"Liam, kamu kok tidur di kursi lagi?"
Suara itu membuat Liam terjaga dari tidurnya lalu terduduk di sofa sambil mengucek matanya. Samira dengan tubuh kurus ramping di balut dress tidurnya berjalan lalu duduk di samping Liam.
"Kemana aja semalam? Aku pulang kok gak ada, jam berapa pulang?" Liam bertanya tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyandarkan kepalanya ke belakang jok sofa. Tubuh Liam masih berbalut kemeja putih, pakaian kantor kemarin.
"Semalem ada arisan....eeeh.. ternyata Renata ulang tahun... kami barbekyu deh di rumahnya makanya telat pulang," suaranya seperti berbisik. Liam mengangguk, toh ini bukan pertama kali dia pulang Samira tidak di rumah. Dan belakangan ini semakin sering.
Liam menatapnya, "Masa kamu tega liat saya tidur sendirian?" Samira malah tertawa pelan.
"Jangan kayak anak kecil ah. Kamu tahu kan aku gak mau ngerawat anak kecil jadi jangan manja deh." Wajah tirus Samira terlihat kesal.
Lagi-lagi keluhan Liam dianggap anak kecil, "Tapi emang harusnya kamu udah siap kan?" Semua keluarga menyalahkan Liam, tapi tidak ada yang tahu Samira lah yang belum siap.
Samira mendekatkan tubuhnya, "Dengar, setiap orang punya kesiapan masing-masing. Aku cuma gak mau anaknya lahir di saat orangtuanya belum siap... kasian anaknya kan?"
Liam memegang tangan Samira, "Itu gak akan terjadi... Saya akan bantuin kamu ngurusin hal rumah." Sepertinya Liam merajuk pada dirinya sendiri, buktinya Samira tidak menganggap serius ucapan Liam. Dia bahkan tidak menjanjikan untuk merubah kebiasaan jeleknya.
Satu tangannya menyentuh pipi Liam, "Mandi gih... aku udah siapin kopi sama sarapan. Jadi kamu bisa berangkat ke kantor lebih seger." Sedetik, dua detik... tidak ada morning kiss. Samira turun dari sofa berjalan ke luar. Liam menghela nafas, membuang wajahnya ke kiri.
Liam mengenal istrinya cukup lama, tahu betul Samira Basagita adalah wanita yang tidak bisa dikekang. Mungkin mereka terburu-buru menikah hanya karena one night stand, tapi waktu itu mereka berpacaran. Dan hal biasa kan melakukan itu? Tidak mau disebut mengambil kesempatan Liam menikahi saja Samira padahal karir wanita itu sedang meningkat waktu itu, akhirnya Samira berhenti bekerja dan Liam membiarkan dia menghabiskan gaji bulanannya. Sangat bodoh bukan Liam? Setelah menjalani pernikahan hubungan mereka seperti kawan yang terjebak dalam pernikahan.
Mereka memang saling mencintai, tapi tidak ada nyala api saat bercinta. Tidak ada yang menyatukan mereka. Hanya bicara ala kadarnya saat di atas ranjang. Mungkin Liam perlu ke dokter psikiater.
Setelah berpakaian Liam mengambil botol pil dan mengeluarkan dua butir untuk dia kunyah. Liam akan mengeluarkan pembuluh darah jika tidak rileks. Dia membutuhkan stabilitas dan keseimbangan juga... seks yang hangat.
🌹🌹🌹
"Diva... nguapnya jangan gede-gede gitu."
Bukan Diva kalau tidak memalukan dirinya sendiri. Perempuan harusnya jadi feminim dan memberikan kesan menarik di depan orang. Liam melewati Diva yang masih tercekat di bangkunya. Pasti wanita itu ingin loncat dari gedung setelah ditegur.
"Pak Liam, ada yang mau aku tanyain." Dia menatap Liam dengan mata besarnya. Hari ini Diva memakai blouse putih dengan rok pendek di atas lutut. Bener-bener nih orang mengusik ketentraman.
"Apa?"
Diva pergi entah kemana, tidak lama datang lagi ke ruangan Liam membawa kardus di atas mejanya dengan senyum lebar.
Kemudian Diva membuka kardus mengambil plastik berisi... Tidak salah lihat? Itu bra'kan? Nih orang apalagi yang mau dia lakuin.
"Pak Liam, karena Bapak yang ngasih job ke aku. Jadi Bapak mesti bantuin aku milihin barangnya. Menurut Bapak yang sesuai ukuran --"
"Tunggu! Tunggu! Kan ada Nara, Rania... atau wanita lain yang bisa ngasih kamu pendapat. Kenapa saya? Saya laki-laki." Dikira dia mungkin Liam bawahannya yang bisa seenaknya di suruh-suruh. Dibaikin makin ngelunjak nih cewek.
Diva menunduk. "Bapak tahu, soal perempuan lebih baik minta pendapat dari laki-laki." Liam menggeleng mendengar ucapannya, "Gimana sih, ini kan untuk kepentingan kita bersama. Katanya kepala bagian, minta tolong aja susah ya."
"Harus banget saya ya?" tanya Liam Benar-benar merasa risih karena belum pernah dalam keadaan seperti ini dengan pakaian dalam perempuan kecuali dengan Samira. Ini cewek kadang tidak punya adab.
Sepertinya Liam harus menjauhi wanita ini.
Lalu Diva membuka plastik mengeluarkan bra brenda warna merah. "Gimana kalo ini aku live di I* dengan patung aja? Menurut Bapak gimana? Lebih laku ukuran bra internasional atau lokal? Bapak pribadi suka yang ukuran apa?"
Liam menelan saliva mendengar ocehannya. Diva Queensha sebenarnya kamu itu spesies apa sih? Dia terus saja mengeluarkan barang-barang dari kardus.
"Kebanyakan customer kadang salah menentukan ukuran punya dia. Jadi kamu mesti jelasin lingkar dada bawah terus lingkar dari belakang." Ucap Liam. Diva tanpa segan-segan mengambil alat ukur meteran di dalam kardusnya. Menentukan ukuran upperbust-nya.
"Berarti tubuh yang gemuk belum tentu size 40B ya?"
Dari hasil pengamatan Liam, Diva 32D dengan badan medium. Lumayanlah. "Coba kamu pakai yang berenda merah itu," kata Liam memberi aba-aba. Dan Diva melakukannya, di depan blouse putih itu terpampang bra merah berendam, mata Liam takjub melihat pemandangan itu. Busyettt... Seksi amat.
🌹🌹🌹
Tak henti-hentinya Liam mengutuki diri sendiri. Pikiran-pikiran mesumnya berkembang biak tanpa bisa dia kendalikan. Untuk menghentikan kegilaannya setiap lewat di depan Diva Liam pura-pura sibuk dan tidak melihat wajah cantik Diva. Sengaja bicara dengan ponsel sewaktu sama-sama masuk lift. Wajar sajalah Liam mikir jorok... Rasanya tidak ada pria yang bisa berpikir normal kalau di situasinya.
Saat makan siang Liam pikir Diva tidak ikut, soalnya Liam membeli somay di depan kantor dengan Doni. Ternyata Diva sudah berdiri di depannya memesan somay. Liam memandang keseluruhan Diva lalu tiba-tiba Doni menyenggol lengannya.
"Hari ini aku yang traktir asal Bapak bantuin ya. Okeh Boss." Pria berkacamata itu mengedipkan mata pada Liam dengan senyum lebar.
"Kamu pikir saya gak mampu beli ini?" Tanya Liam bernada dingin. Sejenak dia berpikir, lalu berkata, "kamu tenang saja saya gak berminat dengan hal kamu." Sekilas ia melirik ke arah Diva sebelum berjalan ke arah meja kosong.
Liam pikir Doni sibuk makan nyatanya dia juga melihat Diva dengan mesumnya. Tempat itu tidak terlalu ramai, tidak seperti biasanya di jam makan siang seperti ini.
"Bapak jangan marah ya, kali ini aku pindah duduk di sebelah cewek cantik," kata Doni, sebelum Liam menjawab Doni sudah bergerak ke arah meja Diva yang duduk seorang diri.
Liam memperhatikan mereka dari belakang, sebenarnya dia tidak bermaksud ingin menguping tapi entah kenapa ia ingin mendengar pembicaraan mereka. Tentu saja Liam tidak bisa mendengar karena jarak mereka, dia hanya melihat wajah cantik Diva yang menonjol di manapun. Tidak heran banyak pria tidak berkedip melihatnya.
"Ngapain kamu jadi penonton Liam Kavindra?" gumam Liam seperti orang bodoh. Ia melangkah keluar dari tenda mamang somay. Hanya butuh lima menit ke arah parkiran mobil, lalu dia akan meninggalkan bayangan bodoh itu.
Tidak mungkin Diva wanita lemot tidak berbobot itu begitu menarik perhatiannya. Liam membawa mobilnya tanpa tujuan. Pulang ke rumah malah akan menambah pusing. Samira pasti bertanya. 'kok tumben siang pulang? Kamu gak dipecat kan?' suami pulang cepat bukannya senang malah dicurigai.
Liam teringat saat pertama kali Diva masuk kerja. Semua anak kantor gempar dengan kedatangan anak baru itu. Dia belum melihat orangnya tapi nama Diva duluan mampir di telinganya. Satpam di depan kantor juga membicarakan nama Diva, waktu Liam mau masuk kantor si Bapak kumis bilang. "Pak ada anak baru, cakep banget."
Dari situ Liam penasaran, sampai kejadian ganti lampu bohlam adalah pertemuan pertama mereka. Dia akui Diva cantik banget apalagi keseluruhan dari Diva mendukung.
Liam menarik tangannya ke atas melihat jam tangan, pukul 3 siang sekarang, setelah muter-muter tanpa arah akhirnya dia kembali ke kantor. Saat Liam hendak masuk ruangnya ternyata anak-anak staf lagi pada ribut. Liam mendekat... ternyata Diva sedang berlenggak-lenggok memakai gaun putih berenda dengan gaya tengilnya. Setiap pose yang dia peragain tanpa panggung tetap saja enak dilihat.
Rania yang paling tersohor dengan kecantikan di kantor ini kalah telak dengan kecantikan Diva. Jadi penasaran apa yang Doni bicarakan sama Diva waktu makan siang tadi. Entahlah, tiba-tiba ia merasa jengkel sendiri.
"Cocok banget sih, yaudah itu aja kamu pakek ya," suara itu dari Niken yang sudah mematikan suara music ponselnya. Pandangan Liam masih menatap keseluruhan Diva. Dengan penampilan seperti itu pasti banyak banget produk yang terjual, tapi bisa dipastikan juga banyak laki-laki bandot akan menggodanya.
"Beneran pakek ini? Gak terlalu lebay?"
Liam mendengar suara Diva sambil menunjukkan gaun princessnya. Suara lembut dan manja itu seolah menghipnotisnya.
Liam melangkah ke arah Nara, "Nara, nanti suruh Diva ke ruang saya."
Nara tersenyum mengangguk. "Sekarang?"
"Gak, tahun depan." Ucap Liam, "Ya sekarang." Lalu Liam masuk ke ruang kerjanya. Di temanin laptop, buku-buku, dan bolpoint. Tapi bayangan wanita tidak berbobot itu masih belum hilang. Sebenarnya tidak ada masalah dengan dia. Diva tidak seburuk itu. Anaknya termasuk pekerja keras. Bukan itu yang mengganggu pikiran Liam.
Suara ketukan pintu membuat Liam menoleh. Diva tersenyum di ambang pintu, bikin meleleh aja senyumnya. Fuck off...
"Kata Nara aku di suruh ke sini?" tanyanya. Liam mengangguk, Diva berjalan sampai ke depan meja. Pakaiannya sudah berganti pada bajunya yang tadi.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" Tanya Liam menyudutkan. Wajah Diva terlihat bingung. Okeh Liam, tenang... kamu harus terlihat biasa saja, "Saya gak suka dengan cara kamu membuat keributan di jam kerja... di depan banyak karyawan dengan pakaian murahan itu..."
"Tapi awal pembicaraan kita Bapak kan setuju?" dia protes dengan wajah kesal. Kakinya sudah berjalan ke depan pintu.
"Saya belum selesai bicara. Duduk." Perintah Liam dengan tegas. Dia menarik kursi dengan malas, menatapnya kesal. "Menurut saya ide kamu itu konyol. Saya cancel pakek ide kamu, imej perusahaan bisa jelek dengan ide itu."
"Tapi kan besok--"
"Saya bilang gak ya gak! Gak ada siapa pun bisa membantah, Diva Queensha... " Ucap Liam. Dari wajah Diva terlihat merajuk, bibirnya bawahnya di tekuk.
"Apa--setelah ini aku gak bisa lagi masuk team Bapak? Gara ide aku yang ditolak... entar aku dilupain sama Bapak-maksud aku kalau ada kerjaan lagi kalian gak percaya sama aku." Dia kelihatan gugup sekarang, tangannya kelihatan tidak tenang di atas meja.
Padahal Liam melakukan ini demi kebaikan dia, tapi nih perempuan mikir terlalu jauh.
"Aku sudah berusaha tampil cantik sama bagus, Pak"
"Diva... gak gitu maksudnya." Liam menggeleng memberikan pengertian. Dia tidak mau ada yang melihat Diva berpakaian erotis di depan pria dengan mengibarkan bra di mall-mall. Erotis banget kan? Sial banget nih cewek susah dikasih pengertian. "Saya punya proyek lain buat kamu. Jadi jangan khawatir."
"Beneran?"
Liam tersenyum. "Iya. Ini kesepakatan kita. Kamu hanya ngecek barang. Kalau barangnya terlepas dari pantauan kamu, dana perusahaan bakal hilang." Ujar Liam. Diva bukan seneng malah dahinya mengkerut.
"Makin susah dong kerjaan aku?" sahutnya.
Lebih enak mana dari pada kamu jual badan di mall, bego... susah ngomong sama nih cewek.
"Saya bantuin, okeh." Ucap Liam. Ia merasa melihat bintang
di mata Diva. Ini pertempuran antara hati dan pikiran Liam. Ini terjadi begitu saja, darahnya membeku di dekat Diva. Ini bukan suka kan? Pasti ada yang salah.Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke lapt
"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus...""Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya."I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va.""Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya.""Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi pad
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu