Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!
"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?
Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"
Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya sedikit, dari caranya menatap Liam terlihat gugup. Liam kembali menciumnya dengan nafas terengah-engah, menciumnya dengan penuh gairah. Mendorongnya hingga tersudut di ceruk dinding. Membuat rambutnya yang diblow menjadi berantakan, membuat bibirnya membengkak dengan kenikmatan.
"Saya gak akan nyakiti kamu, Diva..." Ujar Liam pelan. Hingga Diva berani membalas ciuman Liam. Dia bisa melihat gairah dari pancaran bola matanya yang hitam, lalu mereka saling menghisap dan bertukar saliva. Aliran darah Liam terasa berhenti bekerja mendengar suara lirihnya yang memanggil namanya.
"Liam..."
"Liam!"
Tidak ada orang yang paling gila dari Liam Kavindra. Sial! Liam membayangkan adegan panas bersama Diva. Dan adegan itu berhenti karena suara istrinya. Liam menarik tubuhnya dari genangan air di bathtub dengan tubuh menggigil. Nyaris tak bisa bernafas.
"Kamu ngapain sih berendam malam-malam begini? Lama banget lagi... masuk angin nanti."
Samira Basagita--dia pasti akan membunuh Liam kalau tahu isi otak suaminya yang mesum ini. Entah kenapa otak mesum Liam berkelana malam ini dan Diva menjadi objek pelecehannya. Damn! Liam Kavindra mati aja di bathtub ini dengan bau busuk dengan pikiran-pikiran kotor kamu. Dan Liam tidak tahu apa setelah ini akan membayangkan lagi adegan yang masih menempel di benaknya
"Saya lagi kepanasan aja, sayang. Tadi di kantor banyak kerjaan." Jawab Liam melihat Samira masih berdiri di ambang pintu. Menatapnya yang tidak berpakaian ini dengan tampang kaku.
"Yaudah kalo gitu, jangan lama-lama. Aku pergi bentar ya... mau beli perlengkapan nge-gym." Katanya dengan senyum riang. Liam menggeleng cepat, tidak mengizinkan. Bagi Samira yang paling penting hanya shopping, "Tapi aku udah janji sama teman-temanku, Liam..."
Kalau Liam berpikiran untuk menyelamatkan pernikahan ini... jadi sekarang dia membutuhkan Samira. Jadwal bercinta mereka selalu berantakan karena kesablengan Samira dengan segala kegiatan dia yang tidak jelas.
"Saya mau bercinta malam ini," ucap Liam. Dia kehabisan kata-kata menjawab permintaan Liam. Dan Liam tidak mau ditolak dengan alasan apa pun itu. Atau dia nekad ke rumah Diva... setan dalam dirinya mulai berbisik. Tapi akhlak bilang 'udah main solo aja' Liam punya istri kenapa harus ngenes gini mikirin kebutuhan biologinya.
🌹🌹🌹
Liam mendekati tempat tidur. Samira dengan tubuh sexy-nya sudah berbaring di atas tempat tidur dengan wajah datar. Ini membuat harga diri juniornya meronta-ronta. Kenapa dia tidak menunjukkan senang atau bergairah... Apa segitu hambar bercinta dengan Liam?
Liam mengelus lengan Samira dengan lembut dan penuh kehangatan. Dia masih mengagumi kulit putih bersinar Samira dengan hasrat yang menggebu.
"Aku gak gerak ya. Terserah kamu aja deh mau ngapain." Katanya. Mencekik tenggorakan Liam. Hubungan badan lebih dari sekedar penetrasi, Samira! Jemari Liam mengelus lekukan leher Samira, mencari titik pusat untuk menyalakan listrik padanya. "Liam... " protesnya dengan kerutan dahinya.
"Kita butuh Foreplay biar menyenangkan, sayang."
"Gak usah deh... kamu masukin aja biar cepat. Aku ngantuk."
"Katanya kamu mau pergi tadi. Kenapa sekarang ngantuk?" Sebelah alis Liam naik menatap wajah cantik Samira. Satu tangan Liam mengelus kedua bagian sensitif Samira, meremasnya dan mencubit ujung bagian dadanya.
"Aku lagi... gak pengen. Ngertiin dong... kamu puasin aja punya kamu," katanya parau. Samira terlentang menyerahkan diri tanpa sehelai benang. Memejamkan mata tanpa desahan nikmat. Ini seperti main sama boneka saja. Sebenarnya Liam tidak suka bercinta seperti ini, dia melihat ke bawah pada juniornya yang dari tadi sudah bangun. Ada yang lebih menginginkannya.
Liam menempelkan bibirnya, tapi Samira menghindarinya, seolah-olah dia tidak bergairah padahal suara tegukan air liurnya terdengar. Baiklah ini adalah penyatuan atas dasar kebutuhan. Tangan Liam meremas kedua gumpalan Samira, ingin membuatnya tersiksa hingga dia yang akan meminta-minta.
"Sayang... buka dong matanya. Keluarin suara gitu," pinta Liam dengan suara penuh gairah. Sayangnya yang terdengar hanya suara dengkuran... dia tertidur? Liam tertawa dengan miris. Dia mengabaikan Samira yang tertidur hanya berkonsentrasi pada kesenangan ini.
Saat akhirnya dia mencapai klimaks dengan pengaman yang tidak lupa ia pakai. Setelah membersihkan diri, Liam segera merebahkan tubuhnya di kasur empuk di sebelah Samira yang tertidur pulas, menutup tubuhnya dengan selimut. Dengan kenikmatan seperti ini jelas dia tidak puas. Shit, gara-gara ngebayangin Diva dia merasa menjadi orang bodoh dan berkhianat pada istrinnya.
🌹🌹🌹
"Liam! Bangun. Kamu gak ngantor?" Samira memelototi Liam dengan tubuh nakednya, "Kita jadi sama-sama bangun kesiangan gini gara-gara kamu." Wanita itu cepat-cepat memakai piama tidurnya.
"Kok nyalahin saya? Kamu santai dong jangan kayak kebakaran jenggot. Saya sengaja hari ini bangun telat. Gak kerja. Saya mau ngajak kamu date hari ini." Liam mengedipkan mata padanya, "Udah lama kan kita gak berduaan. Tiap hari aku sibuk ngantor... kamu gak mau marahin aku..."
"Gak lucu, Liam! Bukan masanya lagi kita kayak anak remaja," katanya tegas. "Kalau atasan pemales kayak kamu gimana mau jadi contoh yang baik sama bawahannya." Dia menarik bantal di bawah kepala Liam dengan kasar. "Bangun. Mandi cepatan!"
"GAK!"
"KA Rayhard bisa marah, Liam!"
"Liam... kamu denger gak sih? Kalau besok-besok kamu ambil cuti kita liburan bareng... tapi gak gini... dadakan." Ia berkata ketus. Liam memaki pelan turun dari tempat tidur.
🌹🌹🌹
"Gue udah baca sih proposalnya, relevan---"
"Oh my God..." suara Doni memotong ucapan Liam. Matanya ke arah dinding kaca yang menebus ke arah luar. Seorang wanita sedang berjalan dengan cardigan cokelat, rambutnya digerai sambil bicara dengan ponselnya di dekat telinga. Diva sepertinya sedang marah-marah di ponselnya.
"Hmm, gimana ya cara deketin dia? Penasaran banget sama Diva. Anaknya cakep banget, kan?"
"Nih cewek kalo kepalanya luka masih tetap cantik gak ya." Daniel tertawa kecil.
Kalian tahu kenapa orang suka menonton drama gila? Karena mereka kurang hiburan. Mencari objek untuk ditertawakan atau untuk mencuci mata.
Liam, Doni, Daniel menatap lurus memandangi wanita itu tak berkedip. Astaga... Diva berjalan tidak melihat ke depan. Terus saja bicara dengan mata melotot ke arah ponsel-nya.
"Mari kita tonton," suara Doni menunggu sesuatu terjadi.
"Taruhan kita! Aku rasa dia masih beruntung jalanan yang dia lewatin gak ramai," kata Daniel tersenyum lebar.
Merea menunggu adegan konyol yang akan terjadi. Kalian bisa pikir sendiri Diva itu seperti apa.
Sayangnya dari tempat mereka duduk, tidak bisa mendengar apa yang sedang dibahas Diva di telponnya. Lima langkah di depan Diva muncul Beno, cowok berbadan subur.
Tap... tap... tap ...
Sadis Diva nabrak tanpa menoleh Beno untuk meminta maaf.
"Parah tuh cewek... untung Beno yang di tabrak... kalo aku! Kuangkut ke toilet dia."
Liam melirik tajam Doni yang berpikiran mesum. Rasanya pengen getok si cowok muka badak satu ini.
BRAK
"Hahah... Shitt." Suara gelak Daniel dan Doni bersahutan. Doni memukul meja sangking lucu sedangkan Daniel memegang perutnya yang terguncang terbahak.
Liam melewatkan adegan Diva menabrak kaca. Kakinya bergerak cepat ke arah Diva, membuka pintu yang terbuat dari kaca itu, "Pintunya sebelah sini, Diva..." Ucap Liam melihat Diva mengelus dahinya sambil meringis. Sembrono banget nih cewek.
"Perasaan aku tadi belum sampe sini jalannya. Lagian ngapain pakek dinding kaca sih... malu banget diketawain." Ujar Diva melihat ke arah kaca yang menembus Daniel dan Doni masih menertawainya di bangku mereka.
"Makanya jalan pakek mata bukan jidat." Liam memperingati.
"Sakit banget jidatnya." Diva meraba dahinya.
"Butuh bantuan?" kata Liam menahan tawa. Hal yang menarik perhatiannya adalah jidat Diva yang memerah. Liam mengambil rambut panjang Diva lalu menggosok ke arah dahinya. "Ini bisa mencegah benjol."
Diva tertawa mendengarnya. Matanya berbinar menatap Liam.
"Pak Liam... Anda berpikiran primitif juga ya," ledeknya. Liam menatap lekat wajah Diva, coba rambutnya dicepol ke atas pasti terlihat jelas leher jenjangnya, sangat cantik.
"Kita mau berdiri sampai kapan di sini?"
"Duluan aja, saya mau ke toilet," kata Liam gugup. Tiga langkah dia berhenti, berbalik melihatnya. "Nanti ke ruang saya ya. Kita ngerjain yang kemarin saya bilang," pesannya. Diva terlihat bingung lalu mengangguk. Bisa gawat kalau Doni sama Daniel melihat bagaimana cara Liam menatap Diva.
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke lapt
"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus...""Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya."I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va.""Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya.""Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi pad
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram