"Gue harus cepet-cepet sampai rumahnya Bu Elisha." "Gue nggak mau Bu Elisha ngelakuin hal yang aneh-aneh ke Kak Jean." Nilam memacu motornya lebih cepat lagi. Namun meskipun begitu, ia juga tetap berhati-hati. Saat ingin menepi setelah putar balik, Nilam jiga beberapa kali mengecek ke belakang dan memastikan jika kendaraan di belakangnya sudah berada di jarak aman. Tapi— hari buruk itu memang tidak bisa diduga sebelumnya. Padahal ia sudah berada di jalur yang benar, namun sebuah mobil justru menyeruduknya hingga motornya hingga terpental ke depan dan terlindas. Sementara Nilam sendiri juga mengalami hal yang serupa. Ia terjatuh dengan helm yang membentur aspal dengan cukup keras hingga darah terlihat merembes di bagian depan kening sampai ke dagu. Tubuhnya yang sempat terguling tampak lecet dan penuh luka. "U-ughh..." Nilam menatap langit malam di atasnya dengan pandangan memburam. Badannya seakan mati rasa. Sementara kepalanya rasanya nyeri luar biasa. Padahal dia hanya in
"Siapa nama korban?""Nilam Pak. Umurnya 20 tahun. Dia tinggal di perumahan Graha Permata."Karena di lokasi kejadian tidak ditemukan KTP, jadilah mereka berdua bertanya pada Nana mengenai data diri Nilam."Kalau boleh tau, kalian ini siapa-nya korban?""Kita temennya Pak.""Oh ya. Apa kalian punya nomor keluarga korban? Biar bisa kami hubungi untuk proses selanjutnya?"Nana melihat ke arah Mas Pacar. Dia tidak punya nomor Bu Mala karena setelah ganti hape, gadis itu lupa menyimpan nomor beliau."Saya nggak punya nomor Mamanya, Pak. Tapi— saya ada nomor pacarnya Nilam, eh— tunangan. Itu bisa nggak?" tanya Nana hati-hati."Boleh. Siapa tau orang tersebut punya nomor keluarga korban," balas polisi itu kemudian.Dan tanpa pikir panjang, Nana pun memberikan nomor ponsel milik Jean.***Suara dering ponsel yang terdengar berulang kali, membuat Jean mulai terbangun dari tidurnya. Pria itu mengerj
"Aku tadi ngasih tau Nilam kalau kamu nginep di sini."Jean meremas buku jarinya. Ia berbalik dan menoleh ke arah Elisha dan langsung menamparnya keras.Elisha saja sampai oleng dengan mata mendelik karena terkejut. Seumur-umur dia mengenal Jean, baru kali ini pria itu bermain kasar. "Dasar jalang! Kamu bener-bener kelewatan, Sha!" serah Jean dengan tampang murka.Sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri, Elisha membalas, "Apapun bisa aku lakukan demi kamu, Mas! Aku nggak peduli itu buruk atau enggak."Jean menangkap kedua pipi Elisha dengan satu tangan. Mencengkram wajah mantan istrinya ini dengan keras tanpa mempedulikan jika wanita itu adalah ibu kandung putrinya. "Selama ini, aku nggak pernah kasar ke kamu meskipun kelakuan kamu selalu membuatku emosi. Tapi kali ini, aku benar-benar nggak akan segan buat nyakitin kamu kalau sampai Nilam jadi benci padaku karena kebohongan kamu!""Kebohongan mana yang kamu maksud? Foto-foto itu real
Sekitar pukul 9 malam, Qila dan kedua orang tuanya sudah tiba di rumah. Jean langsung menggendong putri kecilnya itu untuk istirahat di kamarnya karena memang kondisi Qila yang masih lemas."Kamu tidur yang nyenyak ya! Besok pagi Papa ke sini lagi sama Mbak Nilam," pamit Jean sebelum pulang dari rumah tersebut.Qila hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pa.""Jangan lupa di minum obatnya! Terus, jangan rewel lagi.""Hem.""Besok Papa bawain kamu hadiah spesial biar kamu cepet sehat."Qila makin tersenyum lebar. "Okey Pa.""Ya udah, Papa pulang ya!" Jean mengecup kening putrinya. Memeluk bocah 8 tahun itu dengan hangat sebelum pamit dari sana.Ia tau, ini sudah terlambat sekali untuk menemui Nilam tapi dia harap gadis itu masih menunggunya."Mas!"Jean yang baru saja tiba di lantai dasar, menengok ke arah Elisha yang muncul dari area dapur. Di tangannya ada sebuah nampan dengan cangki
"Ayolah, Sha. Please..." "Oke... Tapi jangan di si—" Belum selesai bicara, Dikta langsung meraup bibir Elisha dan menciumnya. Tidak sekedar ciuman biasa, karena lelaki itu juga berani melumat dan menggigit kecil bibir sekertarisnya. Dikta mendorong wanita itu dan menyudutkannya ke dinding. Lelaki itu kembali mencumbu Elisha bukan hanya di bibir saja, tapi mulai turun ke leher dan membuat bite mark di sana. Belum lagi tangan Dikta mulai menggerayangi tubuh Elisha sesuka hatinya. Hingga membuat janda itu berusaha keras untuk menahan nafas. "Pak Dikta!" Elisha sengaja menginterupsi gerakan tangan si Bos yang hendak menurunkan gaunnya. "Ada apa?" "Kita pindah ke kamar bawah aja! Aku takut Mas Jean bangun," ajak Elisha dengan wajah memerah. Dikta menarik sudut bibirnya. Ia pikir Elisha akan menolaknya, tapi ternyata dugaannya salah besar. "Oke. Terserah kamu aja." Flashback End... *** Elisha mengusap jejak kemerahan yang masih kentara jelas di lehernya. Walaupun ini bu
"Di mana Nilam?"Jean langsung berdiri menyambut Bu Mala yang baru pulang dari luar kota. Wanita itu terlihat ngos-ngosan saat tiba di rumah sakit setelah berlarian dari parkiran menuju ke ruangan Nilam."Dia di dalam Tante.""Keadaannya gimana?" tanya Bu Mala dengan panik. Begitu mendengar Nilam kecelakaan, wanita itu segera kembali ke Jakarta untuk memastikan kondisi putrinya."Nilam masih koma, Tante."Bu Mala lemas seketika. Lututnya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. "K-koma?""Luka di kepalanya cukup parah."Bu Mala terkulai tak berdaya mendengar penjelasan Jean. Untungnya pria itu membantu Bu Mala untuk duduk di bangku terdekat."Nilam... Kenapa ini bisa terjadi..." Wanita paruh baya itu tidak bisa menahan air mata. Hancur sekali saat mengetahui jika putrinya terluka cukup parah. Padahal sebelum pergi Nilam dalam keadaan baik-baik saja."Kenapa bisa kayak gini, Nak? Kenapa kamu harus kamu y
"Apa yang kamu inginkan dari Nilam? Kenapa kamu terus-terusan ngejar dia kalau cuma buat dia kecewa?" Jean menatap sendu ke arah Bu Mala. Pertanyaan wanita paruh baya itu membuatnya tertohok. "Percuma aja kalian bersama kalau ujung-ujungnya kamu tetap belain mantan istri kamu itu. Yang ada kamu hanya membuat anak Tante jadi menderita kaya sekarang." Bu Mala menyorot tajam ke arah Jean. Jujur dia merasa muak sekali dengan pria di depannya ini. "Mending kamu pergi dari sini dan belajar buat lupain Nilam!" "Saya nggak bisa Tante. Saya cinta sama Nilam. Saya nggak mungkin ninggalin dia." "Oh? Gitu ya?" Bu Mala berkacak pinggang. Raut wajah Bu Mala sangat menunjukkan jika dia sama sekali tidak mempercayai ucapan Jean. "Kemarin kamu juga bilang hal yang sama kan? Tapi faktanya apa? Kamu nggak bisa nepatin janji kan?" "Tante... Saya mohon... Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya ngg
"Aku titip Nilam ya!"Nana hanya bisa menatap Jean dengan pandangan yang sukar dimengerri. Beberapa jam yang lalu duda beranak satu itu mengajaknya bertemu l, tapi sesampainya di lokasi, Jean justru mengatakan sesuatu yang membuatnya heran."Maksudnya gimana ya Kak? Emangnya kak Jean mau ke mana?" tanya Nana penasaran.Jean membuang nafas. "Ceritanya panjang, Na. Tapi aku minta tolong ke kamu buat selalu nemenin Nilam saat dia siuman nanti.""Kalau soal itu, tanpa diminta pun aku pasti selalu nemenin dia kok. Cuman—" Nana menahan nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Cuman aku nggak paham kenapa kakak tiba-tiba ngomong kayak gitu.""Kakak— nggak ada niatan buat ninggalin Nilam kan?" tanya Nana ingin tau."Aku nggak ninggalin Nilam, Na. Hanya saja— ada beberapa hal yang harus aku lakukan setelah ini," balas Jean serius."Apa ini ada hubungannya dengan Bu Mala? Atau— si Elisha?" tanya Nana lagi. "Tolong don
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh
Malam itu, sekitar pukul sembilan. Kamar Nilam terlihat rapi, dengan lampu tidur yang menyala temaram di sudut ruangan. Ia duduk di atas kasur, bersandar pada tumpukan bantal sambil memeluk guling. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya hanya dipoles skincare malam tanpa riasan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan wajah Jean terpampang di layar—video call yang akhirnya tersambung setelah seharian saling sibuk.“Hai sayang…” sapa Jean, tersenyum kecil dari balik layar. Ia terlihat sedang duduk di ruang kerjanya, dengan kaos polo abu-abu kesayangannya dan rambut sedikit berantakan.Nilam mengerucutkan bibir, memeluk guling lebih erat. “Kamu lama banget angkatnyaaaa…”“Sorry, sayang. Tadi aku baru selesai meeting sama vendor catering,” jawab Jean sambil menyender ke kursi. “Tapi sekarang kamu udah dapet aku seutuhnya, nih.”Nilam mendesah pelan, lalu matanya memandang Jean dengan tatapan manja. “Aku kangen banget… tahu gak?”"Kita kan gak ketemu baru hari ini.""Tapi bagiku ini udah l
Suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara mesin yang mengisi kekosongan di antara mereka. Lampu-lampu jalan menari pelan di kaca jendela, seolah mengiringi perasaan gundah yang masih menyelimuti hati Nilam. Tangan Jean memegang kemudi, sementara tatapannya sesekali mencuri-curi pandang ke arah Nilam yang duduk diam, memeluk tas di pangkuannya.“Masih kepikiran Talita?” tanya Jean akhirnya, dengan suara pelan.Nilam hanya mengangguk pelan tanpa menoleh.Jean menarik napas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sayang… aku ngerti kamu khawatir. Tapi jangan terlalu OVT ya! Talita kan udah ngabarin, dan sejauh ini infonya sama seperti yang bu Ratih bilang. Jadi, kita harus percaya sama dia.”Nilam mengatupkan bibirnya erat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya sepenuhnya. Tapi ada di sisi lain perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres.“Aku ngerasa... ada sesuatu yang masih mengganjal," bisiknya akhirnya. “Perasaanku gak enak aja.”Jean mengalihkan tangan kirinya da