POV: Diva.
Aku membuatkan kopi untuk Liam, di kantor banyak kopi dengan campuran lain. Aku pernah mencium aroma kopi bercampur coklat saat di ruang Liam. Aku yakin dia suka campuran coklat. Mencampur gula sedikit dan garam secuil biar tidak pekat rasa pahitnya. Aromanya harum setelah kuseduh. Setelah membuang plastik bekas kopi aku berjalan menuju ruang Liam Kavindra.
"Lumayan rasanya." Dia menyesap kopi yang kuberikan. Yang ku khawatirkan bukan rasa kopi tapi keadaan sunyi di ruang ini. Hanya ada kamu berdua saja.
Nampak Liam tersenyum aneh menatap keseluruhanku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini, tapi lebih baik aku bersikap santai dan berpikir positif.
"Kamu marah?"
"Kenapa aku marah, Pak?"
Dia malah tersenyum lalu meletakkan cangkirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku yakin tidak ada wanita yang akan tahan ditatap sedalam itu oleh pria tampa
POV DivaAku sengaja pulang lebih cepat, tanganku memegang ponsel untuk memesan grab. Mobilku di pinjam Renata yang katanya sebentar tapi sampai saat ini dia belum juga datang mengembalikannya. Aku berjalan cepat seakan aku sedang di kejar cahaya kecemasan.Tapi tiba-tiba lampu diparkiran menyorot diriku lalu suara klakson terdengar, sial itu mobil Liam. Sedetik... dua detik... mobil itu diam. Tiba-tiba Liam keluar dengan wajah geramnya berjalan ke arahku."Saya kan udah bilang tunggu saya pulangnya!""Aku kan gak bilang akan menunggu Bapak." Kataku dengan satu alis naik. Dia ini benar-benar bikin naik emosi. Untuk apa coba nungguin dia?"Kalau saya udah ngasih pesan berarti itu keharusan. Kamu gak bawa mobilkan? Pulangnya sama saya." Dia bertanya tapi menjawab sendiri. Tangannya yang kuat menarikku ke mobilnya dan tubuhku hanya pasrah."Aku udah pesan grab.
Sesempurna apa pun bangke di simpan pasti akan tercium juga, penghuni kantor merasakan aroma asmara antara Diva dan Liam. Dari mereka yang sering makan siang bareng, keluar bareng dari gedung ke parkiran menuju mobil masing-masing.Bahkan dalam keadaan meeting mata Liam dan Diva itu sering bertemu dengan pancaran seperti orang yang kasmaran. Sungguh fenomena ini menjadi buah bibir anak kantor. Apa Diva sudah siap mengambil resiko menjalin hubungan dengan atasan yang sudah beristri? Seharusnya wanita itu lebih memakai otaknya ketimbang perasaan."Tuh anak mau aja jadi simpenan boss." Rania meledek wanita yang baru saja lewat untuk membuat kopi. Satu temannya lain tertawa sinis."Mungkin Pak Liam-nya aja yang pengen cari daun muda. Laki-laki itu yang penting dapet makanan juniornya." Ucap salah seorang wanita, mereka menyesap kopi di dapur kantor."Issh, udah gitu aku lihat tas baru Diva. Pasti pemberian Bos
Diva yang menantikan Liam datang ke apartemennya mempercepat makannya, setelah selesai makan Diva keluar lebih dulu. Liam berjalan ke arah kasir membayar dua meja sekaligus punya Diva membuat kasir berekspresi.Di parkiran barulah Diva bernafas lega, dia masuk setelah Liam masuk duluan dan menghidupkan mobilnya. Liam menyentuh paha Diva ketika wanita itu memakai seatbealt-nya. "Maaf ya kamu gak nyaman."Diva menoleh dan menatap wajah tampan Liam. Rambut pendek Liam yang terkesan rapih dan hidungnya yang sedikit mancung, "Iya, aku ngerti, santai aja, Pak." lalu ia berjengit ketika Liam mencium bibirnya. Lembut dan lama, dia jadi ingat sewaktu mereka ciuman di mobil.Diva melepas ciuman lebih dulu. "Ini tempat umum, Pak Liam.""Kamu sih panggil saya Pak." protesnya, "Gak lama kok, lima detik lagi ya." Pinta Liam yang tidak sabaran lagi."Kayaknya kamu suka banget ciuman di mobil ya?
John Kavindra sudah boleh pulang ke rumah setelah tiga hari lalu sempat di rawat di rumah sakit. Samira menelpon Liam untuk menjemput mereka di rumah sakit, Samira memperlakukan mertuanya sangat hormat walaupun dia kurang perhatian pada kedua orang tua berumur itu.Hari-hari yang dilakukan bersama mertuanya seperti biasa tidak ada yang spesial--dia juga memberikan perhatian pada mereka... ya karena kewajiban sebagai menantu saja. Seperti menanyakan kabar, membelikan pakaian baru saat hari raya, membawakan masakan saat berkunjung ke rumah mertua. Tapi itu semua tidak membuat nyaman ibu dan ayah Liam di usia senja. Tidak ada keceriaan anak kecil yang membuat mereka gembira.Liam memiliki adik perempuan yaitu Nana Kavindra, dia memiliki satu anak perempuan. Tapi ya tetap saja orangtua Liam menginginkan cucu dari Liam dan Samira. Orangtuanya tidak akan memberikan setengah dari hartanya jika Liam belum juga memberikan cucu untuk mereka. Sayangnya, Samira tidak terpeng
"Aku lagi males berdebat ya.""Saya gak ngajak berdebat... tapi ngasih pengertian sama kamu. Setiap apa yang saya bilang kamu selalu ada aja jawaban."Samira memutar bola matanya. "Kamu bisanya ngoceh aja, ada gak kamu lakuin? Kamu itu orang sok sibuk tahu gak..." penghinaan lagi yang didapatkan Liam dari istrinya, "Kalo kamu ngerasa kerjaan aku salah yaudah angkat balik pot bunganya di depan gerbang rumah mama kamu!""Lebih baik kamu gak usah ngerjain kalo gak ikhlas." ujar Liam."Wah! Ngeselin kamu ya lama-lama." Balas Samira melotot ke arah Liam. Pikirnya dia telah melakukan hal terbaik sebagai istri Liam, tapi tidak mendapatkan pengakuan Liam. Padahal dia telah mengeluarkan tenaga dan waktunya untuk membersihkan halaman rumah mertuanya. Tubuhnya saja sudah pegal, pinggangnya encok... belum lagi gatal-gatal merah akibat tanaman bunga itu.Satu jam kemudian mobil Liam terparkir di garasi
Berbeda dengan Liam yang dia kenal dulu, Samira merasa kehilangan sosok Liam. Bentuk yang sama, senyum yang sama, suara yang sama tapi Samira merasa ada yang hilang."Nanti kamu mau makan malem apa? Aku masakin." Samira berkata pada ponsel-nya.{ Saya lembur malam ini, kamu masak aja kesukaan kamu. }"Kamu gak ada bilang mau lembur tadi pagi." Protes Samira, dia menghentikan troli belanjaannya. Fokus pada suara di seberang.{ Dadakan, saya juga mana tahu ada perubahan jadwal.""Yaudah kalo gitu aku ngumpul sama temen-temenku ya... kamu kan pulang kemaleman nanti."{ Iya, terserah kamu. Have fun ya...}Samira ingin menjaga hubungan harmonis dengan Liam, tapi sepertinya hanya dirinya. Liam tidak. Mungkin Samira terlihat sangat naif sampai mengabaikan aroma parfum wanita yang tertinggal di pakaian Liam.Yang dipikirkan Samir
Malam pukul 7 Samira menyiapkan makan malam lengkap dengan lilin, mungkin dia lupa Liam bilang akan lembur. Wanita berbaju dress merah dengan make-up lumayan tegas duduk di bangku menunggu seseorang membuka pintu rumah--tidak ada yang datang sampai pukul 10 malam.Samira mengubah strategi-nya. Dia mengganti bajunya dengan baju tidur seksi yang dia beli tadi. Setelah menunggu beberapa lama Liam belum juga datang, Samira mendengus kesal di atas ranjangnya.Secuek-cueknya Samira, dia benci juga yang namanya menunggu. Dia berpikir sesibuk apa Liam sampai lupa jam pulang, sambil meremas bantal dia menatap pintu yang masih tertutup itu. Renata sempat memberi masukan-- jika dia menginginkan hubungan seks tapi Liam belum juga datang. Maka tak apa jika Samira sendiri yang meminta Liam untuk pulang lebih cepat untuk melakukan aktivitas mereka.Ketika membeli peralatan tempurnya ini, Samira sudah bertekad untuk membuat malam ini berk
"Sarapan dulu, aku udah bawain nih." Diva meletakkan kotak makan di atas meja Liam, "aku tahu kamu belum makan. Tadi malem kamu nelpon marah-marah gitu pasti sampe sekarang mood kamu belum baik kan?""Saya gak laper.""Makan, Liam!" perintah Diva ketika Liam menggeser kotak bekal berwarna merah itu. "Aku buatin sandwich.""Nanti ya, aku lagi ngerjain ini." Liam masih fokus pada layar laptopnya. Tapi pikirannya pada ucapan Samira 'Muak' katanya. Sial sekali ada wanita bicara kasar seperti itu padanya, tak lain isterinya sendiri."Yaudah... aku lanjut kerja ya.""Diva." Panggil Liam, "Bisa temenin saya makan?" Liam ingin ada yang mendengar keluhannya tapi dia merasa malu menceritakan pada Diva. Ya, walaupun sedikit banyaknya Liam sudah cerita pada Diva tentang kehidupan rumah tangganya.Mereka duduk berhadapan, Liam menganggurkan laptopnya. Kegelisahannya h