka spontan memeluk Elvano dan mengecup pipi kirinya. Keduanya larut dalam kebahagiaan seiring tawa yang terdengar dari dalam kabin mobil hingga sampai di depan gerbang sekolah Shanka.“Jadi deal, ya? Shanka boleh panggil ayah sebagai imbalan karena mau bantuin Om buat dapetin maafnya Bunda.”“Deal.” Shanka mengangguk mantap s
Aneska bergegas mendekati Shanka yang meraung usai membanting mobil mainannya. Dia dekap erat tubuh bocah itu dan mengusap punggungnya. Masih terasa hebat getaran diiringi isak tangis tertahan dari bibir mungil sang anak saat Aneska mengajaknya duduk di gazebo. Tak ada yang dia lakukan kecuali menunggu hingga tangisan anaknya mereda.Selang sepuluh menit, Shanka sudah berhenti menangis. Namun, sesekali masih terdengar isaknya. Aneska segera melerai pelukan dan menghapus air mata yang membasahi pipi bocah itu.“Shanka kenapa? Shanka marah gara-gara Ayah enggak ke sini sesuai janjinya, ya?”Shanka mengangguk lemah sebelum kembali memeluk erat ibunya. Lagi, tangisnya terdengar, meskipun sangat lirih. Aneska hanya tersenyum tipis sambil mengusap punggung anaknya hingga malam sempurna datang. Saat lampu yang menerangi gazebo menyala, tampak wajah sembab Shanka damai dalam pelukan Aneska. Rupanya lelah setelah menangis membuat bocah itu lelap tertidur.Setelah meminta izin, Aneska memil
Aneska bergeming di dalam ruang rawat inap di mana Elvano sedang terbaring lemah setelah asam lambungnya kumat. Wanita itu duduk di samping brankar dan menatap lekat Elvano yang masih terpejam. Sebuah jarum infus menembus tangan kirinya.“Bunda, Ayah sakit apa? Kenapa harus dibawa ke sini dan disuntik? Apa Ayah sakit gara-gara Shanka marah?”“Enggak, Nak. Semua ini bukan salah kamu. Ayah memang sejak dulu sudah sakit seperti ini.”Shanka mendekati Aneska dan merangkulnya erat. Dia menenggelamkan kepala di bahu wanita itu dan mulai terisak. Melihat hal itu, Aneska langsung menarik sang anak dan mendudukkannya di pangkuan. Dia hapus air mata yang mengalir membasahi pipi bocah itu sebelum mengecup pipinya.“Shanka kenapa? Kok, sedih?”“Apa Ayah akan sembuh, Bunda? Apa Ayah akan bangun lagi? Shanka enggak mau kehilangan Ayah Elvan sama seperti ayah Shanka.”Aneska mencelus mendengar ucapan anaknya. Dia langsung merengkuh bocah itu ke dalam dekapan. Dia paham bagaimana perasaan sang
Aneska bergeming saat ucapan Shanka kembali berputar di kepala. Namun, dia segera menggeleng lemah sebelum melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Jujur, hatinya masih meragu oleh perubahan sikap Elvano. Meskipun pria itu sudah jujur tentang hubungannya dengan Mazaya yang kembali kandas, pun tentang perasaannya, tetapi Aneska masih belum bisa menerimanya kembali dengan berbagai pertimbangan.“Nes, ngapain ngelamun? Pasti mikirin suami bule kamu itu, ya?” tanya Maisa begitu melihat Aneska bergeming sebelum menggeleng lemah dan kembali melamun.“Ih, Mbak sok tahu banget. Aku cuma lagi ngitung kira-kira utang papaku kurang berapa lagi.”Maisa terkekeh sebelum mengambil alih pekerjaan Aneska. “Jemput Shanka saja sana. Kasihan kalau sampai telat nanti.”Aneska mengulas senyum tipis sebelum beranjak meninggalkan meja kasir. Lalu, melajukan motor menuju sekolahan sang anak. Setibanya di sana, wanita itu segera ke kelas dan menemukan Shanka duduk sendirian karena semua temannya sud
“Kamu masih ingat ini, kan, Nes?”Aneska menatap lekat benda yang ada di tangan Elvano sebelum membuang pandangan. Ingatannya dipaksa kembali ke masa saat menikah dengan Elvano. Ya, cincin yang pernah dipakaikan dengan kasar itu kembali tampak di depan mata. Dia menggeleng lemah dan bangkit dari bangku. Namun, saat hendak berlalu, Elvano mencekal pergelangan tangannya.“Kembalilah padaku, Nes. Aku mau kita mulai lagi dari awal. Hanya ada kamu dan aku.”Aneska menatap lekat wajah Elvano sebelum beralih kepada cincin yang dibawanya. Hatinya meragu, antara menerima atau menolak tawaran pria itu.“Maaf, saya perlu waktu lagi untuk memikirkan semuanya, Pak. Saya tidak mau kembali terluka karena berjuang sendirian.”Elvano menghela napas panjang sebelum mengendurkan cekalannya. Dia menunduk karena merasa kecewa dengan penolakan Aneska. Semua yang dikatakan wanita itu memang benar adanya. Semua ini adalah salahnya, maka butuh perjuangan ekstra untuk meyakinkan Aneska kembali.“Sebegitu
Elvano menggigit roti di tangannya dengan hati bahagia. Dia mengulas senyum sambil mengunyah makanan itu sebelum melirik Aneska yang lebih memilih membuang pandangan keluar jendela.“Ayah juga suka sarapan roti, ya? Shanka juga. Apa lagi roti dengan selai nanas atau cokelat.”Elvano menoleh ke belakang setelah berhasil menghabiskan rotinya. “Oh, ya? Ayah juga suka sarapan roti. Kalau Bunda pasti lebih suka sarapan nasi, kan?”“Kok, Ayah tahu? Bunda memang suka sarapan nasi. Katanya enggak makan kalau enggak makan nasi.”Elvano terkekeh sebelum mengambil botol mineral yang selalu dibawanya di mobil. Lalu, menenggak minuman itu hingga tandas.“Siap berangkat sekarang, Jagoan?”Shanka mengacungkan jempol dan kembali duduk dengan tenang saat mobil berjalan perlahan menyusuri jalanan. Sepanjang perjalanan, hanya celoteh dari mulut Shanka yang terdengar karena baik Aneska dan Elvano sama-sama memilih bungkam. Mereka berdua hanya menanggapi celotehan Shanka sebelum kembali bungkam.Se