Sekitar pukul 9 malam, Qila dan kedua orang tuanya sudah tiba di rumah. Jean langsung menggendong putri kecilnya itu untuk istirahat di kamarnya karena memang kondisi Qila yang masih lemas.
"Kamu tidur yang nyenyak ya! Besok pagi Papa ke sini lagi sama Mbak Nilam," pamit Jean sebelum pulang dari rumah tersebut.Qila hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pa.""Jangan lupa di minum obatnya! Terus, jangan rewel lagi.""Hem.""Besok Papa bawain kamu hadiah spesial biar kamu cepet sehat."Qila makin tersenyum lebar. "Okey Pa.""Ya udah, Papa pulang ya!" Jean mengecup kening putrinya. Memeluk bocah 8 tahun itu dengan hangat sebelum pamit dari sana.Ia tau, ini sudah terlambat sekali untuk menemui Nilam tapi dia harap gadis itu masih menunggunya."Mas!"Jean yang baru saja tiba di lantai dasar, menengok ke arah Elisha yang muncul dari area dapur. Di tangannya ada sebuah nampan dengan cangki"Ayolah, Sha. Please..." "Oke... Tapi jangan di si—" Belum selesai bicara, Dikta langsung meraup bibir Elisha dan menciumnya. Tidak sekedar ciuman biasa, karena lelaki itu juga berani melumat dan menggigit kecil bibir sekertarisnya. Dikta mendorong wanita itu dan menyudutkannya ke dinding. Lelaki itu kembali mencumbu Elisha bukan hanya di bibir saja, tapi mulai turun ke leher dan membuat bite mark di sana. Belum lagi tangan Dikta mulai menggerayangi tubuh Elisha sesuka hatinya. Hingga membuat janda itu berusaha keras untuk menahan nafas. "Pak Dikta!" Elisha sengaja menginterupsi gerakan tangan si Bos yang hendak menurunkan gaunnya. "Ada apa?" "Kita pindah ke kamar bawah aja! Aku takut Mas Jean bangun," ajak Elisha dengan wajah memerah. Dikta menarik sudut bibirnya. Ia pikir Elisha akan menolaknya, tapi ternyata dugaannya salah besar. "Oke. Terserah kamu aja." Flashback End... *** Elisha mengusap jejak kemerahan yang masih kentara jelas di lehernya. Walaupun ini bu
"Di mana Nilam?"Jean langsung berdiri menyambut Bu Mala yang baru pulang dari luar kota. Wanita itu terlihat ngos-ngosan saat tiba di rumah sakit setelah berlarian dari parkiran menuju ke ruangan Nilam."Dia di dalam Tante.""Keadaannya gimana?" tanya Bu Mala dengan panik. Begitu mendengar Nilam kecelakaan, wanita itu segera kembali ke Jakarta untuk memastikan kondisi putrinya."Nilam masih koma, Tante."Bu Mala lemas seketika. Lututnya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. "K-koma?""Luka di kepalanya cukup parah."Bu Mala terkulai tak berdaya mendengar penjelasan Jean. Untungnya pria itu membantu Bu Mala untuk duduk di bangku terdekat."Nilam... Kenapa ini bisa terjadi..." Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan air mata. Hancur sekali saat mengetahui jika putrinya terluka cukup parah. Padahal sebelum pergi Nilam dalam keadaan baik-baik saja."Kenapa bisa kayak gini, Nak? Kenapa kamu harus kamu y
"Apa yang kamu inginkan dari Nilam? Kenapa kamu terus-terusan ngejar dia kalau cuma buat dia kecewa?" Jean menatap sendu ke arah Bu Mala. Pertanyaan wanita paruh baya itu membuatnya tertohok. "Percuma aja kalian bersama kalau ujung-ujungnya kamu tetap belain mantan istri kamu itu. Yang ada kamu hanya membuat anak Tante jadi menderita kaya sekarang." Bu Mala menyorot tajam ke arah Jean. Jujur dia merasa muak sekali dengan pria di depannya ini. "Mending kamu pergi dari sini dan belajar buat lupain Nilam!" "Saya nggak bisa Tante. Saya cinta sama Nilam. Saya nggak mungkin ninggalin dia." "Oh? Gitu ya?" Bu Mala berkacak pinggang. Raut wajah Bu Mala sangat menunjukkan jika dia sama sekali tidak mempercayai ucapan Jean. "Kemarin kamu juga bilang hal yang sama kan? Tapi faktanya apa? Kamu nggak bisa nepatin janji kan?" "Tante... Saya mohon... Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya ngg
"Aku titip Nilam ya!"Nana hanya bisa menatap Jean dengan pandangan yang sukar dimengerri. Beberapa jam yang lalu duda beranak satu itu mengajaknya bertemu l, tapi sesampainya di lokasi, Jean justru mengatakan sesuatu yang membuatnya heran."Maksudnya gimana ya Kak? Emangnya kak Jean mau ke mana?" tanya Nana penasaran.Jean membuang nafas. "Ceritanya panjang, Na. Tapi aku minta tolong ke kamu buat selalu nemenin Nilam saat dia siuman nanti.""Kalau soal itu, tanpa diminta pun aku pasti selalu nemenin dia kok. Cuman—" Nana menahan nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Cuman aku nggak paham kenapa kakak tiba-tiba ngomong kayak gitu.""Kakak— nggak ada niatan buat ninggalin Nilam kan?" tanya Nana ingin tau."Aku nggak ninggalin Nilam, Na. Hanya saja— ada beberapa hal yang harus aku lakukan setelah ini," balas Jean serius."Apa ini ada hubungannya dengan Bu Mala? Atau— si Elisha?" tanya Nana lagi. "Tolong don
"Duh... Gimana ya Pak..."Melihat keragu-raguan si ART, jelas membuat Jean sedikit kesal. "Ya sudah kalau Bibi nggak percaya. Silahkan aja telfon Elisha!" ucapnya dengan nada tegas."Ya sudah, saya coba tanya Bu Elisha dulu."Sang ART yang tampaknya setuju dengan ucapan Jean langsung mengambil hapenya dan mulai mencari nomor telepon milik mantan Istrinya. Meskipun hati Jean sedikit berdebar karena takut ketahuan berbohong, namun pria itu mencoba untuk bersikap santai."Papa!" Baru juga si Bibi hendak menekan tombol telfon, terdengar suara teriakan Qila dari lantai dua. "Papa... Papa..."Syukurlah... Jean mendesah lega. Ia langsung melambaikan tangan ke arah putrinya. Sementara si ART seketika itu juga batal untuk menelpon majikannya."Papa ngapain di sana? Ayo masuk!""Bibi nggak bolehin Papa masuk sayang! Soalnya Papa belum ijin Mama," sahut Jean."Bibi!" Terdengar suara Qila yang mulai merajuk. "Itu kan Papa Q
"Qila tau kodenya?""Ehm.""Yang bener?""Iya Papa," Qila bersikeras. "Sini Qila tunjukin."Jean menggeser sedikit tempat duduknya supaya Qila bisa leluasa mengotak atik brangkas tersebut. Dan wualaah...Brangkas itu pun terbuka dengan sempurna setelah Qila memencet beberapa nomor yang ada di sana.Jean melongok kan sedikit kepalanya. Dan benar, di sana ada uang-uang milik Elisha. Juga—"Itu obatnya."Suara Qila itu membuat Jean tersentak. Ia langsung mengambil botol obat tersebut dan memeriksanya. Jean dibuat mengernyit saat mencium aroma obat itu."Ini baunya kayak bukan vitamin, sayang. Ini lebih ke obat antibiotik."Qila mengerutkan keningnya. Tidak paham."Ehm— Qila mau pipis dulu ya Pa."Jean menganggukkan kepalanya. Ia melihat Qila pergi ke kamar mandi sementara Jean kembali melanjutkan aksinya.Dan benar saja. Tak lama kemudian, Jean menemukan sesuatu yang cuk
"Oh ya, kamu ada perlu apa ke sini?""Beberapa waktu yang lalu, aku sempet baca chat kamu sama Elisha. Katanya dia mau bantuin kamu dengan satu syarat."Wajah Dita tampak pucat ketika Jean bertanya soal itu. "K-kamu...""Aku penasaran, syarat apa yang diminta Elisha."Dita menelan ludah. "I-itu..."Duda satu anak itu menatap tajam ke arah Dita. Gelagat ketakutan wanita di depannya ini, semakin membuat Jean yakin jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Dita."Kamu enggak usah khawatir, Dit. Aku ada dipihak kamu kok." Jean mencoba meyakinkan Dita. "Apa kamu ada hubungannya dengan kecelakaan yang dialami Nilam?"Deg!Dita menahan nafas. Kedua matanya bergerak cepat. Tanda jika dia sedang ketakutan."Jujur aja, Dit. Kalau kamu menutupi semuanya, kamu bisa dihukum lebih parah. Lagian kamu juga pasti tau kalau polisi lagi nyari tersangka tabrak lari itu kan?""A-aku enggak tau apa-apa. Aku—"
"Malem Tante."Bu Mala hampir tertidur saat seseorang masuk ke dalam kamar rawat Nilam. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah tamunya dengan wajah sayu menahan kantuk dan lelah."Dikta? Apa kabar?"Bu Mala berdiri menyambut CEO muda tersebut. Sementara lawan bicaranya tampak menyunggingkan senyum tipisnya."Aku baik, Tante," jawab Dikta. "Maaf ya Tante, aku baru sempat jenguk Nilam sekarang. Kalau bukan karena dikasih tau Mama, mungkin aku nggak akan tau kalau Nilam sedang di rawat," ucap Dikta yang begitu lihai bersilat lidah.Bu Mala tersenyum maklum. Dia memang tidak terlalu gembar-gembor perihal kondisi sang putri. Jadi hanya beberapa orang terdekatnya saja yang tau mengenai keadaan Nilam."Nggak apa kok, Dikta. Tante juga paham kalau kamu sibuk.""Iya, Tante. Makanya saya baru sempat ke sini."Bu Mala mengangguk. Lalu mempersilahkan pria itu duduk di sofa yang khusus tersedia di ruangan tersebut."
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh