Pov: Diva
Akui saja dunia ini aneh, banyak orang yang merasa dirinya tegas tapi lucu. Menyukai dunia yang kotor tapi indah. Seperti aku yang jatuh cinta pada orang yang salah tapi tetap saja tidak bisa melupakannya.
Walaupun dia tidak tahu aku menyukainya. Walaupun dia tidak tahu aku merindukannya. Tetap saja aku memikirkannya dan perasaan itu tidak kurang sesentipun. Ngotot sekali aku ingin memilikinya. Tanpa aku sadar perasaanku bermetamorfosis menjadi keinginan yang tidak terkendali.
Aku melirik Liam yang sedang menjelaskan sambil mundar-mandir di depan kami. Aku sudah menajamkan pendengaranku. Tapi dalam benakku malah terlintas bayangan Liam sedang memakai pakaian hitam, berkabungnya. Aneh, aku mengkhayalkan istrinya meninggal.Mungkin ketiadaan istrinya bisa memberi peluang untukku menjadi bagian dari Liam Kavindra, bersamanya seumur hidupku. Menemaninya tidur, bercinta dengannya hingga pagi. Membayangkan saja membuatku bahagia.
Liam mengangkat satu alisnya, melihatku, "Kamu kenapa senyum-senyum kayak gitu?Ucapan saya ada yang lucu?" tanyanya. Semua orang melihatku dengan tatapan aneh.
Kalau dia tahu apa yang kupikirkan, apa yang akan dia ucapkan. Dia pasti langsung mendepakku keluar dari perusahaan ini dengan tidak hormat. Aku masih memandangi wajah Liam yang tampan itu.
"Diva. Liam negur tuh." Nara yang menyebalkan itu mencubit lenganku.
"Sakit... " Celetukku. Membuat yang melihatku menggeleng kepala. Aku hanya bisa nyengir kuda sangking memalukannya, "Tadi ngomong apa barusan Pak Liam?" tanyaku.
"Untung kamu cantik Diva kalau gak, tahu deh... Otak sama kecepatan kamu nangkep kerjaan gak bisa diharepin. Udah tau lemot masih sempat-sempetnya ngelamun." Doni si kutu kupret itu bicara kasar sekali. Awas saja dia, belum tahu aku merekam adegan syur-nya dengan wanita sewaktu di toilet kemarin. Mau tak viralin? Entah siapa wanita itu, pada saat itu aku hendak ke toilet tanpa sengaja melihat adegan dewasa.
Aku kembali melihat Liam yang masih menatapku kesal. Diantara semua pria di ruangan ini muka Liam yang paling tampan walau pun lagi pasang muka seram. Lihat saja mukanya sekarang kayak lagi mau ngajak tauran. Tauran di atas ranjang si aku gak nolak.
"Kamu bisa serius, Diva Queensha? Heran... hanya duduk manis seperti itu. Saya yakin gak ada yang masuk di otak kamu. Tunggu aja ya... jangan sampe kamu gak dapet target." Liam bersabda."Iya Pak, maaf. Aku denger kok dari tadi Bapak ngomong apa. Aku kalau kelewat konsentrasi memang kayak gini, suka senyum sendiri, tidur aja senyum--hmm, kata temen yang tidur sama aku sih gitu."
Aduh, jangan sampe Liam emosi. Bisa-bisa dia tidak mau bicara lagi denganku. Padahal aku berharap menjadi teman dekatnya--jadi bisa nyambi TTM, biar ada adegan romantis yang uwu-uwu ala-ala friendzone. Please... jangan marah."Ini peringatan terakhir ya. Lain kali kamu saya suruh meeting di toilet sendiri." Liam menarik kursi lalu duduk. Udah selesai presentasinya? Aku sama sekali belum mudeng apa yang mereka bahas. Mampus.
"Jadi gimana Diva? Kamu udah ada ide buat promosiin produk tadi? Pasti ada kan? Adalah ya! Masa gak ada sih. Harus ada lhoo..." Rania ini ular berlidah racun. Jahat banget nyudutin pas waktu lagi kayak gini.
Apa dia marah karena aku menggantikan dia ke Singapure?"Coba saya mau dengar saran kamu. Dari tadi yang lain sudah ngasih masukan, cuma kamu yang belum." Liam menatapku serius. Susan payah aku meneguk ludahku.
"Eum... anu... gimana kalo." Aku menarik senyum tipis, kira-kira tadi bahas produk apa ya? Rahang Liam mengeras, terlihat sisi tegas dalam dirinya. Kali ini naas nasibku, "Gimana kalau kita pakai kostum kerajaan promosiin di mall-mall besar." Ucapku cepat.Hanya itu yang terpikirkan olehku.
"Otak kamu emang cetek banget ya. Dikira ini zaman Juseon."
Aku menoleh pada Rania. "Otak siapa yang cetek?"
"Ya kamu lah... Ngelawak Bu?"
"Rania, jangan kayak gitu. Hargain pendapat Diva. Menurut aku malah lucu idenya. Gak usah pake ala-ala zaman kerajaan Majapahit... Entar yang ada seksi bingit." Suara itu dari Nara.
Bener juga sih, tidak lucu banget pakai kemben di mall-mall dengan selendang. Otakku benar-benar tidak bisa mikir lagi.
"Menurut aku sampah banget sih ide dia itu." Doni ikut berkomentar. Mungkin kalau mataku bisa keluar petir pasti akan menyambar Doni dan Rania. Mereka ini bicara tidak punya tata krama.
Lihat saja nanti kalau Liam bisa kumiliki, akan kubuat mereka seperti kain elap. Tiap hari kuinjak-injak. Mereka belum kenal saja siapa aku, beraninya sama anak baru. Aku memejamkan mataku, rasa kesal membuatku ingin menangis.
"Kayaknya ide Diva boleh juga. Tinggal kita sesuain sama sikon. Pakai gaun ala kerajaan luar boleh juga. Gimana? Nanti biar Diva yang jadi princes-nya sambil promosiin pakaian dalam perempuan."
"Pakaian... dalam?" tanyaku.
"Iya." Liam mengangguk. "Ini merk terkenal jadi kamu gak usah malu. Nanti Nara akan bantuin kamu di lapangan. Kamu gak harus make bra, cukup pegang aja kayak gimana cara promosiin. Kamu lebih pinter lah." Ini kok dia ngomongnya santai banget. Tidak merasa segan menyuruh aku menjajakkan pakaian dalam?
"Anu... Maaf, ngomong-ngomong pakaian dalam perempuan apa laki-laki ya?" kataku setengah hati.
"Santailah ini pakaian perempuan kok. Gak kalah sama produk Victoria Secret." Doni tersenyum puas sambil mengedipkan mata.
Aku mulai membayangkan memakai gaun ala Frozen dan kedua tanganku melambai-lambai memegang bra berenda sambil tersenyum pada orang-orang lewat. Kenapa gak nyuruh loncat dari gedung saja sekalian.
"Interupsi Pak?" kulirik Liam, dia tampak masa bodo. Jangan-jangan cowok-cowok keparat ini berniat sekali ingin aku menjajakan barang dagangan mereka dengan ide gilaku memanfaatkan aku.
"Kamu pikir bisa narik ide kamu lagi setelah Liam ok... jangan harep. Liat aja muka mereka itu, kere ide." Nara menepuk pundakku pelan lalu mengikuti Liam keluar dari ruangan.
🌹🌹🌹
"Tetep diterima kerjaan Liam?" Nara menarik kursi di samping kanan, lalu duduk sambil melihatku.
"Gak masalah. Aku jabanin kalau itu mau Liam." Jawabku santai. Mataku masih menatap layar laptop sambil mengetik. Menyelesaikan naskah yang sudah lama pending.
"Beneran gak papa? Itu tempat umum lho... ya walaupun merk-nya sekelas Victoria Secret atau selevel Pierre Cardin. Tetep aja BH ya BH."
Aku terkekeh. "Gakpapalah. Hitung-hitung amal buat pemandangan gratis." Candaku. "Toh gak dipakek kan BRAnya? Cuma pegang doang kan?"
"Iya sih, cuma pegang aja. Yaudah kalau kamu setuju gak papa."
"Kamu kebanyakan mikir Nara. Rileks lah aku juga gak bodoh banget nerima gitu aja." Kataku dengan kekehan pelan.
"Entar callingan ya cari gaunnya. Aku mau kafe dulu beli Cappucino mau nitip gak?" tanya Nara. Aku menggeleng. Lalu Nara pergi bersamaan Liam berjalan ke arah ruangnya.
Aku penasaran benarkah Liam tipe setia pada pasangannya. Beneran tidak bisa digoda wanita cantik dan modis? Hari gini masih ada? Aku menatap kaca ruang Liam yang tertutup tirai putih, seakan bisa menerawang sedang apa dia.
Ketampanan Liam sudah cukup untuk membuat banyak perempuan menggilainya. Jadi tidak heran kan aku adalah salah satu diantara mereka
"Sial banget aku dikasih job murahan."
Aku menahan nafas, untuk sesaat aku merasa ide konyol ini akan melukai harga diriku. Tapi aku pikir ini bisa dijadikan sesuatu. Bibirku tersenyum, kita lihat saja nanti apakah ekpresi datarnya masih tetap sama seperti itu.
"Liam, kamu kok tidur di kursi lagi?"Suara itu membuat Liam terjaga dari tidurnya lalu terduduk di sofa sambil mengucek matanya. Samira dengan tubuh kurus ramping di balut dress tidurnya berjalan lalu duduk di samping Liam."Kemana aja semalam? Aku pulang kok gak ada, jam berapa pulang?" Liam bertanya tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyandarkan kepalanya ke belakang jok sofa. Tubuh Liam masih berbalut kemeja putih, pakaian kantor kemarin."Semalem ada arisan....eeeh.. ternyata Renata ulang tahun... kami barbekyu deh di rumahnya makanya telat pulang," suaranya seperti berbisik. Liam mengangguk, toh ini bukan pertama kali dia pulang Samira tidak di rumah. Dan belakangan ini semakin sering.Liam menatapnya, "Masa kamu tega liat saya tidur sendirian?" Samira malah tertawa pelan."Jangan kayak anak kecil ah. Kamu tahu kan aku gak mau ngerawat anak kecil jadi jangan manja deh." Wajah tirus
Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke lapt
"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus...""Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya."I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va.""Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya.""Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi pad
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak