Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
Pov: DivaAkui saja dunia ini aneh, banyak orang yang merasa dirinya tegas tapi lucu. Menyukai dunia yang kotor tapi indah. Seperti aku yang jatuh cinta pada orang yang salah tapi tetap sajatidak bisa melupakannya.Walaupun dia tidak tahu aku menyukainya. Walaupun dia tidak tahu aku merindukannya. Tetap saja aku memikirkannya dan perasaan itu tidak kurang sesentipun. Ngotot sekali aku ingin memilikinya. Tanpa aku sadar perasaanku bermetamorfosis menjadi keinginan yang tidak terkendali. Aku melirik Liam yang sedang menjelaskan sambil mundar-mandir di depan kami. Aku sudah menajamkan pendengaranku. Tapi dalam benakku malah terlintas bayangan Liam sedang memakai pakaian hitam, berkabungnya. Aneh, aku mengkhayalkan istrinya meninggal.Mungkin ketiadaan istrinya bisa memberi peluang untukku menjadi bagian dari Liam Kavindra, bersamanya seumur hidupku. Menemaninya tidur, bercinta dengannya hingga pagi. Me
"Liam, kamu kok tidur di kursi lagi?"Suara itu membuat Liam terjaga dari tidurnya lalu terduduk di sofa sambil mengucek matanya. Samira dengan tubuh kurus ramping di balut dress tidurnya berjalan lalu duduk di samping Liam."Kemana aja semalam? Aku pulang kok gak ada, jam berapa pulang?" Liam bertanya tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyandarkan kepalanya ke belakang jok sofa. Tubuh Liam masih berbalut kemeja putih, pakaian kantor kemarin."Semalem ada arisan....eeeh.. ternyata Renata ulang tahun... kami barbekyu deh di rumahnya makanya telat pulang," suaranya seperti berbisik. Liam mengangguk, toh ini bukan pertama kali dia pulang Samira tidak di rumah. Dan belakangan ini semakin sering.Liam menatapnya, "Masa kamu tega liat saya tidur sendirian?" Samira malah tertawa pelan."Jangan kayak anak kecil ah. Kamu tahu kan aku gak mau ngerawat anak kecil jadi jangan manja deh." Wajah tirus
Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin