***Seluruh keluarga I&S Group berduka. Freya, yang harusnya mendapat keadilan setelah Ludwig dan Alfred tertangkap, malah ditemukan tak bernyawa. Wanita itu diduga melompat dari lantai atap gedung dan menghebohkan seluruh rumah sakit.“Tidak … kenapa kau meninggalkan Mami, Freya? Semuanya sudah terungkap, harusnya kau bisa sembuh, kau bisa kembali ke duniamu. Mengapa … mengapa kau malah pergi dari Mami?!” Lariat Anne menangis hebat di pelukan Eldhan.Ya, suaminya itu merengkuh bahu Anne. Dia yang juga merasakan kesedihan mendalam, memeluk erat istrinya yang terus meraung di pemakaman. Bahkan saking histerisnya, Lariat Anne sampai tak sadarkan diri. Eldhan buru-buru mengangkat sang istri meninggalkan pemakaman putrinya dengan perasaan hancur.Di sana, River dan kedua orang tuanya juga hadir. Pria itu masih tinggal di depan makam Freya setelah semua pelayat pergi. Dia meletakkan mawar putih di pusara tersebut. Dengan manik gemetar, River memberi penghormatan terakhirnya.‘Maaf, aku gag
“Membunuh? Apa maksudmu?!” Adeline mendecak dengan manik selebar cakram. Bukannya menjelaskan, River malah merengkuh dagu Adeline dan menatapnya sangat tajam. “Jangan pura-pura bodoh, Adeline! Kau bertanya soal Freya, kau membuntutiku ke Medital dan kau ada di lokasi kejadian Freya meninggal. Kau, kau adalah orang terakhir yang mengunjunginya!” dengus River dengan ekspresi berang. “Jadi kau menuduhku pembunuh hanya karena aku mendatanginya?!” sambar Adeline dengan gigi terkatup. Sengatan amarah menderanya, dia tak menyangka bahwa River berpikiran sempit karena cinta pertamanya lenyap. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu menyahut, “lalu apa tujuanmu mengunjungi Freya?!” Ada jeda di antara mereka. Adeline yang bungkam membuat situasi kian tegang. ‘Aku tidak mungkin jujur padanya,’ batin wanita itu resah. Dia pun menajamkan pandangan seraya menjawab, “aku hanya penasaran!” Sekejap, seringai berbahaya merayapi bibir River. Panas naik ke wajahnya saat mendengar alasan selepe
“Jadi dia?!” River bergumam sinis saat memandangi foto Sabrina.Siegran yang sedari tadi berdiri di hadapannya pun membalas, “kami mendunga Nyonya Sabrina menyamar sebagai perawat, lalu menyakiti Nona Freya karena putranya di penjara, Tuan.”“Itu sudah jelas!” sahut River memicing tajam.Pria itu meletakkan foto ibu mertuanya, lalu menatap Siegran. “Segera selesaikan Sabrina. Dia sangat mengganggu. Dia turut andil dalam kasus Freya, jadi sudah seharusnya dia mendekam di penjara bersama putranya!”“Benar, Tuan. Tapi mungkin akan sulit karena lagi-lagi tidak ada saksi ataupun bukti langsung untuk menangkap Nyonya Sabrina,” balas Siegran was-was.River juga tahu itu, melawan Sabrina tanpa persiapan sepertinya cukup merepotkan. Namun, dirinya tak bisa menunggu lebih lama jika itu menyangkut Freya.‘Apapun yang terjadi, aku harus melempar wanita itu ke penjara!’Seringai River mendadak muncul saat dia mengingat seseorang.***Hingga esok harinya, Sabrina yang sedang berkunjung di galeri s
‘Sabrina membunuh Ibu kandung Adeline?!’ batin River tertegun.Sejak tadi pria itu mengawasi Mickey dari balik kaca hitam ruang interogasi. Dia tak menyangka akan mendengar kebusukan mertuanya sedalam ini. Rahang River mengeras, kini dia mengerti bahwa Adeline sangat membenci Sabrina.‘Hah … sialan! Apa Adeline tahu hal ini?’Tanpa sadar, River mencemaskan perasaan sang istri.Bahkan setelah interogasi itu, River meminta Siegran untuk membawa Mickey padanya. Dia ingin mendengar lebih banyak tentang kejahatan Sabrina.River menungu di mobil. Tak sampai lima menit, Siegran pun datang bersama Mickey. Alih-alih masuk ke sedan mewah itu, Mickey malah mengetuk jendela dari luar.Begitu River menurunkan jendela, Mickey lantas berkata, “pertemukan saya dengan Nona Adeline.”Seringai sinis tersungging di sebelah bibir River. Mata elangnya melirik Mickey amat tajam.“Bicaralah denganku!” decaknya dingin.“Tidak, saya harus mengatakannya langsung pada Nona Adeline.” Mickey menyahut dengan tampan
“Mengapa kau bersama Ibuku, Mickey?!” Adeline mendecak sinis.Tangannya gemetar memegang pinggiran foto sang ibu dan Mickey yang terlihat intim. Namun, lawan bincangnya malah menyeringai tipis seolah menikmati rasa penasaran Adeline.“Bagaimana menurut Anda, Nona?” sahut Mickey tersenyum tipis. “Atau sekarang saya harus panggil Adeline?”“Berhenti omong kosong dan jelaskan!” sambar Adeline mulai emosi. “Apa hubunganmu dengan mendiang Ibuku?!”“Claudine adalah Adikku,” sahut Mickey yang sontak memicu alis Adeline menyatu.Wanita itu mengerjap, kembali menilik foto di tangannya. “A-adik? Tidak mungkin, Ibu tidak pernah cerita tentang itu.”“Lebih tepatnya kami saudara kembar, tapi aku dan Claudine berpisah setelah orang tua kami cerai. Aku masih berhubungan dengan Claudine di awal pernikahannya dengan Heinry. Tapi aku berhenti menghubunginya saat masuk akademi militer di luar negeri.” Mickey menjelaskan semuanya.Adeline hanya bungkam mendengar itu. Dia menatap Mickey tanpa mengatakan a
“Tolong beri jalan!” Seorang Polisi memekik saat mendorong brankar Sabrina.Ya, wanita itu tampak lemas usai mencoba gantung diri. Dia tak sepenuhnya pingsan, tapi wajahnya sangat pucat.“Apa ambulance sudah datang?” sambung Polisi tadi tampak buncah.Seorang rekannya pun menyambar saat melihat para medis datang. “mereka tiba, Opsir!”Sementara Adeline, kini merapat ke dinding saat brankrar Sabrina melewatinya. Tanpa diduga, ibu tirinya itu menyeringai tipis saat melihatnya.Dengan kening mengernyit, Adeline membatin, ‘ah … sial. Ternyata ini hanya trik murahan!’Adeline paham benar, bahwa Sabrina yang terbiasa hidup di mansion mewah tak akan betah sedetikpun di lantai penjara yang kotor. Sebab itulah Sabrina melakukan segala hal untuk terbebas dari tempat itu.Dan benar saja, Sabrina segera dilarikan ke rumah sakit ibu kota. Dia mendapat perawatan penuh dan siuman usai beberapa jam.“Anda sudah sadar, Nyonya?” tutur Mickey yang duduk di sofa ruang rawat itu.Sabrina mengernyit, ekspr
***“Kau sudah bangun?” tutur River saat melihat alis Adeline berkedut dan perlahan membuka matanya.Kepala wanita itu terasa berat karena alkohol semalam. Dia mengerjap saat menyadari bahwa kini ada di kamar River.“Ugh … mengapa aku di sini?” gumamnya mengernyit lemas.River yang duduk di sofa seraya memandangi tab untuk melihat pekerjaannya, kini menyilangkan tangan ke dada.“Kau tidak ingat?” Dia balik bertanya.Adeline tertegun, maniknya kembali terpejam rapat saat mengingat sesuatu.‘Oh, shit!’ batinnya merutuki diri sendiri.River menyeringai tipis sembari berkata, “sepertinya kau mengingatnya, istriku?”“A-aku mabuk, tentu saja aku tidak ingat apapun.” Adeline menyambar cepat.“Sudah aku bilang, kau pembohong yang buruk,” balas River yang lantas menaikkan sebelah alisnya. “Aku ingat jelas saat kau memintaku bercinta denganmu.”Sial, wajah Adeline langsung merona. Dan itu semakin menarik bagi River.“Lihat? Wajahmu tidak bisa berbohong,” tutur River mengejek.Adeline membuang p
“Keluarlah,” tutur Sabrina melirik kuasa hukumnya.Begitu lelaki itu keluar, Sabrina pun bersandar di brankar dengan wajah tertekuk.“Kenapa kau baru datang?!” decaknya sinis. “Aku menyuruh Mickey, ah … tentu saja bajingan itu tidak memberitahumu!”“Jadi Mickey yang kau sebut bajingan dan membuatmu mengamuk?” sahut Heinry menebak.Ya, suami Sabrina itu berjalan mendekat, menatap tampang istrinya yang tampak kesal.Namun, Sabrina malah memicing dan mendengus marah. “Jangan pura-pura bodoh. Kau pasti sudah tahu semuanya!”“Apa maksudmu?” Heinry mengernyit bingung.“Claudine, dia punya saudara kembar ‘kan?!” sambar Sabrina yang membuat suaminya semakin tak mengerti.Dengan alis menyatu, Heinry pun menyahut, “mengapa kau tiba-tiba membahas Claudine? Berhentilah menyinggung orang yang sudah meninggal.”“Jawab saja pertanyaanku!” Nyonya Danieter itu meninggikan nadanya.Heinry sungguh muak, tapi akhirnya dia menjelaskan.“Ya, dia memang punya saudara kembar laki-laki. Namanya Kyle Leister,
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de
“Argh ….” Wanita yang bersama River mengerang saat dada kirinya tertembak.Gelenyar darah mengalir deras dari titik anak timah tenggelam. Wajahnya pun mulai pucat disertai keringat dingin karena menahan sakit.River merengkuhnya. Dengan alis bertaut, dia pun berkata, “bertahanlah, aku akan memanggil bantuan!”Baru saja selesai berujar, River merasakan tatapan tajam dari sebelah. Dengan sigap, dia mengacungkan pistol dan langsung melesatkan pelurunya. Akan tetapi tembakannya hanya mengenai pilar besar di sana.‘Brengsek!’ batinnya mengumpat saat menyadari beberapa orang berpakaian hitam mengelilingnya.Mereka semua membawa senjata. Dan itu membuat posisi River amat sulit karena dirinya kalah jumlah.Detik berikutnya dia dikejutkan oleh tepukan tangan yang menggema. Perhatian River sekejap teralih pada lelaki bermasker hitam yang berdiri di lantai atas.“River Reiner!” tukasnya penuh tekanan.Matanya memicing tajam pada wanita yang tertembak tadi dan lantas melanjutkan. “Apa kau sudah s