Maura menjatuhkan pigura foto dari tangannya.PyarrrrSuara kaca dari pigura itu memenuhi ruangan kosong di rumah besar ini. Air matanya seakan kering dengan rasa sesak menekan dadanya.“Kamu tega sekali, Mas Ali!” ujarnya.Matanya yang basah menatap foto dirinya yang tersenyum dengan sang suami yang memeluknya dari belakang. Di sana tampak kebahagiaan yang seakan abadi dari keluarga kecil yang sempurna. Di sana Cilla masih kecil. Rambut Cilla gadis diikat dua dengan mata berbinar. “Mengapa aku bisa sebodoh ini?” tanya Maura seorang diri. “Aku hidup dalam kebohongan, sedang suamiku berselingkuh dengan orang yang sudah aku anggap saudara sendiri.” keluhnya sambil menatap foto itu.“Di mana letak kurangku? Sampai hati orang seperti mas Ali mengkhianati aku. Ya Allah, sakit sekali rasanya.” Sederet kalimat menyalahkan diri dan mempertanyakan kekurangan terus Maura ucapkan. Wanita yang akan segera memiliki cucu itu sangat terpukul hingga hari beranjak malam. Ia tetap melakukan aktivitas
Bastian seakan ingin menarik pipi istrinya kalau saja wanita itu tidak sedang hamil. Dia sangat takut saat mendapati Cilla menangis tersedu. Kejadian sebelumnya, Cilla sedang menyalakan air hangat. Ia mengisi bak mandi dengan air hangat dan air dingin. Setelah penuh dan dirasa pas untuk mandi, dia beranjak ke lemari. “Bastian kalau sore suka pakai kaos kutung.” katanya seraya mencari atasan yang dimaksud di lemari. Cilla terkejut saat sebuah buku jatuh di kakinya. Bruk “Augh, sakit!” serunya. Sambil melihat keadaan kakinya, wanita hamil itu mengambil buku bersampul hitam yang jatuh tadi. Ia mengerutkan keningnya dalam. “Astaghfirullah, Tian naruh buku di sini!” gerutu Cilla kemudian membuka buku itu. “Diari Bastian, ha? Dia punya buku diary. Hahaha,” kata Cilla dengan tertawa geli. Tangannya membuka buku itu. Hal pertama yang membuatnya tersenyum. Foto Bastian sewaktu SMP dan setelah ia membuka halaman berikutnya alangkah terkejutnya dia. “Fotoku,” katanya lirih. Saat ini,
“Aku pulang telat, Ya Kop. Kamu tidur duluan saja,” kata Bastian siang itu. Pria itu membenarkan posisi kemejanya dan gesper yang melingkar di pinggangnya. Sedangkan sang istri membawakan tas berisi laptop dan mengantarkan hingga teras rumah.“Emang mau kemana?”“Lembur aja,” jawab Bastian singkat.Pria itu melipat kakinya lantas memeluk perut buncit sang istri. Akhir-akhir ini, Bastian sering melakukan hal semacam ini. Cilla tidak tahu sedang apa suaminya itu di sana. Dia melihat Bastian seperti mengobrol dengan perutnya berakhir mengecup perutnya."Tian, hati-hati ya. Gak usah ngebut," ucap wanita hamil itu.Bastian sambil memandang tajam sang istri. Ia meraih rambut Cilla dan mengusapnya lembut, menampilkan senyuman tipis yang hampir tak terlihat di bibirnya.Cilla menatap Bastian dengan ekspresi cemas. Ia menatap ujung sandalnya, seolah sedang mencari keberanian atau alasan untuk tidak ditinggalkan oleh Bastian. Bastian mencoba menebak apa yang ada di pikiran istrinya. Dengan ra
"Assalamualaikum," teriak Vika dengan nada yang ragu-ragu di depan pagar tinggi rumah Maura. Pagar tinggi itu mengelilingi rumah dengan tegas. Gadis itu merasa gugup, terbebani oleh hal yang terungkap dan membuatnya merasa sangat bersalah terhadap Maura.Maura datang dengan cepat setelah mendengar dering bel di ujung pagar. Ia melewati gerbang dan menghadapi Vika dengan senyuman hangat di wajahnya. "Vika, ayo masuk," ajak Maura, mencoba menenangkan gadis itu.Vika merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tahu bahwa apa yang dia ketahui adalah sesuatu yang memalukan dan sangat membuatnya merasa bersalah terhadap Maura. Hatinya berat saat melangkah masuk ke dalam rumah itu, takut menghadapi kenyataan yang harus dihadapinya."Mbak Cilla ada, Bude?" tanya Vika dengan hati yang berdebar-debar."Loh, Cilla pulang diantar Danilo, Vika," jawab Maura setelah mereka mencapai teras rumah.
Air mata gadis itu terus mengalir deras, Vika mengendarai motor dengan kalut. Ia tidak tahu tujuan untuk pergi. Kekecewaan yang ia dapatkan atas kenyataan membunuh kebahagiaannya sejak saat itu. “Kamu gak pantas hidup, Vika!”“Kamu anak haram Vika!”“Kamu anak hasil hubungan gelap!”Sederet kalimat itu seakan berteriak di telinganya. Mengejeknya hingga terasa luka tidak mampu ia terima lagi. Di tengah motornya melaju tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan datang.TiiiiinnnnnnSuara klakson panjang dari mobil itu memekakan telinga.*Bastian berjalan mondar-mandir gelisah di depan pintu ruangan ICU, sepertinya waktu berhenti mengalir dan menggantikan semua warna dalam hidupnya dengan kecemasan yang mencekam. Ketika dokter belum juga muncul, ketakutannya semakin membesar. Keadaan sang istri sebelumnya yang tidak sadarkan diri membuatnya semakin khawatir.“Kopi… kamu harus kuat,” gumamnya dengan suara lirih, melambungkan doa-doa yang tulus ke langit.Detik dan menit terus berganti,
Bastian tidak tidur sejak kemarin. Namun hari ini ia tampak memejamkan matanya dan kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri efek kantuknya yang luar biasa. Rambutnya pun berantakan, wajahnya sangat kusut dengan baju kaos yang kusut pula.“Tian… Tian…” suara serak sang istri membuat pria itu bangun segera.“Sayang, kamu sadar.” kata Bastian senang.Ia melihat mata sang istri yang sayu dengan tangannya yang lemah terulur padanya.“Aku mau minum, Tian.” kata Cilla lirih nyaris tidak terdengar.Bastian segera membuka air mineral di meja. Ia memasukkan sedotan ke dalam botol. Tangannya memposisikan sang istri dengan nyaman agar bisa minum dengan baik.“Minum yang banyak,” kata Bastian.Cilla minum dengan hati-hati. Sangat terlihat wanita itu masih lemah. Dengan punggung tangannya tertancap jarum infus.“Sudah,” kata sang istri lirih.Bastian menutup kembali botol air tersebut, Cilla meminum hampir separuh botol.Hati Bastian rasanya hancur melihat istri terbaring lemah di hadapannya. Setiap
“Sayangnya, aku yang tidak mau dan tidak akan pernah mau menerima kamu untuk kembali, Mas. Bagiku, dibohongi selama puluhan tahun adalah penghinaan yang tidak bisa termaafkan. Aku, tidak akan mengulang kesalahan. Jangan pernah berharap apapun lagi, Mas. Cukuplah kamu menorehkan luka yang sangat dalam buatku.” Air mata Maura turun membasahi pipinya. Ia membalikkan badan dan melangkahkan kakinya mantap. Meskipun hatinya masih ada perasaan sayang pada pria itu, logikanya kini telah hidup. “Aku bisa melalui semua ini. Ya Allah kuatkan aku,’ gumam wanita itu.Berusaha keluar dari hubungan yang beracun adalah pilihan yang berat. Butuh sebuah tekad kuat dan harus tegar di saat sebuah ilusi menawarkan sebuah kebahagiaan palsu. “Belum tentu jika aku memaafkan Mas Ali. Hidup kami akan jauh dari sebuah pengkhianatan lagi. Bisa jadi, itu hanya sikap manipulatif seorang pelaku untuk memperdaya kita kembali.” kata Maura meyakinkan dirinya.“Kamu sudah benar Maura! Jangan berhenti dari langkahmu.
Danilo menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia kini duduk di ruang tunggu usai sang kekasih siuman. Kenyataan yang memukul sang kekasih, membuatnya ikut hanyut dalam kesedihan.“Aku janji, Dek. Kita lewati ini sama-sama.” Danilo mengingat kalimatnya usai Vika mendapati dirinya yang harus menerima kenyataan pahit.“Aku lumpuh, Mas. Aku gak bisa jalan lagi. Hiks…” kata Vika dengan menangis tersedu.“Iya, tapi dokter bilang masih ada harapan buat kamu bisa berjalan lagi, Dek. Pasti kamu bisa jalan lagi. Percaya sama Mas.”Danilo mengingat kejadian beberapa saat lalu. Di mana dirinya menenangkan Vika. Kekasihnya itu tertidur usai dokter memberikan suntikan penenang. “Dek, kasihan kamu.” gumam Danilo.*“Bastian, jangan masukkan ke dalam hati. Istrimu sedang tidak menyadari perkataannya.” kata Maura menenangkan sang menantu.Bastian tersenyum kecut mendengarnya. Pria itu hanya mampu diam, tanpa melawan ujaran kebencian sang istri padanya. Dia tahu, Cilla sedang sedih. Dia me