"Di mana Nilam?"
Jean langsung berdiri menyambut Bu Mala yang baru pulang dari luar kota. Wanita itu terlihat ngos-ngosan saat tiba di rumah sakit setelah berlarian dari parkiran menuju ke ruangan Nilam."Dia di dalam Tante.""Keadaannya gimana?" tanya Bu Mala dengan panik. Begitu mendengar Nilam kecelakaan, wanita itu segera kembali ke Jakarta untuk memastikan kondisi putrinya."Nilam masih koma, Tante."Bu Mala lemas seketika. Lututnya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. "K-koma?""Luka di kepalanya cukup parah."Bu Mala terkulai tak berdaya mendengar penjelasan Jean. Untungnya pria itu membantu Bu Mala untuk duduk di bangku terdekat."Nilam... Kenapa ini bisa terjadi..." Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan air mata. Hancur sekali saat mengetahui jika putrinya terluka cukup parah. Padahal sebelum pergi Nilam dalam keadaan baik-baik saja."Kenapa bisa kayak gini, Nak? Kenapa kamu harus kamu y"Apa yang kamu inginkan dari Nilam? Kenapa kamu terus-terusan ngejar dia kalau cuma buat dia kecewa?" Jean menatap sendu ke arah Bu Mala. Pertanyaan wanita paruh baya itu membuatnya tertohok. "Percuma aja kalian bersama kalau ujung-ujungnya kamu tetap belain mantan istri kamu itu. Yang ada kamu hanya membuat anak Tante jadi menderita kaya sekarang." Bu Mala menyorot tajam ke arah Jean. Jujur dia merasa muak sekali dengan pria di depannya ini. "Mending kamu pergi dari sini dan belajar buat lupain Nilam!" "Saya nggak bisa Tante. Saya cinta sama Nilam. Saya nggak mungkin ninggalin dia." "Oh? Gitu ya?" Bu Mala berkacak pinggang. Raut wajah Bu Mala sangat menunjukkan jika dia sama sekali tidak mempercayai ucapan Jean. "Kemarin kamu juga bilang hal yang sama kan? Tapi faktanya apa? Kamu nggak bisa nepatin janji kan?" "Tante... Saya mohon... Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya ngg
"Aku titip Nilam ya!"Nana hanya bisa menatap Jean dengan pandangan yang sukar dimengerri. Beberapa jam yang lalu duda beranak satu itu mengajaknya bertemu l, tapi sesampainya di lokasi, Jean justru mengatakan sesuatu yang membuatnya heran."Maksudnya gimana ya Kak? Emangnya kak Jean mau ke mana?" tanya Nana penasaran.Jean membuang nafas. "Ceritanya panjang, Na. Tapi aku minta tolong ke kamu buat selalu nemenin Nilam saat dia siuman nanti.""Kalau soal itu, tanpa diminta pun aku pasti selalu nemenin dia kok. Cuman—" Nana menahan nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Cuman aku nggak paham kenapa kakak tiba-tiba ngomong kayak gitu.""Kakak— nggak ada niatan buat ninggalin Nilam kan?" tanya Nana ingin tau."Aku nggak ninggalin Nilam, Na. Hanya saja— ada beberapa hal yang harus aku lakukan setelah ini," balas Jean serius."Apa ini ada hubungannya dengan Bu Mala? Atau— si Elisha?" tanya Nana lagi. "Tolong don
"Duh... Gimana ya Pak..."Melihat keragu-raguan si ART, jelas membuat Jean sedikit kesal. "Ya sudah kalau Bibi nggak percaya. Silahkan aja telfon Elisha!" ucapnya dengan nada tegas."Ya sudah, saya coba tanya Bu Elisha dulu."Sang ART yang tampaknya setuju dengan ucapan Jean langsung mengambil hapenya dan mulai mencari nomor telepon milik mantan Istrinya. Meskipun hati Jean sedikit berdebar karena takut ketahuan berbohong, namun pria itu mencoba untuk bersikap santai."Papa!" Baru juga si Bibi hendak menekan tombol telfon, terdengar suara teriakan Qila dari lantai dua. "Papa... Papa..."Syukurlah... Jean mendesah lega. Ia langsung melambaikan tangan ke arah putrinya. Sementara si ART seketika itu juga batal untuk menelpon majikannya."Papa ngapain di sana? Ayo masuk!""Bibi nggak bolehin Papa masuk sayang! Soalnya Papa belum ijin Mama," sahut Jean."Bibi!" Terdengar suara Qila yang mulai merajuk. "Itu kan Papa Q
"Qila tau kodenya?""Ehm.""Yang bener?""Iya Papa," Qila bersikeras. "Sini Qila tunjukin."Jean menggeser sedikit tempat duduknya supaya Qila bisa leluasa mengotak atik brangkas tersebut. Dan wualaah...Brangkas itu pun terbuka dengan sempurna setelah Qila memencet beberapa nomor yang ada di sana.Jean melongok kan sedikit kepalanya. Dan benar, di sana ada uang-uang milik Elisha. Juga—"Itu obatnya."Suara Qila itu membuat Jean tersentak. Ia langsung mengambil botol obat tersebut dan memeriksanya. Jean dibuat mengernyit saat mencium aroma obat itu."Ini baunya kayak bukan vitamin, sayang. Ini lebih ke obat antibiotik."Qila mengerutkan keningnya. Tidak paham."Ehm— Qila mau pipis dulu ya Pa."Jean menganggukkan kepalanya. Ia melihat Qila pergi ke kamar mandi sementara Jean kembali melanjutkan aksinya.Dan benar saja. Tak lama kemudian, Jean menemukan sesuatu yang cuk
"Oh ya, kamu ada perlu apa ke sini?""Beberapa waktu yang lalu, aku sempet baca chat kamu sama Elisha. Katanya dia mau bantuin kamu dengan satu syarat."Wajah Dita tampak pucat ketika Jean bertanya soal itu. "K-kamu...""Aku penasaran, syarat apa yang diminta Elisha."Dita menelan ludah. "I-itu..."Duda satu anak itu menatap tajam ke arah Dita. Gelagat ketakutan wanita di depannya ini, semakin membuat Jean yakin jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Dita."Kamu enggak usah khawatir, Dit. Aku ada dipihak kamu kok." Jean mencoba meyakinkan Dita. "Apa kamu ada hubungannya dengan kecelakaan yang dialami Nilam?"Deg!Dita menahan nafas. Kedua matanya bergerak cepat. Tanda jika dia sedang ketakutan."Jujur aja, Dit. Kalau kamu menutupi semuanya, kamu bisa dihukum lebih parah. Lagian kamu juga pasti tau kalau polisi lagi nyari tersangka tabrak lari itu kan?""A-aku enggak tau apa-apa. Aku—"
"Malem Tante."Bu Mala hampir tertidur saat seseorang masuk ke dalam kamar rawat Nilam. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah sayu menahan kantuk dan lelah."Dikta? Apa kabar?"Bu Mala berdiri menyambut CEO muda tersebut. Sementara lawan bicaranya tampak menyunggingkan senyum tipisnya."Aku baik, Tante," jawab Dikta. "Maaf ya Tante, aku baru sempat jenguk Nilam sekarang. Kalau bukan karena dikasih tau Mama, mungkin aku nggak akan tau kalau Nilam sedang di rawat," ucap Dikta yang begitu lihai bersilat lidah.Bu Mala tersenyum maklum. Dia memang tidak terlalu gembar-gembor perihal kondisi sang putri. Jadi hanya beberapa orang terdekatnya saja yang tau mengenai keadaan Nilam."Nggak apa kok, Dikta. Tante juga paham kalau kamu sibuk.""Iya, Tante. Makanya saya baru sempat ke sini."Bu Mala mengangguk. Lalu mempersilahkan pria itu duduk di sofa yang khusus tersedia di ruangan tersebut."
"Nilam itu emang aneh," keluh Bu Mala setelah mendengar cerita Dikta. "Padahal ada kamu yang lebih mapan, muda, single pula. Tapi malah bucin ama duda." "Mungkin cuma Jean yang bisa buat dia nyaman, Tante." "Tapi kalau plin-plan dan nggak tegas ya buat apa?" balas wanita paruh baya itu. "Mending kamu kan— lebih jelas dan berkomitmen." Dikta tersenyum miring mendengar pujian Bu Mala untuknya. Siapa yang tidak besar kepala jika terus dipuji begitu. "Tapi dulu Tante juga kagum kan ama kegigihan Jean." Bu Mala menghela nafas panjang. Dia akui, dulu ia sampat merasa kagum pada Jean yang tampak bertanggung jawab. Dan dia suka dengan sifat tersebut. Tapi kembali lagi, Jean yang terlalu baik pada mantan istrinyalah yang membuat bu Mala muak. "Nggak usah bahas masa lalu, Dikta. Soalnya Tante juga rada nyesel pernah puji-puji Jean di forum waktu itu." Dikta menyembunyikan wajah girangnya karena Bu Mala tak lagi ada di pihak Jean. "Oh ya, kamu sibuk nggak?" "Hm? Kenapa Tante?" Dikta menol
"Sialan!" umpat Dikta sambil memukul setir mobil. "Padahal sedikit lagi gue bisa nyium Nilam, tapi malah ada orang lain yang datang. Dasar sial!"Pria 24 tahun ini, mencoba untuk rileks. Dia tak mau ambil pusing gara-gara nyaris ketahuan. "Bodoh amat kalau itu perempuan laporan ke Bu Mala. Yang penting sekarang, gue bisa kabur."Dikta menarik nafas panjang, sebelum menyalakan mobilnya. Dia bersiap untuk pergi dari sana saat ponselnya mendadak berbunyi."Ck! Siapa sih yang nelfon!" umpatnya sedikit emosi."Duh— ngapain lagi ini perempuan?" Dikta memutar kedua bola matanya saat melihat nama Elisha tertera di layar hapenya."Halo Sha? Kenapa telpon?" tanya Dikta sesaat setelah menerima panggilan tersebut.["H- hallo Pak."]"Elisha? Kamu kenapa? Kok suara kamu kayak ketakutan gitu?" Dikta terlihat ikut panik ketika mendengar suara Elisha dari line seberang. Dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada janda itu.["T-tolong aku Pak. A-aku takut sekali."]***Beberapa jam sebelumny
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog