“Beneran, Om?”Elvano mengangguk sambil terus mengulas senyum. “Tentu saja beneran. Memangnya Shanka mau apa dari Om?”“Shanka enggak mau apa-apa, Om. Ehm, kalau misal Shanka panggil ayah boleh enggak? Kalau Shanka panggil ayah ada yang marah enggak? Kata Bunda, Shanka harus tanya dulu, takutnya anak Om marah nanti kalau Shanka juga manggil Om ayah.”Elvano terkesiap dan menatap Shanka tak percaya. “Maksudnya, Shanka mau panggil Om dengan sebutan ayah?”Shanka mengangguk dengan binar mata bahagia. Sontak Elvano tersenyum lebar sambil mengusap rambut anaknya. “Tentu saja enggak ada yang bakalan marah. Shanka sangat boleh panggil Om dengan sebutan ayah.”Shanka spontan memeluk Elvano dan mengecup pipi kirinya. Keduanya larut dalam kebahagiaan seiring tawa yang terdengar dari dalam kabin mobil hingga sampai di depan gerbang sekolah Shanka.“Jadi deal, ya? Shanka boleh panggil ayah sebagai imbalan karena mau bantuin Om buat dapetin maafnya Bunda.”“Deal.” Shanka mengangguk mantap s
Aneska bergegas mendekati Shanka yang meraung usai membanting mobil mainannya. Dia dekap erat tubuh bocah itu dan mengusap punggungnya. Masih terasa hebat getaran diiringi isak tangis tertahan dari bibir mungil sang anak saat Aneska mengajaknya duduk di gazebo. Tak ada yang dia lakukan kecuali menunggu hingga tangisan anaknya mereda.Selang sepuluh menit, Shanka sudah berhenti menangis. Namun, sesekali masih terdengar isaknya. Aneska segera melerai pelukan dan menghapus air mata yang membasahi pipi bocah itu.“Shanka kenapa? Shanka marah gara-gara Ayah enggak ke sini sesuai janjinya, ya?”Shanka mengangguk lemah sebelum kembali memeluk erat ibunya. Lagi, tangisnya terdengar, meskipun sangat lirih. Aneska hanya tersenyum tipis sambil mengusap punggung anaknya hingga malam sempurna datang. Saat lampu yang menerangi gazebo menyala, tampak wajah sembab Shanka damai dalam pelukan Aneska. Rupanya lelah setelah menangis membuat bocah itu lelap tertidur.Setelah meminta izin, Aneska memil
Aneska bergeming di dalam ruang rawat inap di mana Elvano sedang terbaring lemah setelah asam lambungnya kumat. Wanita itu duduk di samping brankar dan menatap lekat Elvano yang masih terpejam. Sebuah jarum infus menembus tangan kirinya.“Bunda, Ayah sakit apa? Kenapa harus dibawa ke sini dan disuntik? Apa Ayah sakit gara-gara Shanka marah?”“Enggak, Nak. Semua ini bukan salah kamu. Ayah memang sejak dulu sudah sakit seperti ini.”Shanka mendekati Aneska dan merangkulnya erat. Dia menenggelamkan kepala di bahu wanita itu dan mulai terisak. Melihat hal itu, Aneska langsung menarik sang anak dan mendudukkannya di pangkuan. Dia hapus air mata yang mengalir membasahi pipi bocah itu sebelum mengecup pipinya.“Shanka kenapa? Kok, sedih?”“Apa Ayah akan sembuh, Bunda? Apa Ayah akan bangun lagi? Shanka enggak mau kehilangan Ayah Elvan sama seperti ayah Shanka.”Aneska mencelus mendengar ucapan anaknya. Dia langsung merengkuh bocah itu ke dalam dekapan. Dia paham bagaimana perasaan sang
Aneska bergeming saat ucapan Shanka kembali berputar di kepala. Namun, dia segera menggeleng lemah sebelum melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Jujur, hatinya masih meragu oleh perubahan sikap Elvano. Meskipun pria itu sudah jujur tentang hubungannya dengan Mazaya yang kembali kandas, pun tentang perasaannya, tetapi Aneska masih belum bisa menerimanya kembali dengan berbagai pertimbangan.“Nes, ngapain ngelamun? Pasti mikirin suami bule kamu itu, ya?” tanya Maisa begitu melihat Aneska bergeming sebelum menggeleng lemah dan kembali melamun.“Ih, Mbak sok tahu banget. Aku cuma lagi ngitung kira-kira utang papaku kurang berapa lagi.”Maisa terkekeh sebelum mengambil alih pekerjaan Aneska. “Jemput Shanka saja sana. Kasihan kalau sampai telat nanti.”Aneska mengulas senyum tipis sebelum beranjak meninggalkan meja kasir. Lalu, melajukan motor menuju sekolahan sang anak. Setibanya di sana, wanita itu segera ke kelas dan menemukan Shanka duduk sendirian karena semua temannya sud
“Kamu masih ingat ini, kan, Nes?”Aneska menatap lekat benda yang ada di tangan Elvano sebelum membuang pandangan. Ingatannya dipaksa kembali ke masa saat menikah dengan Elvano. Ya, cincin yang pernah dipakaikan dengan kasar itu kembali tampak di depan mata. Dia menggeleng lemah dan bangkit dari bangku. Namun, saat hendak berlalu, Elvano mencekal pergelangan tangannya.“Kembalilah padaku, Nes. Aku mau kita mulai lagi dari awal. Hanya ada kamu dan aku.”Aneska menatap lekat wajah Elvano sebelum beralih kepada cincin yang dibawanya. Hatinya meragu, antara menerima atau menolak tawaran pria itu.“Maaf, saya perlu waktu lagi untuk memikirkan semuanya, Pak. Saya tidak mau kembali terluka karena berjuang sendirian.”Elvano menghela napas panjang sebelum mengendurkan cekalannya. Dia menunduk karena merasa kecewa dengan penolakan Aneska. Semua yang dikatakan wanita itu memang benar adanya. Semua ini adalah salahnya, maka butuh perjuangan ekstra untuk meyakinkan Aneska kembali.“Sebegitu
Elvano menggigit roti di tangannya dengan hati bahagia. Dia mengulas senyum sambil mengunyah makanan itu sebelum melirik Aneska yang lebih memilih membuang pandangan keluar jendela.“Ayah juga suka sarapan roti, ya? Shanka juga. Apa lagi roti dengan selai nanas atau cokelat.”Elvano menoleh ke belakang setelah berhasil menghabiskan rotinya. “Oh, ya? Ayah juga suka sarapan roti. Kalau Bunda pasti lebih suka sarapan nasi, kan?”“Kok, Ayah tahu? Bunda memang suka sarapan nasi. Katanya enggak makan kalau enggak makan nasi.”Elvano terkekeh sebelum mengambil botol mineral yang selalu dibawanya di mobil. Lalu, menenggak minuman itu hingga tandas.“Siap berangkat sekarang, Jagoan?”Shanka mengacungkan jempol dan kembali duduk dengan tenang saat mobil berjalan perlahan menyusuri jalanan. Sepanjang perjalanan, hanya celoteh dari mulut Shanka yang terdengar karena baik Aneska dan Elvano sama-sama memilih bungkam. Mereka berdua hanya menanggapi celotehan Shanka sebelum kembali bungkam.Se
Elvano bergegas menyambar kunci mobil dan berlari keluar kamar menuju mobilnya. Lalu, melajukan kendaraan roda empat itu dengan sedikit tergesa menuju mini market dan bergegas menuju rak di mana terdapat bermacam-macam merek pembalut. Pria itu menggaruk kepala dan bergeming beberapa jenak sampai mengambil semua merek dan segera membawanya ke meja kasir.“Ini saja, Pak?” tanya sang penjaga kasir.Elvano mengerutkan dahi sambil mengusap dagu, tampak sedang berpikir keras. Lalu, menoleh ke kiri dan kanan sebelum mencondongkan tubuh ke arah penjaga kasir.“Ada obat pengurang sakit karena nyeri datang bulan?” tanya Elvano dengan nada lirih.“Mau berapa, Pak?” tanya penjaga kasir itu lagi.“Semuanya saya beli. Istri saya sedang kesakitan soalnya. Yang cepat, ya, Mbak?”Sang penjaga kasir terkikik sebelum mengangguk dan menuju rak di mana sebuah minuman jamu tradisional yang dikemas modern terpajang. Dia mengambil yang ada di sana dan membawanya ke meja kasir untuk dihitung.Usai memb
Aneska seger mendorong dada Elvano agar menjauh, kemudian menyibakkan rambut ke belakang telinga untuk membunuh gugup. Debaran jantungnya menjadi dua kali lipat lebih kencang dari tadi saat Elvano hampir saja menciumnya. “Ayah sama Bunda mau ngapain tadi?” tanya ulang Shanka sambil berkacak pinggang dan menatap kedua orang di depannya secara bergantian. “Bunda masuk dulu, ya? Mendadak sakit perutnya kumat lagi.” Aneska berjalan ke dalam sambil meremas perutnya, sedangkan Elvano menggaruk kepala sebelum tersenyum canggung karena melihat tatapan tajam anaknya. “Ehm, Ayah tadi mau bantuin Bunda ngilangin debu di matanya. Eh, Shanka keburu datang.” Shanka mencebik sebelum berbalik meninggalkan Elvano yang menghela napas panjang penuh kelegaan. Pria itu kembali menumpukan tangan ke balkon dan tertawa mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. “Bodoh! Kenapa bisa sampai lupa tempat?” Elvano menepuk dahi sebelum berbalik dan melangkah mendekati Shanka. Dia duduk di samping bocah itu d
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia