‘Apa yang dia bicarakan?!’ Adeline membatin sengit saat lelaki itu masuk ke lift.Gerak-geriknya sungguh mencurigakan. Terlebih caranya menatap Adeline, penuh hasrat tersembunyi.Adeline menjaga jarak beberapa langkah, tapi dia semakin was-was saat mendengar lelaki itu bergumam dengan Bahasa Tiongkok. Bahkan dia berani menyentuh lengan Adeline tanpa sopan!“Apa yang Anda lakukan?!” decak Adeline tersulut emosi.“Oh?!” Lelaki tadi lekas melepas lengan Adeline, lalu mengangkat tangannya menjauh. “Maaf, saya kira budaya di sini lebih terbuka. Bukankah orang-orang menyapa dengan berpelukan atau berciuman? Mengapa baru menyentuh, tapi Anda sudah marah?”‘Dasar gila!’ batin Adeline mencecar.Dia berusaha menahan kesal, lantas bertanya, “Anda orang Tiongkok?”“Hanya itu yang Anda tanyakan? Bukankah saya mirip seseorang? Atau … mungkin tidak?” sahut lelaki tadi menyeringai tipis.Adeline mendapukkan alisnya, dia benar-benar risih.‘Orang aneh, sebenarnya apa yang dia katakan?!’ gerutunya memb
***Hakim mengetuk palunya, usai mengumumkan bahwa Sabrina dijatuhi hukuman 20 tahun penjara untuk kasus Freya dan Claudine.“Tidak! Ini tidak mungkin!” Nyonya Danister itu memberang dengan wajah merahnya.Dia menoleh ke arah pengacaranya, lalu mencengkeram kerah lelaki itu dengan tatapan bengis.“Hei, brengsek! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau diam saja, hah?! Kau harusnya lakukan sesuatu. Lakukan apapun untuk membelaku!” berangnya penuh emosi.Pengacara pengganti itu hanya bergidik dengan wajah datar saat mendengar semua umpatan Sabrina.“Sialan! Aku tidak ingin dipenjara, aku tidak mau masuk tempat menjijikkan itu!” Sabrina terus mencecar seiring tangannya yang memukuli sang Pengacara. “Kau tidak berguna! Jika Velos yang ada di sini, aku pasti tidak akan dihukum!”Sabrina menggila hingga membuat suasana di ruang siding jadi panas. Bahkan dia menendang kursi sambil memekik kencang. Sungguh melunturkan aura konglomerat yang melekat padanya.Hal itu membuat semua orang yang hadir tak
Siegran menghentikan mobilnya di depan pemakaman nasional Turmalin. Dan itu membuat Adeline bertanya-tanya. ‘Apa River akan berziarah?’Tanpa mengatakan apaa-apa, River pun turun dari mobil. Dia mengambil karangan mawar putih yang disiapkan siegran, lalu berjalan memasuki makam.Begitu River menjauh, Adeline langsung menghampiri Siegran yang menunggu di dekat mobil.“Apa Freya beristirahat di sini?” tanya wanita tersebut.“Ah, benar, Nyonya.” Asisten River itu menjawab dengan tatapan canggung, cemas bila Adeline merasa tak nyaman.Tanpa diduga, wanita itu malah berkata, “Freya wanita yang beruntung. Dia punya seorang pria yang tulus mencintainya sampai akhir.”Mendengar itu Siegran seketika membeku. Entah ucapan Adeline jujur dari hati atau hanya sebatas sarkasan. Namun, Siegran akhirnya tahu saat Adeline melanjutkan. “Aku sangat iri padanya.”Ya, selama hidupnya tak ada satu orang pun yang berdiri di sisi Adeline. Bahkan ibu yang sangat menyayanginya sudah pergi. Ayah? Apa yang dia
“Sedang apa kau di sini?!” Heinry bertanya dengan nada dingin.Maniknya menatap tajam seolah ingin menusuk lawan bincangnya.“Tentu saja aku menunggumu. Apa kabar, Adik ipar?!” sahut Mickey mengandung cecaran.Heinry bergidik. Mendengar sebutan itu dari orang yang selama ini berperan sebagai kacung Sabrina, benar-benar membuatnya merinding.“Persetan dengan Adik ipar, brengsek! Jangan berlagak seperti kita adalah keluarga!” sambar Heinry penuh umpatan.Alih-alih marah, Mickey justru tertawa. Lelaki itu bersandar di sofa sembari melipat kedua tangan ke dada.“Ya, inilah sifat asli Heinry Daniester. Kau tahu siapa diriku, tapi kau tetap kasar,” tukas Mickey mencibir.“Diamlah, Kyle Leister! Aku tidak ada urusan denganmu,” sambar Heinry yang lantas berjalan mendekati Mickey.Sebelah bibirnya tersenyum miring seraya mengejek, “selama ini kau pasti kesulitan bersandiwara menjadi anjing peliharaan Sabrina. Tapi bagaimanapun juga kau berhasil membalas dendam ‘kan? Urusanmu sudah selesai, jad
“Mengapa? Mengapa Ayah bisa ….” Adeline tak mampu melanjutkan katanya. River segera meraih tab dari tangan Adeline. Alisnya menyatu ketika tahu bahwa Heinry dinyatakan bersalah atas kasus malpraltek lima belas tahun lalu. Ya, kala itu Heinry mengoperasi pasien yang menderita penyakit jantung. Namun, karena kelalaian selama operasi, Heinry bertindak gegabah dan menyebabkan pasien meninggal. Pihak rumah sakit naungan DNS Group menutup rapat kasus itu atas permintaan Sabrina. Sebagai imbalan, Sabrina meminta Heinry untuk menikahinya, tapi sayangnya Heinry sudah bertunangan dengan Claudine. Bertahun-tahun Sabrina sakit hati, dia pun menjebak Heinry agar tidur dengannya hingga dia hamil Ludwig, lalu meminta Heinry meninggalkan Claudine. Namun, Heinry tetap bersikeras mempertahankan pernikahannya, sampai Sabrina nekat melakukan hal gila. Dia menyewa pembunuh bayaran untuk melenyapkan Claudine, demi memiliki Heinry seutuhnya. Saat itulah hidup Heinry berubah total. Dia menjadi suami bone
“A-apa Anda tidak salah? Saya putrinya,” tutur Adeline bingung.“Benar, Nyonya. Tahanan menolak siapapun yang ingin mengunjunginya, termasuk Anda. Mungkin Anda bisa kembali lain hari,” balas Polisi di sana.Tak ada pilihan, akhirnya Adeline menyerah. Dia tak mungkin memaksa dan membuat keributan di sana.“Baiklah, terima kasih, Opsir,” sahut Adeline menunduk hormat.Dia berlalu dari ruangan tersebut. Namun, langkahnya berubah lambat saat tak sengaja melihat Sabrina di area lapangan. Ya, ibu tirinya itu memakai baju narapidana dan memegang sapu. Tampaknya sipir meminta para narapidana bersih-bersih.‘Apa kabar, Ibu?’ Adeline membatin sinis saat melihat ekspresi muram Sabrina.Tiba-tiba saja Adeline terbelalak saat melihat seorang wanita tinggi besar mendorong Sabrina hingga jatuh. Adeline mengernyit dan hanya mengawasi dari kejauhan. Tampaknya mereka tidak akur, dan wanita tinggi besar tadi terlihat membenci Sabrina. Bahkan dia menendang sapu dan menginjak tangan Sabrina yang hendak me
“Aku sedang mengunjungi toko kami di mall ini. Berkat bantuanmu, Ayah mengembalikan kendali Oilis Beauty padaku,” tutur Bianca antusias. “Aku tak sengaja melihatmu, jadi aku langsung menghampirimu, Reins!”Dia mengalihkan pandangan ke deretan kalung yang tadi dilihat River. “Karena kau sudah membantuku, sekarang aku akan membantumu. Kau ingin mencari hadiah untuk Adeline? Aku akan berikan rekomendasi gaya—”“Lepaskan! Aku tidak butuh bantuanmu!” sambar River yang lantas menyingirkan tangan Bianca darinya.“Oh? Ah, maaf, Reins. Aku tidak sengaja melakukannya, aku hanya bersemangat saat melihatmu.” Wanita itu pun mengambil jarak.Dia kembali melirik beberapa kalung merk ternama seraya berkata, “apa Adeline menyukai kalung? Aku rasa edisi musim semi dari brand Calline sangat menarik. Model ini sedang menjadi trend akhir-akhir ini.”River hanya bungkam mengamati Bianca mengoceh. Meski kesal karena wanita itu tiba-tiba ikut campur, tapi River tidak menghentikannya, karena dia memang butuh
‘Konglomerat generasi ketiga keluarga Herakles diam-diam membeli perhiasan untuk seorang wanita.’ Leher Adeline menegang saat membaca tajuk berita terkini di ponselnya.Tatapannya semakin tajam ketika melihat foto seorang wanita yang menggandeng lengan River.Ya, tanpa River ketahuai, rupanya malam itu ada paparazzi yang tak sengaja melihatnya bersama Bianca dan langsung menerbitkan artikel tak masuk akal.‘Siapa wanita ini? Apa River diam-diam memiliki kekasih?’ batin Adeline kesal.Sayangnya foto di situs berita itu tidak menampakkan wajah si wanita, hingga membuat Adeline kian dongkol dengan pikirannya. Adeline menyubit layar ponselnya untuk memperbesar foto tadi, tapi hatinya semakin panas.Dia bangkit lalu mendengus pelan, “aish, sialan! Mengapa mereka terlihat mesra? Apa mereka menjalin hubungan serius?!”Adeline menyugar belahan rambutnya dengan frustasi. “Aku tahu kita tidak boleh ikut campur urusan pribadi, tapi ….”Belum sempat wanita itu menuntaskan decaknya, tiba-tiba Rive
“Maaf, aku akan datang lagi nanti,” tutur Johan dengan raut wajah dinginnya. Dia tak sengaja bertatapan mata dengan Jenson yang ditindih Ashley. Melihat situasi itu, benar-benar membuatnya canggung. Namun, bukannya buka suara, Jenson justru diam saja. Entah mengapa rasa puas muncul di hatinya, saat sang adik mengetahui betapa dekat hubungannya dengan Ashley. Ashley pun buru-buru menarik diri dari dekapan Jenson. Dia berbalik penuh ke arah Johan seraya berkata, “tunggu. Jika kau ada keperluan dengan Jenson, aku bisa pergi seka—”Belum tuntas ucapan gadis itu, Johan malah berbalik keluar ruang rawat tersebut.“Aish, kenapa dia pergi begitu saja?” ujar Ashley yang lantas menyusulnya.Ya, dia jadi tak enak hati. Rasanya gadis itu harus meluruskan keadaan dengan memberitahu Johan bahwa dia dan Jenson tidak sedang melakukan hal buruk. Selain itu, Ashley juga harus menanyakan mengapa Johan sampai menghubunginya terus kemarin. “Johan! Tunggu sebentar, aku ingin bicara,” pekiknya bergegas
Ashley terkejut melihat nomor asing menghubunginya beberapa kali. Bahkan ada pesan teks juga.‘Aku tidak mengenal nomor ini,’ batin gadis itu mengerutkan alisnya.Pikiran negative langsung menyerang. Dia mengira itu Maximilian karena mantan kekasihnya masih sangat gila. Namun, saat membuka pesan tadi, ternyata nama Johan yang terpampang.“Hah … tumben sekali dia menghubungiku. Dari mana dia mendapat nomor ponsel … ah benar, dia Bos di Oran Bar. Tentu saja dia bisa memiliki nomor pegawainya,” tutur Ashley kemudian.Tapi ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Johan yang menghubunginya, alih-alih Jenson?Jika itu Jenson, mungkin alasannya karena Ashley tidak datang ke acara makan malam. Tapi kalau Johan yang biasanya dingin padanya malah menelepon, pasti karena keadaan genting ‘kan?Ashley yang berniat abai, kini mencoba menelepon balik Johan.‘Apa yang harus aku katakan jika dia mengangkat teleponnya? Aku tidak biasa basa-basi dengan patung sepertinya,’ batin Ashley ragu-ragu.Detik berikutny
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu