"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."
Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam.
"Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.
Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.
Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."
Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara.
"Mata aku ke laptop, aku gak bisa ngetik kalau gak lihat layarnya." Jawab Diva santai, "Apa waktunya sangat mepet sampai harus selesai sekarang?"
"Kamu lupa? Saya pernah ngasih tau hal ini jauh hari, periksa lagi sebelum kamu email biar gak kerja dua kali." Liam mengingatkan dengan suara berwibawa.
"Baik, Pak." Lagi-lagi Diva tidak melihat wajah Liam.
"Kenapa kamu bersikap dingin kepada saya? Sangat menjengkelkan sekali. Saya gak pernah diperlakukan seperti ini oleh staf lain," Liam mengeluh, terganggu dengan cara Diva berkomunikasi dengannya. Mereka saling menatap beberapa saat.
"Kamu gak bertanya kenapa aku bersikap seperti ini?" Diva tidak tahan lagi, dia sengaja bicara kasar. Sorot mata Liam menjadi serius. "Gaya perfeksionis kamu dengan kepribadian kamu, jauh banget." Diva menghinanya.
"Kamu lagi ngebahas kejadian malam itu? Saat saya-kamu." Liam mengingat malam itu yang membuat mereka berdua mabuk kepayang.
"Aku gak bahas ciuman bapak yang hambar itu." Tukas Diva, dia tidak boleh terlihat menyukai saat Liam menciumnya. Saat dia menyukai aroma maskulin pria itu saat memeluknya.
Liam tertawa sinis, "Terus kenapa yang dicium diem aja? Jangan-jangan kamu sudah biasa diciumin, iya?" Ujar Liam kekanak-kanakan. Diva menatapnya tajam.
"Ternyata Bapak lebih membosankan dari dugaanku!" Diva memukul meja, Liam menahan senyumnya, "untuk apa aku terpengaruh sama pencium amatiran." Lalu kembali melihat layar laptop sambil menggerakkan giginya. Dia berjanji pada dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan pria brengsek, playboy yang punya istri ini.
"Dan kamu wanita yang gak pernah salah." Ujar Liam merasa terhina, dia tidak akan salah menilai... Diva pernah sengaja menggodanya, kalau dia ingat. "Saya amat menghargai malam itu kamu ngasi saya akses untuk menyentuh kamu." Tambah Liam. Diva ingin menggigit bibirnya, dia benar-benar menggigitnya.
Sebenarnya pekerjaan Diva telah selesai, tapi dia menunggu Liam menjelaskan kenapa ciuman itu terjadi dan permintaan maaf pria itu atas ucapannya. Dan sampai akhirnya Diva yang kalah, Liam sama sekali tidak membahas lagi tentang adegan panas mereka yang pindah-pindah tempat itu. Bahkan jika Liam bilang itu karena pengaruh alkohol, itu jauh lebih baik.
Diva membuka mulutnya dengan kesal. "Aku single, bebas ciuman dengan siapa aja. Nah, Bapak gimana? Apa kabar istri kamu kalau tahu suaminya grepek-grepek wanita lain."
"Kamu ngancem saya?" Liam meliriknya tajam dengan wajah datarnya.
Diva cekikikan. "Menurut kamu?" Wajahnya kembali serius.
"Jangan macem-macem, Diva." Liam nyaris membentaknya, "Kamu akan menyesal bawa-bawa istri saya dalam hal ini. Saya gak akan tanggung jawab." Ditambah satu fakta lagi, keadaan waktu itu tidak akan terjadi kalau Diva tidak meresponnya.
Diva menatap kesal laki-laki angkuh itu dengan mata berkaca-kaca, karena sikap Liam seolah Diva ingin mengambil keuntungan padahal, dia ingin mengubur perasaannya pada laki-laki itu. Diva sadar perkara ciuman tidak perlu di besar-besarkan.
"Saya minta maaf," gumam Liam. Diva menajamkan pendengarannya, seolah tidak percaya Liam berkata itu, "Kamu gak denger saya minta maaf?" Mata mereka bertemu beberapa menit. Lalu Liam kembali bersuara, "Malam itu keadaan kita lagi gak waras. Terutama saya." Bagusnya dia mengakui. Liam ingin berkata banyak lagi tapi dia mengurungkan niatnya. Jika dia bersuara lagi Diva akan tahu keadaan rumah tangganya sedang dalam zona merah.
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram
Liam terburu-buru mendatangi kantor polisi, rasanya sangat geram mendengar Samira bau alkohol di tangkap polisi. Di tambah lagi orang yang dipukul teman Samira bukanlah orang sembarangan. Jadi Liam menghubungi temannya yang berprofesi pengacara untuk meminta bantuan.Sejam kemudian, saat Liam duduk di depan meja bapak polisi. Diva datang, kedua orang itu tampak sama-sama kaget karena berada di kantor polisi. Sedangkan Genk Samira berada di kursi belakang yang menempel pada dinding."Ree, kok bisa gini sih?" Diva menghampiri Renata yang bermake-up tebal. Dia mencium aroma alkohol yang menyengat dari Renata, "Kamu minum?""Dikit." Renata tersenyum seperti orang bodoh. "Please Queen tolongin aku ya...""Giliran kayak gini kamu manggil aku Queen, tapi kalo udah kumat segala nama binatang kamu nobatin padaku." Runtuk Diva, di sebelah Renata seorang wanita menghentakkan kakinya kesal."S
Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya."Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya."Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya."Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut
Liam pikir dia tidak kena macet, ternyata tetap kejebak macet parah di jalan. Mood Liam masih kesal sampai sekarang, apalagi di tambang macet begini.Sampai di kantor tidak ada satupun yang dia senyumin untuk membalas sapaan mereka. Lagipun orang tahu Liam bukan orang yang suka menebar keramah- tamahan."Pagi Pak Liam." Itu suara Nara, dia baru saja masuk ke lift, "Itu dasinya berantakan... mau aku bagusin?""Ehm..." deheman Doni saat Nara ingin mendekat."Gak usah... saya sengaja biar gak sesek nafas." tolak Liam dingin, kadang Nara ini kebangetan agresif. Saat lift akan tutup, tiba-tiba perempuan super ceroboh menahan tangannya pada pintu."Ikut ya..."Hidung Liam langsung menerima aroma wangi kedatangan Diva, dia berdiri di depan sedang Liam di belakangnya. Siapa pun bisa menebak Diva tipe wanita suka ke salon, tubuhnya terawat dan wangi. Begitu saja emosi Liam yang tadinya diubun-ubun kembali tenang seperti air.Tiga hari be
POV: Diva.Aku membuatkan kopi untuk Liam, di kantor banyak kopi dengan campuran lain. Aku pernah mencium aroma kopi bercampur coklat saat di ruang Liam. Aku yakin dia suka campuran coklat. Mencampur gula sedikit dan garam secuil biar tidak pekat rasa pahitnya. Aromanya harum setelah kuseduh. Setelah membuang plastik bekas kopi aku berjalan menuju ruang Liam Kavindra."Lumayan rasanya." Dia menyesap kopi yang kuberikan. Yang ku khawatirkan bukan rasa kopi tapi keadaan sunyi di ruang ini. Hanya ada kamu berdua saja.Nampak Liam tersenyum aneh menatap keseluruhanku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini, tapi lebih baik aku bersikap santai dan berpikir positif."Kamu marah?""Kenapa aku marah, Pak?"Dia malah tersenyum lalu meletakkan cangkirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku yakin tidak ada wanita yang akan tahan ditatap sedalam itu oleh pria tampa
POV DivaAku sengaja pulang lebih cepat, tanganku memegang ponsel untuk memesan grab. Mobilku di pinjam Renata yang katanya sebentar tapi sampai saat ini dia belum juga datang mengembalikannya. Aku berjalan cepat seakan aku sedang di kejar cahaya kecemasan.Tapi tiba-tiba lampu diparkiran menyorot diriku lalu suara klakson terdengar, sial itu mobil Liam. Sedetik... dua detik... mobil itu diam. Tiba-tiba Liam keluar dengan wajah geramnya berjalan ke arahku."Saya kan udah bilang tunggu saya pulangnya!""Aku kan gak bilang akan menunggu Bapak." Kataku dengan satu alis naik. Dia ini benar-benar bikin naik emosi. Untuk apa coba nungguin dia?"Kalau saya udah ngasih pesan berarti itu keharusan. Kamu gak bawa mobilkan? Pulangnya sama saya." Dia bertanya tapi menjawab sendiri. Tangannya yang kuat menarikku ke mobilnya dan tubuhku hanya pasrah."Aku udah pesan grab.