Diva teringat perkenalannya dengan Liam.
"Berdiri di situ!"
Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.
Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih.
"Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu.
"Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele dengan tanggungjawabnya tapi minta hak.
Liam tidak peduli tatapan satu ruangan ini ke arahnya setajam pisau sekalipun. Meeting terganggu gara-gara kedatangan si wanita ini.
"Maaf lain kali gak lagi." Kata Diva sambil menggigiti bolpoint, "Aku janji." Tangannya naik ke atas mengucap janji, awas saja kemakan janji. Liam pun menghela nafas, berasa sedang berhadapan dengan anak SMA.
"Duduk."
Diva duduk dengan senyum lebar. Lalu Liam melanjutkan meeting yang terputus. Sambil menerangkan Liam melihat Diva, nih anak tidak ada serius-seriusnya kerja. Dengan kepala bersandar ke belakang bangku dan bergoyang-goyang mengikuti ritme suara Liam. Mesti dikasih kerjaan lebih nih.
Dan tercucilah otak Liam, Diva mesti dikerasin supaya dia tahu arti disiplin.
"Diva, nanti kamu tolong bantuin Nara handle pekerjaannya sebagian. Dia lagi butuh tenaga." Kata Liam setelah rapat selesai. Dan sebagian staf sudah keluar dari ruang rapat.
"Siap, laksanakan!" Dia langsung menurut. Lalu berjalan riang mengejar Nara yang sudah mendahuluinya. Rasanya wanita itu kelewat polos, harusnya dia basa-basi kan, kenapa kerjaan Nara Liam kasih ke dia?
🌹🌹🌹
Saat jam makan siang, seperti biasa satu departemen makan siang bersama di kafetarian. Liam sebagai penyandang jabatan lebih tinggi tidak pernah pilih-pilih makan dengan siapa saja. Meskipun itu dengan Doni-si penjilat yang selalu ngebaik-baikin dia di depan. Di belakang malah menggosip. Liam tahu lah...
"Kapan proyek yang kemarin selesai, Pak Liam?" suara itu dari Doni, pria sok keren berkacamata min. Dia lupa apa pura-pura lupa proyek yang Liam sodorin kan ditolak atasan si pemilik perusahaan.
Telunjuk Liam menyentuh hidung, kebiasaan dia kalau benci menjawab pertanyaan orang. "Yang itu, saya gak selesain. Entar kalo ada proyek baru saya minta kamu untuk bantuin."
Doni hampir bersorak. "Serius Pak? Ngarep banget aku gabung di proyek Bapak." Liam manggut-manggut tidak terlalu merespon. Setelah itu di meja mereka ricuh, saling bercerita sambil makan. Dan yang paling banyak kena santapan adalah Diva, karena dia anak baru.
Obrolan tidak penting menurut Liam. Lebih penting ayam bakar bumbu pedas ini. Saat mata Liam tidak sengaja melihat Diva-heh... mata Diva lama banget natap Liam. Gila... dia bikin Liam gugup dengan cara Diva menatapnya.
"Dulu sebelum kamu kerja di sini, kerja dimana?" tanya Nara melihat Diva--Nara sudah memotong rambutnya menjadi sebahu.
"Aku kerja di percetakan. Tadinya niat mau jadi penulis, tapi gak ada satu cerita aku yang bagus." Diva menarik nafas, "Jadi aku ngerasa gagal, satu buku pun gak ada yang naik cetak."
Nara terkekeh, mungkin dia juga tidak percaya sama dengan yang lain. Si Diva punya niat jadi penulis? Yang bener saja.
"Akhirnya aku sadar sebenernya aku gak punya bakat." Ucap Diva lagi.
"Kamu udah punya pacar?" kini giliran Rania bertanya. Diva menggeleng, "Kamu itu butuh cowok untuk menggali bakat kamu. Menjalin cinta bisa bikin imajinasi kamu keluar." Katanya sambil mengunyah makanan. Diva menunduk dengan wajah malu-malu tawanya pun tidak terdengar.
"Aku gak punya cowok."
Menurut Liam sih mustahil wanita secantik Diva tidak punya pasangan. Kecuali dia pemilih. Dan mencari ide tidak harus real. Dia bisa menonton atau baca buku untuk memperluas otaknya. Tapi semua itu hanya bisa Liam pendam tanpa diutarakan.
Diva menaburi nasinya dengan kecap. "Hm, enak banget," komentarnya seperti anak kecil. Hanya anak SD rasa Liam yang mau makan nasi diberi kecap. Padahal ayam gede di piring tidak dia bilang enak, "Gue suka makan pakek kecap." Ucapnya berasa bicara pada Liam deh. Mata Liam lalu melihat pintu keluar dengan deheman kecil.
"Lidah aku kesiksa kalo makan kayak kamu. Kalau aku sih bagusan makan pedas daripada manis," komentar Nara yang bergidik. Lidahnya terasa geli membayangkan memakan nasi medok kecap.
Diva kembali melihat ke arah Liam. "Kalau Bapak suka masakan apa?" tanyanya. Liam tidak langsung menjawab, masih terpesona dengan senyumnya Diva. Gila ya wanita ini... Selama ini Liam sudah bicara kasar padanya, tapi masih bisa nanya makanan kesukaannya.
"Saya gak pilih-pilih soal makanan, tapi lebih suka makan steak," jawab Liam.
Liam pikir akan meminta Diva menjadi asistennya kalau ada proyek baru. Orang yang tidak cepat tersinggung seperti ini yang enak jadi patner kerja.
🌹🌹🌹
Malam saat jam kerja sudah habis dua jam lalu, Liam mendapatkan Diva duduk di bangkunya menyusun kertas-kertas dengan sangat serius. Rambut panjangnya dicepol ke atas, bolpoint menjadi hiasanya cepolannya, sesekali Diva menggaruk kepalanya dengan umpatan kecil. Hanya bagian lampu meja Diva yang menyala sedangkan yang lain sudah padam. Liam terus memperhatikan mimik muka Diva lalu tanpa sadar senyum geli terlukis di bibirnya. Hal yang jarang sekali dia lakukan, karena seorang Liam Kavindra terlalu menikmati pekerjaan dengan wajah kaku.
Di usianya ke 27 ini Liam termasuk sukses dalam pekerjaannya. Mobil, rumah mewah, tabungan untuk pensiun sudah ada, dan juga beberapa aset untuk masa depan keluarganya. Dianugerahi wajah tampan dan tubuh yang tinggi terkadang membuat team produksi meminta Liam sebagai icon.
Dengan hidup yang lebih dari berkecukupan tidak membuat Liam senang party ataupun suka shopping. Hidupnya datar saja pulang kerja dia akan pulang ke rumah setelah itu paginya kembali lagi ke kantor. Sangat monoton.
"Kenapa belum pulang? Tinggal kamu sendirian di sini." Ujar Liam yang sudah mendekati meja Diva. Gadis itu mendongak lalu tersenyum, tapi tangannya tetap sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk.
"Kerjaan aku belum selesai, Nara bilang besok pagi berkas ini harus selesai." Sahut Diva. Liam cukup terkesan dengan kegigihan wanita itu.
Liam tidak tega membiarkan Diva sendirian di kantor, mulutnya hendak menyuruh Diva pulang, "Diva." Kalimatnya menggantung, "Saya bantuin. Kamu kesusahan dimananya?" tanya Liam menarik kursi di belakang lalu mendekat pada meja Diva.
Sejenak timbul keheningan, lalu Diva berkata, "Bapak serius?" Liam tidak menjawab, tapi tangan dan matanya menunjukkan siap bekerja. Diva memperhatikan keseluruhan wajah tampan Liam lalu menyembunyikan senyumnya.
Beberapa lama kedua orang itu tampak serius mengerjakan tugas Diva, yang sebenarnya itu semua disebabkan oleh Liam sendiri karena melimpahkan pekerjaan Nara pada Diva, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Ternyata sifat Liam lebih menyenangkan dari sebelum-sebelumnya, mereka menghabiskan waktu menyelesaikan tugas sambil bercerita tentang hobi Diva yang menulis dan Liam memberikan masukan-masukan diselingi tawa kecilnya. Saat kulit mereka tidak sengaja bersentuhan Diva merasakan kehangatan dalam diri Liam--dan di situlah perut Diva seperti dipenuhi beribu-ribu kupu-kupu.
Diva mulai membayangkan dia menulis hal romantis yang dilakukan pria pada wanita, hanya mendengar Liam berkata, "Lain kali jangan pulang larut, bahaya. Kamu kan perempuan." Membuat Diva bahagia.
Ketika mereka sedang berjalan di lorong yang sepi ke arah lift, lalu berjalan ke parkiran seakan mereka sedang berjalan-jalan di pantai dengan suara deburan ombak dari debaran jantung Diva.
Liam pun membuka pintu mobil milik Diva untuknya--Diva malah merasa seperti diberikan kejutan kecil oleh Liam. Badan Diva mulai memperkecil jarak mereka, memberikan tanda-tanda kalau dia tertarik. Terkadang pria harus diberikan kode-kode agar tidak terlalu lama mengulur waktu. Karena Diva merasa figur seperti Liam lah yang sering dia jadikan dalam sosok pria dalam cerita tulisannya.
"Pak, makasih ya sudah bantuin. Tadinya aku pikir bakal sampe pagi di kantor," ucap Diva. Pintu mobil sudah terbuka, seakan dia tidak rela waktu memisahkan mereka.
"Santai ajalah." Sahut Liam.
Diva tersenyum, "Next aku traktir ngopi ya. Untuk ucapan terimakasih aja, Pak."
"Gak perlulah, gituan doang kok." Kata Liam dengan wajah santai. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Diva tergelak, "Gituan doang gimana? Kopi doang gitu maksudnya?" Balas Diva, dia masih menunjukkan pesonannya.
"Bukan gitu." Liam merasa tidak enak. "Boleh deh, next time ya." Liam benar-benar tidak bisa menolaknya, dia takut dicap sombong atau es batu yang dingin.
Lalu mereka terdiam agak lama, berdiri berhadapan. Tubuh Diva hanya sebahu Liam, dengan jarak sedekat itu kupu-kupu dalam perut Diva semakin bertambah banyak. Mungkin sudah mencapai milyaran.
"Janji ya. Entar aku tagih lho," ucap Diva. Bukankah dialog itu lebih cocok diucapkan oleh Liam? Melihat mata Diva yang berbinar penuh cahaya bisa dipastikan hatinya telah jatuh untuk Liam.
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram
Liam terburu-buru mendatangi kantor polisi, rasanya sangat geram mendengar Samira bau alkohol di tangkap polisi. Di tambah lagi orang yang dipukul teman Samira bukanlah orang sembarangan. Jadi Liam menghubungi temannya yang berprofesi pengacara untuk meminta bantuan.Sejam kemudian, saat Liam duduk di depan meja bapak polisi. Diva datang, kedua orang itu tampak sama-sama kaget karena berada di kantor polisi. Sedangkan Genk Samira berada di kursi belakang yang menempel pada dinding."Ree, kok bisa gini sih?" Diva menghampiri Renata yang bermake-up tebal. Dia mencium aroma alkohol yang menyengat dari Renata, "Kamu minum?""Dikit." Renata tersenyum seperti orang bodoh. "Please Queen tolongin aku ya...""Giliran kayak gini kamu manggil aku Queen, tapi kalo udah kumat segala nama binatang kamu nobatin padaku." Runtuk Diva, di sebelah Renata seorang wanita menghentakkan kakinya kesal."S
Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya."Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya."Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya."Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut
Liam pikir dia tidak kena macet, ternyata tetap kejebak macet parah di jalan. Mood Liam masih kesal sampai sekarang, apalagi di tambang macet begini.Sampai di kantor tidak ada satupun yang dia senyumin untuk membalas sapaan mereka. Lagipun orang tahu Liam bukan orang yang suka menebar keramah- tamahan."Pagi Pak Liam." Itu suara Nara, dia baru saja masuk ke lift, "Itu dasinya berantakan... mau aku bagusin?""Ehm..." deheman Doni saat Nara ingin mendekat."Gak usah... saya sengaja biar gak sesek nafas." tolak Liam dingin, kadang Nara ini kebangetan agresif. Saat lift akan tutup, tiba-tiba perempuan super ceroboh menahan tangannya pada pintu."Ikut ya..."Hidung Liam langsung menerima aroma wangi kedatangan Diva, dia berdiri di depan sedang Liam di belakangnya. Siapa pun bisa menebak Diva tipe wanita suka ke salon, tubuhnya terawat dan wangi. Begitu saja emosi Liam yang tadinya diubun-ubun kembali tenang seperti air.Tiga hari be
POV: Diva.Aku membuatkan kopi untuk Liam, di kantor banyak kopi dengan campuran lain. Aku pernah mencium aroma kopi bercampur coklat saat di ruang Liam. Aku yakin dia suka campuran coklat. Mencampur gula sedikit dan garam secuil biar tidak pekat rasa pahitnya. Aromanya harum setelah kuseduh. Setelah membuang plastik bekas kopi aku berjalan menuju ruang Liam Kavindra."Lumayan rasanya." Dia menyesap kopi yang kuberikan. Yang ku khawatirkan bukan rasa kopi tapi keadaan sunyi di ruang ini. Hanya ada kamu berdua saja.Nampak Liam tersenyum aneh menatap keseluruhanku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini, tapi lebih baik aku bersikap santai dan berpikir positif."Kamu marah?""Kenapa aku marah, Pak?"Dia malah tersenyum lalu meletakkan cangkirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku yakin tidak ada wanita yang akan tahan ditatap sedalam itu oleh pria tampa
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu