"Liam, kamu kok tidur di kursi lagi?"
Suara itu membuat Liam terjaga dari tidurnya lalu terduduk di sofa sambil mengucek matanya. Samira dengan tubuh kurus ramping di balut dress tidurnya berjalan lalu duduk di samping Liam.
"Kemana aja semalam? Aku pulang kok gak ada, jam berapa pulang?" Liam bertanya tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyandarkan kepalanya ke belakang jok sofa. Tubuh Liam masih berbalut kemeja putih, pakaian kantor kemarin.
"Semalem ada arisan....eeeh.. ternyata Renata ulang tahun... kami barbekyu deh di rumahnya makanya telat pulang," suaranya seperti berbisik. Liam mengangguk, toh ini bukan pertama kali dia pulang Samira tidak di rumah. Dan belakangan ini semakin sering.
Liam menatapnya, "Masa kamu tega liat saya tidur sendirian?" Samira malah tertawa pelan.
"Jangan kayak anak kecil ah. Kamu tahu kan aku gak mau ngerawat anak kecil jadi jangan manja deh." Wajah tirus Samira terlihat kesal.
Lagi-lagi keluhan Liam dianggap anak kecil, "Tapi emang harusnya kamu udah siap kan?" Semua keluarga menyalahkan Liam, tapi tidak ada yang tahu Samira lah yang belum siap.
Samira mendekatkan tubuhnya, "Dengar, setiap orang punya kesiapan masing-masing. Aku cuma gak mau anaknya lahir di saat orangtuanya belum siap... kasian anaknya kan?"
Liam memegang tangan Samira, "Itu gak akan terjadi... Saya akan bantuin kamu ngurusin hal rumah." Sepertinya Liam merajuk pada dirinya sendiri, buktinya Samira tidak menganggap serius ucapan Liam. Dia bahkan tidak menjanjikan untuk merubah kebiasaan jeleknya.
Satu tangannya menyentuh pipi Liam, "Mandi gih... aku udah siapin kopi sama sarapan. Jadi kamu bisa berangkat ke kantor lebih seger." Sedetik, dua detik... tidak ada morning kiss. Samira turun dari sofa berjalan ke luar. Liam menghela nafas, membuang wajahnya ke kiri.
Liam mengenal istrinya cukup lama, tahu betul Samira Basagita adalah wanita yang tidak bisa dikekang. Mungkin mereka terburu-buru menikah hanya karena one night stand, tapi waktu itu mereka berpacaran. Dan hal biasa kan melakukan itu? Tidak mau disebut mengambil kesempatan Liam menikahi saja Samira padahal karir wanita itu sedang meningkat waktu itu, akhirnya Samira berhenti bekerja dan Liam membiarkan dia menghabiskan gaji bulanannya. Sangat bodoh bukan Liam? Setelah menjalani pernikahan hubungan mereka seperti kawan yang terjebak dalam pernikahan.
Mereka memang saling mencintai, tapi tidak ada nyala api saat bercinta. Tidak ada yang menyatukan mereka. Hanya bicara ala kadarnya saat di atas ranjang. Mungkin Liam perlu ke dokter psikiater.
Setelah berpakaian Liam mengambil botol pil dan mengeluarkan dua butir untuk dia kunyah. Liam akan mengeluarkan pembuluh darah jika tidak rileks. Dia membutuhkan stabilitas dan keseimbangan juga... seks yang hangat.
🌹🌹🌹
"Diva... nguapnya jangan gede-gede gitu."
Bukan Diva kalau tidak memalukan dirinya sendiri. Perempuan harusnya jadi feminim dan memberikan kesan menarik di depan orang. Liam melewati Diva yang masih tercekat di bangkunya. Pasti wanita itu ingin loncat dari gedung setelah ditegur.
"Pak Liam, ada yang mau aku tanyain." Dia menatap Liam dengan mata besarnya. Hari ini Diva memakai blouse putih dengan rok pendek di atas lutut. Bener-bener nih orang mengusik ketentraman.
"Apa?"
Diva pergi entah kemana, tidak lama datang lagi ke ruangan Liam membawa kardus di atas mejanya dengan senyum lebar.
Kemudian Diva membuka kardus mengambil plastik berisi... Tidak salah lihat? Itu bra'kan? Nih orang apalagi yang mau dia lakuin.
"Pak Liam, karena Bapak yang ngasih job ke aku. Jadi Bapak mesti bantuin aku milihin barangnya. Menurut Bapak yang sesuai ukuran --"
"Tunggu! Tunggu! Kan ada Nara, Rania... atau wanita lain yang bisa ngasih kamu pendapat. Kenapa saya? Saya laki-laki." Dikira dia mungkin Liam bawahannya yang bisa seenaknya di suruh-suruh. Dibaikin makin ngelunjak nih cewek.
Diva menunduk. "Bapak tahu, soal perempuan lebih baik minta pendapat dari laki-laki." Liam menggeleng mendengar ucapannya, "Gimana sih, ini kan untuk kepentingan kita bersama. Katanya kepala bagian, minta tolong aja susah ya."
"Harus banget saya ya?" tanya Liam Benar-benar merasa risih karena belum pernah dalam keadaan seperti ini dengan pakaian dalam perempuan kecuali dengan Samira. Ini cewek kadang tidak punya adab.
Sepertinya Liam harus menjauhi wanita ini.
Lalu Diva membuka plastik mengeluarkan bra brenda warna merah. "Gimana kalo ini aku live di I* dengan patung aja? Menurut Bapak gimana? Lebih laku ukuran bra internasional atau lokal? Bapak pribadi suka yang ukuran apa?"
Liam menelan saliva mendengar ocehannya. Diva Queensha sebenarnya kamu itu spesies apa sih? Dia terus saja mengeluarkan barang-barang dari kardus.
"Kebanyakan customer kadang salah menentukan ukuran punya dia. Jadi kamu mesti jelasin lingkar dada bawah terus lingkar dari belakang." Ucap Liam. Diva tanpa segan-segan mengambil alat ukur meteran di dalam kardusnya. Menentukan ukuran upperbust-nya.
"Berarti tubuh yang gemuk belum tentu size 40B ya?"
Dari hasil pengamatan Liam, Diva 32D dengan badan medium. Lumayanlah. "Coba kamu pakai yang berenda merah itu," kata Liam memberi aba-aba. Dan Diva melakukannya, di depan blouse putih itu terpampang bra merah berendam, mata Liam takjub melihat pemandangan itu. Busyettt... Seksi amat.
🌹🌹🌹
Tak henti-hentinya Liam mengutuki diri sendiri. Pikiran-pikiran mesumnya berkembang biak tanpa bisa dia kendalikan. Untuk menghentikan kegilaannya setiap lewat di depan Diva Liam pura-pura sibuk dan tidak melihat wajah cantik Diva. Sengaja bicara dengan ponsel sewaktu sama-sama masuk lift. Wajar sajalah Liam mikir jorok... Rasanya tidak ada pria yang bisa berpikir normal kalau di situasinya.
Saat makan siang Liam pikir Diva tidak ikut, soalnya Liam membeli somay di depan kantor dengan Doni. Ternyata Diva sudah berdiri di depannya memesan somay. Liam memandang keseluruhan Diva lalu tiba-tiba Doni menyenggol lengannya.
"Hari ini aku yang traktir asal Bapak bantuin ya. Okeh Boss." Pria berkacamata itu mengedipkan mata pada Liam dengan senyum lebar.
"Kamu pikir saya gak mampu beli ini?" Tanya Liam bernada dingin. Sejenak dia berpikir, lalu berkata, "kamu tenang saja saya gak berminat dengan hal kamu." Sekilas ia melirik ke arah Diva sebelum berjalan ke arah meja kosong.
Liam pikir Doni sibuk makan nyatanya dia juga melihat Diva dengan mesumnya. Tempat itu tidak terlalu ramai, tidak seperti biasanya di jam makan siang seperti ini.
"Bapak jangan marah ya, kali ini aku pindah duduk di sebelah cewek cantik," kata Doni, sebelum Liam menjawab Doni sudah bergerak ke arah meja Diva yang duduk seorang diri.
Liam memperhatikan mereka dari belakang, sebenarnya dia tidak bermaksud ingin menguping tapi entah kenapa ia ingin mendengar pembicaraan mereka. Tentu saja Liam tidak bisa mendengar karena jarak mereka, dia hanya melihat wajah cantik Diva yang menonjol di manapun. Tidak heran banyak pria tidak berkedip melihatnya.
"Ngapain kamu jadi penonton Liam Kavindra?" gumam Liam seperti orang bodoh. Ia melangkah keluar dari tenda mamang somay. Hanya butuh lima menit ke arah parkiran mobil, lalu dia akan meninggalkan bayangan bodoh itu.
Tidak mungkin Diva wanita lemot tidak berbobot itu begitu menarik perhatiannya. Liam membawa mobilnya tanpa tujuan. Pulang ke rumah malah akan menambah pusing. Samira pasti bertanya. 'kok tumben siang pulang? Kamu gak dipecat kan?' suami pulang cepat bukannya senang malah dicurigai.
Liam teringat saat pertama kali Diva masuk kerja. Semua anak kantor gempar dengan kedatangan anak baru itu. Dia belum melihat orangnya tapi nama Diva duluan mampir di telinganya. Satpam di depan kantor juga membicarakan nama Diva, waktu Liam mau masuk kantor si Bapak kumis bilang. "Pak ada anak baru, cakep banget."
Dari situ Liam penasaran, sampai kejadian ganti lampu bohlam adalah pertemuan pertama mereka. Dia akui Diva cantik banget apalagi keseluruhan dari Diva mendukung.
Liam menarik tangannya ke atas melihat jam tangan, pukul 3 siang sekarang, setelah muter-muter tanpa arah akhirnya dia kembali ke kantor. Saat Liam hendak masuk ruangnya ternyata anak-anak staf lagi pada ribut. Liam mendekat... ternyata Diva sedang berlenggak-lenggok memakai gaun putih berenda dengan gaya tengilnya. Setiap pose yang dia peragain tanpa panggung tetap saja enak dilihat.
Rania yang paling tersohor dengan kecantikan di kantor ini kalah telak dengan kecantikan Diva. Jadi penasaran apa yang Doni bicarakan sama Diva waktu makan siang tadi. Entahlah, tiba-tiba ia merasa jengkel sendiri.
"Cocok banget sih, yaudah itu aja kamu pakek ya," suara itu dari Niken yang sudah mematikan suara music ponselnya. Pandangan Liam masih menatap keseluruhan Diva. Dengan penampilan seperti itu pasti banyak banget produk yang terjual, tapi bisa dipastikan juga banyak laki-laki bandot akan menggodanya.
"Beneran pakek ini? Gak terlalu lebay?"
Liam mendengar suara Diva sambil menunjukkan gaun princessnya. Suara lembut dan manja itu seolah menghipnotisnya.
Liam melangkah ke arah Nara, "Nara, nanti suruh Diva ke ruang saya."
Nara tersenyum mengangguk. "Sekarang?"
"Gak, tahun depan." Ucap Liam, "Ya sekarang." Lalu Liam masuk ke ruang kerjanya. Di temanin laptop, buku-buku, dan bolpoint. Tapi bayangan wanita tidak berbobot itu masih belum hilang. Sebenarnya tidak ada masalah dengan dia. Diva tidak seburuk itu. Anaknya termasuk pekerja keras. Bukan itu yang mengganggu pikiran Liam.
Suara ketukan pintu membuat Liam menoleh. Diva tersenyum di ambang pintu, bikin meleleh aja senyumnya. Fuck off...
"Kata Nara aku di suruh ke sini?" tanyanya. Liam mengangguk, Diva berjalan sampai ke depan meja. Pakaiannya sudah berganti pada bajunya yang tadi.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" Tanya Liam menyudutkan. Wajah Diva terlihat bingung. Okeh Liam, tenang... kamu harus terlihat biasa saja, "Saya gak suka dengan cara kamu membuat keributan di jam kerja... di depan banyak karyawan dengan pakaian murahan itu..."
"Tapi awal pembicaraan kita Bapak kan setuju?" dia protes dengan wajah kesal. Kakinya sudah berjalan ke depan pintu.
"Saya belum selesai bicara. Duduk." Perintah Liam dengan tegas. Dia menarik kursi dengan malas, menatapnya kesal. "Menurut saya ide kamu itu konyol. Saya cancel pakek ide kamu, imej perusahaan bisa jelek dengan ide itu."
"Tapi kan besok--"
"Saya bilang gak ya gak! Gak ada siapa pun bisa membantah, Diva Queensha... " Ucap Liam. Dari wajah Diva terlihat merajuk, bibirnya bawahnya di tekuk.
"Apa--setelah ini aku gak bisa lagi masuk team Bapak? Gara ide aku yang ditolak... entar aku dilupain sama Bapak-maksud aku kalau ada kerjaan lagi kalian gak percaya sama aku." Dia kelihatan gugup sekarang, tangannya kelihatan tidak tenang di atas meja.
Padahal Liam melakukan ini demi kebaikan dia, tapi nih perempuan mikir terlalu jauh.
"Aku sudah berusaha tampil cantik sama bagus, Pak"
"Diva... gak gitu maksudnya." Liam menggeleng memberikan pengertian. Dia tidak mau ada yang melihat Diva berpakaian erotis di depan pria dengan mengibarkan bra di mall-mall. Erotis banget kan? Sial banget nih cewek susah dikasih pengertian. "Saya punya proyek lain buat kamu. Jadi jangan khawatir."
"Beneran?"
Liam tersenyum. "Iya. Ini kesepakatan kita. Kamu hanya ngecek barang. Kalau barangnya terlepas dari pantauan kamu, dana perusahaan bakal hilang." Ujar Liam. Diva bukan seneng malah dahinya mengkerut.
"Makin susah dong kerjaan aku?" sahutnya.
Lebih enak mana dari pada kamu jual badan di mall, bego... susah ngomong sama nih cewek.
"Saya bantuin, okeh." Ucap Liam. Ia merasa melihat bintang
di mata Diva. Ini pertempuran antara hati dan pikiran Liam. Ini terjadi begitu saja, darahnya membeku di dekat Diva. Ini bukan suka kan? Pasti ada yang salah.Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke lapt
"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus...""Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya."I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va.""Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya.""Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi pad
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "