["Best daddy in the world."] ["Thanks dad... For making me a top priority, compared to others."] Dada Nilam terasa sesak. Melihat postingan Elisha membuat perasaannya terisis. Tidak terasa air mata Nilam jatuh juga. Padahal sejak sore tadi, dia sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. "Sialan." "Kalau dia emang mau pergi ama Qila dan Bu Elisha, kenapa nggak bilang aja?" "Kenapa malah matiin hapenya? Dan nggak bilang apa-apa?" Nilam menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak sekali. "Duda sialan! Capek-capek aku masak banyak buat dia! Dia malah seneng-seneng ama mereka." "Brengsek!" Nilam meremas sprei di bawah tubuhnya. Masih dengan wajah penuh air mata, dia berkata lagi, "Capek banget pacaran sama orang yang masih punya ikatan ama masalalu. Capek banget Ya Tuhan." Seharusnya Nilam sadar, Jean akan selalu menjadikan Qila prioritas di atas segalanya, bahkan lebih darinya. Dan dia sangat paham itu. Tapi yang paling membuatnya terluka, tiap Jean datang untuk m
"Gue harus cepet-cepet sampai rumahnya Bu Elisha." "Gue nggak mau Bu Elisha ngelakuin hal yang aneh-aneh ke Kak Jean." Nilam memacu motornya lebih cepat lagi. Namun meskipun begitu, ia juga tetap berhati-hati. Saat ingin menepi setelah putar balik, Nilam jiga beberapa kali mengecek ke belakang dan memastikan jika kendaraan di belakangnya sudah berada di jarak aman. Tapi— hari buruk itu memang tidak bisa diduga sebelumnya. Padahal ia sudah berada di jalur yang benar, namun sebuah mobil justru menyeruduknya hingga motornya hingga terpental ke depan dan terlindas. Sementara Nilam sendiri juga mengalami hal yang serupa. Ia terjatuh dengan helm yang membentur aspal dengan cukup keras hingga darah terlihat merembes di bagian depan kening sampai ke dagu. Tubuhnya yang sempat terguling tampak lecet dan penuh luka. "U-ughh..." Nilam menatap langit malam di atasnya dengan pandangan memburam. Badannya seakan mati rasa. Sementara kepalanya rasanya nyeri luar biasa. Padahal dia hanya in
"Siapa nama korban?""Nilam Pak. Umurnya 20 tahun. Dia tinggal di perumahan Graha Permata."Karena di lokasi kejadian tidak ditemukan KTP, jadilah mereka berdua bertanya pada Nana mengenai data diri Nilam."Kalau boleh tau, kalian ini siapa-nya korban?""Kita temennya Pak.""Oh ya. Apa kalian punya nomor keluarga korban? Biar bisa kami hubungi untuk proses selanjutnya?"Nana melihat ke arah Mas Pacar. Dia tidak punya nomor Bu Mala karena setelah ganti hape, gadis itu lupa menyimpan nomor beliau."Saya nggak punya nomor Mamanya, Pak. Tapi— saya ada nomor pacarnya Nilam, eh— tunangan. Itu bisa nggak?" tanya Nana hati-hati."Boleh. Siapa tau orang tersebut punya nomor keluarga korban," balas polisi itu kemudian.Dan tanpa pikir panjang, Nana pun memberikan nomor ponsel milik Jean.***Suara dering ponsel yang terdengar berulang kali, membuat Jean mulai terbangun dari tidurnya. Pria itu mengerj
"Aku tadi ngasih tau Nilam kalau kamu nginep di sini."Jean meremas buku jarinya. Ia berbalik dan menoleh ke arah Elisha dan langsung menamparnya keras.Elisha saja sampai oleng dengan mata mendelik karena terkejut. Seumur-umur dia mengenal Jean, baru kali ini pria itu bermain kasar. "Dasar jalang! Kamu bener-bener kelewatan, Sha!" serah Jean dengan tampang murka.Sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri, Elisha membalas, "Apapun bisa aku lakukan demi kamu, Mas! Aku nggak peduli itu buruk atau enggak."Jean menangkap kedua pipi Elisha dengan satu tangan. Mencengkram wajah mantan istrinya ini dengan keras tanpa mempedulikan jika wanita itu adalah ibu kandung putrinya. "Selama ini, aku nggak pernah kasar ke kamu meskipun kelakuan kamu selalu membuatku emosi. Tapi kali ini, aku benar-benar nggak akan segan buat nyakitin kamu kalau sampai Nilam jadi benci padaku karena kebohongan kamu!""Kebohongan mana yang kamu maksud? Foto-foto itu real
Sekitar pukul 9 malam, Qila dan kedua orang tuanya sudah tiba di rumah. Jean langsung menggendong putri kecilnya itu untuk istirahat di kamarnya karena memang kondisi Qila yang masih lemas."Kamu tidur yang nyenyak ya! Besok pagi Papa ke sini lagi sama Mbak Nilam," pamit Jean sebelum pulang dari rumah tersebut.Qila hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pa.""Jangan lupa di minum obatnya! Terus, jangan rewel lagi.""Hem.""Besok Papa bawain kamu hadiah spesial biar kamu cepet sehat."Qila makin tersenyum lebar. "Okey Pa.""Ya udah, Papa pulang ya!" Jean mengecup kening putrinya. Memeluk bocah 8 tahun itu dengan hangat sebelum pamit dari sana.Ia tau, ini sudah terlambat sekali untuk menemui Nilam tapi dia harap gadis itu masih menunggunya."Mas!"Jean yang baru saja tiba di lantai dasar, menengok ke arah Elisha yang muncul dari area dapur. Di tangannya ada sebuah nampan dengan cangki
"Ayolah, Sha. Please..." "Oke... Tapi jangan di si—" Belum selesai bicara, Dikta langsung meraup bibir Elisha dan menciumnya. Tidak sekedar ciuman biasa, karena lelaki itu juga berani melumat dan menggigit kecil bibir sekertarisnya. Dikta mendorong wanita itu dan menyudutkannya ke dinding. Lelaki itu kembali mencumbu Elisha bukan hanya di bibir saja, tapi mulai turun ke leher dan membuat bite mark di sana. Belum lagi tangan Dikta mulai menggerayangi tubuh Elisha sesuka hatinya. Hingga membuat janda itu berusaha keras untuk menahan nafas. "Pak Dikta!" Elisha sengaja menginterupsi gerakan tangan si Bos yang hendak menurunkan gaunnya. "Ada apa?" "Kita pindah ke kamar bawah aja! Aku takut Mas Jean bangun," ajak Elisha dengan wajah memerah. Dikta menarik sudut bibirnya. Ia pikir Elisha akan menolaknya, tapi ternyata dugaannya salah besar. "Oke. Terserah kamu aja." Flashback End... *** Elisha mengusap jejak kemerahan yang masih kentara jelas di lehernya. Walaupun ini bu
"Di mana Nilam?"Jean langsung berdiri menyambut Bu Mala yang baru pulang dari luar kota. Wanita itu terlihat ngos-ngosan saat tiba di rumah sakit setelah berlarian dari parkiran menuju ke ruangan Nilam."Dia di dalam Tante.""Keadaannya gimana?" tanya Bu Mala dengan panik. Begitu mendengar Nilam kecelakaan, wanita itu segera kembali ke Jakarta untuk memastikan kondisi putrinya."Nilam masih koma, Tante."Bu Mala lemas seketika. Lututnya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. "K-koma?""Luka di kepalanya cukup parah."Bu Mala terkulai tak berdaya mendengar penjelasan Jean. Untungnya pria itu membantu Bu Mala untuk duduk di bangku terdekat."Nilam... Kenapa ini bisa terjadi..." Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan air mata. Hancur sekali saat mengetahui jika putrinya terluka cukup parah. Padahal sebelum pergi Nilam dalam keadaan baik-baik saja."Kenapa bisa kayak gini, Nak? Kenapa kamu harus kamu y
"Apa yang kamu inginkan dari Nilam? Kenapa kamu terus-terusan ngejar dia kalau cuma buat dia kecewa?" Jean menatap sendu ke arah Bu Mala. Pertanyaan wanita paruh baya itu membuatnya tertohok. "Percuma aja kalian bersama kalau ujung-ujungnya kamu tetap belain mantan istri kamu itu. Yang ada kamu hanya membuat anak Tante jadi menderita kaya sekarang." Bu Mala menyorot tajam ke arah Jean. Jujur dia merasa muak sekali dengan pria di depannya ini. "Mending kamu pergi dari sini dan belajar buat lupain Nilam!" "Saya nggak bisa Tante. Saya cinta sama Nilam. Saya nggak mungkin ninggalin dia." "Oh? Gitu ya?" Bu Mala berkacak pinggang. Raut wajah Bu Mala sangat menunjukkan jika dia sama sekali tidak mempercayai ucapan Jean. "Kemarin kamu juga bilang hal yang sama kan? Tapi faktanya apa? Kamu nggak bisa nepatin janji kan?" "Tante... Saya mohon... Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya ngg
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog