Pov: Diva
Akui saja dunia ini aneh, banyak orang yang merasa dirinya tegas tapi lucu. Menyukai dunia yang kotor tapi indah. Seperti aku yang jatuh cinta pada orang yang salah tapi tetap saja tidak bisa melupakannya.
Walaupun dia tidak tahu aku menyukainya. Walaupun dia tidak tahu aku merindukannya. Tetap saja aku memikirkannya dan perasaan itu tidak kurang sesentipun. Ngotot sekali aku ingin memilikinya. Tanpa aku sadar perasaanku bermetamorfosis menjadi keinginan yang tidak terkendali.
Aku melirik Liam yang sedang menjelaskan sambil mundar-mandir di depan kami. Aku sudah menajamkan pendengaranku. Tapi dalam benakku malah terlintas bayangan Liam sedang memakai pakaian hitam, berkabungnya. Aneh, aku mengkhayalkan istrinya meninggal.Mungkin ketiadaan istrinya bisa memberi peluang untukku menjadi bagian dari Liam Kavindra, bersamanya seumur hidupku. Menemaninya tidur, bercinta dengannya hingga pagi. Membayangkan saja membuatku bahagia.
Liam mengangkat satu alisnya, melihatku, "Kamu kenapa senyum-senyum kayak gitu?Ucapan saya ada yang lucu?" tanyanya. Semua orang melihatku dengan tatapan aneh.
Kalau dia tahu apa yang kupikirkan, apa yang akan dia ucapkan. Dia pasti langsung mendepakku keluar dari perusahaan ini dengan tidak hormat. Aku masih memandangi wajah Liam yang tampan itu.
"Diva. Liam negur tuh." Nara yang menyebalkan itu mencubit lenganku.
"Sakit... " Celetukku. Membuat yang melihatku menggeleng kepala. Aku hanya bisa nyengir kuda sangking memalukannya, "Tadi ngomong apa barusan Pak Liam?" tanyaku.
"Untung kamu cantik Diva kalau gak, tahu deh... Otak sama kecepatan kamu nangkep kerjaan gak bisa diharepin. Udah tau lemot masih sempat-sempetnya ngelamun." Doni si kutu kupret itu bicara kasar sekali. Awas saja dia, belum tahu aku merekam adegan syur-nya dengan wanita sewaktu di toilet kemarin. Mau tak viralin? Entah siapa wanita itu, pada saat itu aku hendak ke toilet tanpa sengaja melihat adegan dewasa.
Aku kembali melihat Liam yang masih menatapku kesal. Diantara semua pria di ruangan ini muka Liam yang paling tampan walau pun lagi pasang muka seram. Lihat saja mukanya sekarang kayak lagi mau ngajak tauran. Tauran di atas ranjang si aku gak nolak.
"Kamu bisa serius, Diva Queensha? Heran... hanya duduk manis seperti itu. Saya yakin gak ada yang masuk di otak kamu. Tunggu aja ya... jangan sampe kamu gak dapet target." Liam bersabda."Iya Pak, maaf. Aku denger kok dari tadi Bapak ngomong apa. Aku kalau kelewat konsentrasi memang kayak gini, suka senyum sendiri, tidur aja senyum--hmm, kata temen yang tidur sama aku sih gitu."
Aduh, jangan sampe Liam emosi. Bisa-bisa dia tidak mau bicara lagi denganku. Padahal aku berharap menjadi teman dekatnya--jadi bisa nyambi TTM, biar ada adegan romantis yang uwu-uwu ala-ala friendzone. Please... jangan marah."Ini peringatan terakhir ya. Lain kali kamu saya suruh meeting di toilet sendiri." Liam menarik kursi lalu duduk. Udah selesai presentasinya? Aku sama sekali belum mudeng apa yang mereka bahas. Mampus.
"Jadi gimana Diva? Kamu udah ada ide buat promosiin produk tadi? Pasti ada kan? Adalah ya! Masa gak ada sih. Harus ada lhoo..." Rania ini ular berlidah racun. Jahat banget nyudutin pas waktu lagi kayak gini.
Apa dia marah karena aku menggantikan dia ke Singapure?"Coba saya mau dengar saran kamu. Dari tadi yang lain sudah ngasih masukan, cuma kamu yang belum." Liam menatapku serius. Susan payah aku meneguk ludahku.
"Eum... anu... gimana kalo." Aku menarik senyum tipis, kira-kira tadi bahas produk apa ya? Rahang Liam mengeras, terlihat sisi tegas dalam dirinya. Kali ini naas nasibku, "Gimana kalau kita pakai kostum kerajaan promosiin di mall-mall besar." Ucapku cepat.Hanya itu yang terpikirkan olehku.
"Otak kamu emang cetek banget ya. Dikira ini zaman Juseon."
Aku menoleh pada Rania. "Otak siapa yang cetek?"
"Ya kamu lah... Ngelawak Bu?"
"Rania, jangan kayak gitu. Hargain pendapat Diva. Menurut aku malah lucu idenya. Gak usah pake ala-ala zaman kerajaan Majapahit... Entar yang ada seksi bingit." Suara itu dari Nara.
Bener juga sih, tidak lucu banget pakai kemben di mall-mall dengan selendang. Otakku benar-benar tidak bisa mikir lagi.
"Menurut aku sampah banget sih ide dia itu." Doni ikut berkomentar. Mungkin kalau mataku bisa keluar petir pasti akan menyambar Doni dan Rania. Mereka ini bicara tidak punya tata krama.
Lihat saja nanti kalau Liam bisa kumiliki, akan kubuat mereka seperti kain elap. Tiap hari kuinjak-injak. Mereka belum kenal saja siapa aku, beraninya sama anak baru. Aku memejamkan mataku, rasa kesal membuatku ingin menangis.
"Kayaknya ide Diva boleh juga. Tinggal kita sesuain sama sikon. Pakai gaun ala kerajaan luar boleh juga. Gimana? Nanti biar Diva yang jadi princes-nya sambil promosiin pakaian dalam perempuan."
"Pakaian... dalam?" tanyaku.
"Iya." Liam mengangguk. "Ini merk terkenal jadi kamu gak usah malu. Nanti Nara akan bantuin kamu di lapangan. Kamu gak harus make bra, cukup pegang aja kayak gimana cara promosiin. Kamu lebih pinter lah." Ini kok dia ngomongnya santai banget. Tidak merasa segan menyuruh aku menjajakkan pakaian dalam?
"Anu... Maaf, ngomong-ngomong pakaian dalam perempuan apa laki-laki ya?" kataku setengah hati.
"Santailah ini pakaian perempuan kok. Gak kalah sama produk Victoria Secret." Doni tersenyum puas sambil mengedipkan mata.
Aku mulai membayangkan memakai gaun ala Frozen dan kedua tanganku melambai-lambai memegang bra berenda sambil tersenyum pada orang-orang lewat. Kenapa gak nyuruh loncat dari gedung saja sekalian.
"Interupsi Pak?" kulirik Liam, dia tampak masa bodo. Jangan-jangan cowok-cowok keparat ini berniat sekali ingin aku menjajakan barang dagangan mereka dengan ide gilaku memanfaatkan aku.
"Kamu pikir bisa narik ide kamu lagi setelah Liam ok... jangan harep. Liat aja muka mereka itu, kere ide." Nara menepuk pundakku pelan lalu mengikuti Liam keluar dari ruangan.
🌹🌹🌹
"Tetep diterima kerjaan Liam?" Nara menarik kursi di samping kanan, lalu duduk sambil melihatku.
"Gak masalah. Aku jabanin kalau itu mau Liam." Jawabku santai. Mataku masih menatap layar laptop sambil mengetik. Menyelesaikan naskah yang sudah lama pending.
"Beneran gak papa? Itu tempat umum lho... ya walaupun merk-nya sekelas Victoria Secret atau selevel Pierre Cardin. Tetep aja BH ya BH."
Aku terkekeh. "Gakpapalah. Hitung-hitung amal buat pemandangan gratis." Candaku. "Toh gak dipakek kan BRAnya? Cuma pegang doang kan?"
"Iya sih, cuma pegang aja. Yaudah kalau kamu setuju gak papa."
"Kamu kebanyakan mikir Nara. Rileks lah aku juga gak bodoh banget nerima gitu aja." Kataku dengan kekehan pelan.
"Entar callingan ya cari gaunnya. Aku mau kafe dulu beli Cappucino mau nitip gak?" tanya Nara. Aku menggeleng. Lalu Nara pergi bersamaan Liam berjalan ke arah ruangnya.
Aku penasaran benarkah Liam tipe setia pada pasangannya. Beneran tidak bisa digoda wanita cantik dan modis? Hari gini masih ada? Aku menatap kaca ruang Liam yang tertutup tirai putih, seakan bisa menerawang sedang apa dia.
Ketampanan Liam sudah cukup untuk membuat banyak perempuan menggilainya. Jadi tidak heran kan aku adalah salah satu diantara mereka
"Sial banget aku dikasih job murahan."
Aku menahan nafas, untuk sesaat aku merasa ide konyol ini akan melukai harga diriku. Tapi aku pikir ini bisa dijadikan sesuatu. Bibirku tersenyum, kita lihat saja nanti apakah ekpresi datarnya masih tetap sama seperti itu.
"Liam, kamu kok tidur di kursi lagi?"Suara itu membuat Liam terjaga dari tidurnya lalu terduduk di sofa sambil mengucek matanya. Samira dengan tubuh kurus ramping di balut dress tidurnya berjalan lalu duduk di samping Liam."Kemana aja semalam? Aku pulang kok gak ada, jam berapa pulang?" Liam bertanya tanpa menjawab pertanyaannya seraya menyandarkan kepalanya ke belakang jok sofa. Tubuh Liam masih berbalut kemeja putih, pakaian kantor kemarin."Semalem ada arisan....eeeh.. ternyata Renata ulang tahun... kami barbekyu deh di rumahnya makanya telat pulang," suaranya seperti berbisik. Liam mengangguk, toh ini bukan pertama kali dia pulang Samira tidak di rumah. Dan belakangan ini semakin sering.Liam menatapnya, "Masa kamu tega liat saya tidur sendirian?" Samira malah tertawa pelan."Jangan kayak anak kecil ah. Kamu tahu kan aku gak mau ngerawat anak kecil jadi jangan manja deh." Wajah tirus
Liam ingin membantahnya, tapi gila memang perasaannya semakin tidak terkendali setiap melihat Diva. Alih-alih memiliki semboyan satu istri sudah cukup, tapi justru mendamba wanita lain. Ini tidak mimpi kan? Diva sedang menatapnya dengan senyum manisnya, pakaian sexy yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.Liam menatap lurus padanya, "Kenapa saya harus punya perasaan ini sama kamu, Diva Queensha?" Ini tidak masuk akal banget, sialan!"Gak ada yang salah dengan perasaan, Liam. Aku gak mau naif. Aku juga suka sama kamu. " Katanya penuh perasaan. Apa maksudnya? Dia juga nyimpan perasaan yang sama seperti Liam?Liam menangkup wajah Diva, bibir ranumnya menarik perhatian mata Liam. Ia menciumnya lembut dan Diva tidak menolak, "Saya gak mau bohong... saya mau kamu jadi partner saya di atas ranjang... " Diva bungkam menatapnya. "Bilang Diva... Kamu juga berpikir begitu?"Pipinya memerah. Diva membuka mulutnya
"Akhirnya bisa, aku pikir otakku gak nyampe." Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja. Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik."Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva.Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke lapt
"Maaa, bangun ma, jangan tidur terus...""Sudah Diva, jangan menangis. Mama kamu sudah bahagia di tempat yang jauh di sana. Kamu harus ikhlas, Diva."Terlihat netra kesedihan dari wajah wanita muda itu, dia baru saja kehilangan ibunya. Tapi yang membuatnya semakin sedih adalah kelakuan ayahnya yang membawa wanita simpanannya ke rumah duka. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Diva memandang ayahnya penuh kebencian.Bisa-bisanya Ayahnya membawa wanita selingkuhannya di rumah duka, dia tidak akan memaafkan ayahnya."I'm proud of you," ujar Renata mengelus pundak Diva lembut, "kamu harus kuat. Yang tabah ya, Va.""Makasih Re, aku cuma punya kamu yang menguatkanku. Sedangkan yang semestinya berada di dekatku malah bersama gundiknya.""Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan setelah Tante Maya meninggal. Dia menyimpan kesedihannya sendiri sampai akhir hayatnya." Sejenak Renata terdiam, merasa ngeri membayangkan hal itu terjadi pad
Namanya Diva Queensha, dia sendiri gak ngerti kenapa orangtuanya ngasih nama Diva yang artinya dalam bahasa latin-hebat, dalam bahasa sejarah arti kosakatanya nunjukin penyanyi Opera wanita kelas atas. Dan Queensha diambil dari kata bahasa Inggris artinya ratu. Orangtuanya itu asli Indonesia tapi mereka membuat dia menyandang nama seberat itu.Sewaktu Diva SD sampe SMA sering banget dibully gara nama hebat-nya itu. Siapa coba yang gak meradang? Kalau becanda its ok, tapi kalau udah main kritik. Yaampun, kayak nama situ bagus aja palingan juga gak punya arti asal buat orangtuanya.Hari ini, hari pertama Diva di tempat kerja barunya dan... yang paling dia benci adalah perkenalan diri. Yang terlintas di otak dia adalah mereka bakal ngetawain namanya apa nggak."Selamat siang nama saya Diva Queensha." Dan perkenalan singkat Diva gak dapet respon, mereka pada sibuk semua. Kurang sopan banget kan, tapi
Diva teringat perkenalannya dengan Liam."Berdiri di situ!"Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih."Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu."Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele denga
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu