Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.
Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya.
"Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya.
"Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.
Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya.
"Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut
Liam pikir dia tidak kena macet, ternyata tetap kejebak macet parah di jalan. Mood Liam masih kesal sampai sekarang, apalagi di tambang macet begini.Sampai di kantor tidak ada satupun yang dia senyumin untuk membalas sapaan mereka. Lagipun orang tahu Liam bukan orang yang suka menebar keramah- tamahan."Pagi Pak Liam." Itu suara Nara, dia baru saja masuk ke lift, "Itu dasinya berantakan... mau aku bagusin?""Ehm..." deheman Doni saat Nara ingin mendekat."Gak usah... saya sengaja biar gak sesek nafas." tolak Liam dingin, kadang Nara ini kebangetan agresif. Saat lift akan tutup, tiba-tiba perempuan super ceroboh menahan tangannya pada pintu."Ikut ya..."Hidung Liam langsung menerima aroma wangi kedatangan Diva, dia berdiri di depan sedang Liam di belakangnya. Siapa pun bisa menebak Diva tipe wanita suka ke salon, tubuhnya terawat dan wangi. Begitu saja emosi Liam yang tadinya diubun-ubun kembali tenang seperti air.Tiga hari be
POV: Diva.Aku membuatkan kopi untuk Liam, di kantor banyak kopi dengan campuran lain. Aku pernah mencium aroma kopi bercampur coklat saat di ruang Liam. Aku yakin dia suka campuran coklat. Mencampur gula sedikit dan garam secuil biar tidak pekat rasa pahitnya. Aromanya harum setelah kuseduh. Setelah membuang plastik bekas kopi aku berjalan menuju ruang Liam Kavindra."Lumayan rasanya." Dia menyesap kopi yang kuberikan. Yang ku khawatirkan bukan rasa kopi tapi keadaan sunyi di ruang ini. Hanya ada kamu berdua saja.Nampak Liam tersenyum aneh menatap keseluruhanku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini, tapi lebih baik aku bersikap santai dan berpikir positif."Kamu marah?""Kenapa aku marah, Pak?"Dia malah tersenyum lalu meletakkan cangkirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku yakin tidak ada wanita yang akan tahan ditatap sedalam itu oleh pria tampa
POV DivaAku sengaja pulang lebih cepat, tanganku memegang ponsel untuk memesan grab. Mobilku di pinjam Renata yang katanya sebentar tapi sampai saat ini dia belum juga datang mengembalikannya. Aku berjalan cepat seakan aku sedang di kejar cahaya kecemasan.Tapi tiba-tiba lampu diparkiran menyorot diriku lalu suara klakson terdengar, sial itu mobil Liam. Sedetik... dua detik... mobil itu diam. Tiba-tiba Liam keluar dengan wajah geramnya berjalan ke arahku."Saya kan udah bilang tunggu saya pulangnya!""Aku kan gak bilang akan menunggu Bapak." Kataku dengan satu alis naik. Dia ini benar-benar bikin naik emosi. Untuk apa coba nungguin dia?"Kalau saya udah ngasih pesan berarti itu keharusan. Kamu gak bawa mobilkan? Pulangnya sama saya." Dia bertanya tapi menjawab sendiri. Tangannya yang kuat menarikku ke mobilnya dan tubuhku hanya pasrah."Aku udah pesan grab.
Sesempurna apa pun bangke di simpan pasti akan tercium juga, penghuni kantor merasakan aroma asmara antara Diva dan Liam. Dari mereka yang sering makan siang bareng, keluar bareng dari gedung ke parkiran menuju mobil masing-masing.Bahkan dalam keadaan meeting mata Liam dan Diva itu sering bertemu dengan pancaran seperti orang yang kasmaran. Sungguh fenomena ini menjadi buah bibir anak kantor. Apa Diva sudah siap mengambil resiko menjalin hubungan dengan atasan yang sudah beristri? Seharusnya wanita itu lebih memakai otaknya ketimbang perasaan."Tuh anak mau aja jadi simpenan boss." Rania meledek wanita yang baru saja lewat untuk membuat kopi. Satu temannya lain tertawa sinis."Mungkin Pak Liam-nya aja yang pengen cari daun muda. Laki-laki itu yang penting dapet makanan juniornya." Ucap salah seorang wanita, mereka menyesap kopi di dapur kantor."Issh, udah gitu aku lihat tas baru Diva. Pasti pemberian Bos
Diva yang menantikan Liam datang ke apartemennya mempercepat makannya, setelah selesai makan Diva keluar lebih dulu. Liam berjalan ke arah kasir membayar dua meja sekaligus punya Diva membuat kasir berekspresi.Di parkiran barulah Diva bernafas lega, dia masuk setelah Liam masuk duluan dan menghidupkan mobilnya. Liam menyentuh paha Diva ketika wanita itu memakai seatbealt-nya. "Maaf ya kamu gak nyaman."Diva menoleh dan menatap wajah tampan Liam. Rambut pendek Liam yang terkesan rapih dan hidungnya yang sedikit mancung, "Iya, aku ngerti, santai aja, Pak." lalu ia berjengit ketika Liam mencium bibirnya. Lembut dan lama, dia jadi ingat sewaktu mereka ciuman di mobil.Diva melepas ciuman lebih dulu. "Ini tempat umum, Pak Liam.""Kamu sih panggil saya Pak." protesnya, "Gak lama kok, lima detik lagi ya." Pinta Liam yang tidak sabaran lagi."Kayaknya kamu suka banget ciuman di mobil ya?
John Kavindra sudah boleh pulang ke rumah setelah tiga hari lalu sempat di rawat di rumah sakit. Samira menelpon Liam untuk menjemput mereka di rumah sakit, Samira memperlakukan mertuanya sangat hormat walaupun dia kurang perhatian pada kedua orang tua berumur itu.Hari-hari yang dilakukan bersama mertuanya seperti biasa tidak ada yang spesial--dia juga memberikan perhatian pada mereka... ya karena kewajiban sebagai menantu saja. Seperti menanyakan kabar, membelikan pakaian baru saat hari raya, membawakan masakan saat berkunjung ke rumah mertua. Tapi itu semua tidak membuat nyaman ibu dan ayah Liam di usia senja. Tidak ada keceriaan anak kecil yang membuat mereka gembira.Liam memiliki adik perempuan yaitu Nana Kavindra, dia memiliki satu anak perempuan. Tapi ya tetap saja orangtua Liam menginginkan cucu dari Liam dan Samira. Orangtuanya tidak akan memberikan setengah dari hartanya jika Liam belum juga memberikan cucu untuk mereka. Sayangnya, Samira tidak terpeng
"Aku lagi males berdebat ya.""Saya gak ngajak berdebat... tapi ngasih pengertian sama kamu. Setiap apa yang saya bilang kamu selalu ada aja jawaban."Samira memutar bola matanya. "Kamu bisanya ngoceh aja, ada gak kamu lakuin? Kamu itu orang sok sibuk tahu gak..." penghinaan lagi yang didapatkan Liam dari istrinya, "Kalo kamu ngerasa kerjaan aku salah yaudah angkat balik pot bunganya di depan gerbang rumah mama kamu!""Lebih baik kamu gak usah ngerjain kalo gak ikhlas." ujar Liam."Wah! Ngeselin kamu ya lama-lama." Balas Samira melotot ke arah Liam. Pikirnya dia telah melakukan hal terbaik sebagai istri Liam, tapi tidak mendapatkan pengakuan Liam. Padahal dia telah mengeluarkan tenaga dan waktunya untuk membersihkan halaman rumah mertuanya. Tubuhnya saja sudah pegal, pinggangnya encok... belum lagi gatal-gatal merah akibat tanaman bunga itu.Satu jam kemudian mobil Liam terparkir di garasi